Home Hukum Jampidsus Dilaporkan ke KPK soal Lelang PT GBU, Kejagung Beri Penjelasan

Jampidsus Dilaporkan ke KPK soal Lelang PT GBU, Kejagung Beri Penjelasan

Jakarta, gatra.net - Kejaksaan Agung (Kejagung) menjelaskan soal proses lelang terhadap saham PT Gunung Bara Utama (GBU). Hal ini dijelaskan usai adanya pelaporan terhadap Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Febrie Ardiansyah ke KPK.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana, menjelaskan singkat kronologisnya. Ia menyebut, PT GBU yang merupakan aset sitaan milik terpidana kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero), Heru Hidayat, awalnya akan diserahkan kepada PT Bukit Asam yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

"Tetapi ditolak karena perusahaan PT GBU memiliki banyak masalah, seperti utang dan banyaknya gugatan," kata Ketut kepada wartawan, dikutip Kamis (30/5).

Kemudian, Tim Jampidsus melakukan proses penyidikan yang disusul oleh upaya gugatan keperdataan dari PT Sendawar Jaya. Namun, Kejaksaan Agung kalah dalam gugatan itu.

Selanjutnya, pada tingkat banding, Kejaksaan Agung memenangkan gugatan. Setelahnya, Kejagung pun meneliti berkas dalam gugatan tersebut.

"Kejaksaan Agung saat itu menemukan dokumen palsu sehingga ditetapkanlah Ismail Thomas sebagai tersangka yang kini sudah diadili," ujar dia.

Lebih lanjut, Ketut menjelaskan, proses lelang saham PT GBU ini dilakukan penilaian oleh tiga appraisal.

Pertama, yaitu terkait dengan aset atau bangunan alat berat yang melekat di PT GBU dengan nilai kurang lebih Rp9 miliar. Kedua, terkait dengan PT GBU dengan nilai Rp3,4 triliun.

"Dari hasil dua tadi dilakukan satu proses pelelangan pertama tetapi satu pun tidak ada yang menawar, jadi kalau dibilang ada kerugian Rp9 triliun, di mana kerugian Rp9 triliunnya?" jelas Ketut.

Oleh karena tidak ada yang menawar, lanjut Ketut, maka dibuka proses pelelangan kedua dengan melakukan foto appraisal.

Menurut Ketut, angkanya mengalami fluktuasi karena nilai saham dipengaruhi oleh harga batubara pada saat itu.

"Sehingga kita memperoleh nilai Rp1,9 triliun. Itu pun kita lakukan satu pelelangan dengan jaminan. Kenapa ada dengan jaminan? Karena di dalam PT GBU itu ada piutang. Ada utang dari perusahaan lain, kurang lebih 1 juta USD. Kalau dihitung pada saat itu kurang lebih Rp1,1 triliun," imbuh dia.

Dia menambahkan, hanya ada satu orang yang menawar, sehingga dia ditetapkan sebagai pemenang. Begitu proses selesai, semua uang kita serahkan ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

"Kenapa ini cepat kita lakukan satu proses pelelangan? Perlu teman-teman media ketahui karena ini untuk segera dimasukkan ke kas negara. Untuk membayar para pemegang polis dan trainee," ujar Ketut.

Dalam kesempatan ini, Ketut juga menegaskan bahwa pelaksanaan proses lelang dilakukan oleh Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan Agung dan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara pada Kementerian Keuangan.

Pelelangan terkait Aset PT GBU dilakukan setelah adanya putusan Pengadilan dari Mahkamah Agung pada 24 Agustus 2021.

"Jadi pelaporan yang ditujukan untuk Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus adalah laporan yang keliru,” ujar Kapuspenkum.

Adapun laporan di KPK dibuat oleh Indonesia Police Watch (IPW) bersama sejumlah organisasi masyarakat lain. Mereka melaporkan dugaan korupsi yang menyeret Jampidsus Kejagung ke KPK.

Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso mengatakan, Febrie diduga terlibat dalam korupsi pelaksanaan lelang Barang rampasan Benda Sita korupsi berupa satu paket saham PT Gunung Bara Utama (GBU).

Saham tersebut merupakan rampasan dari kasus korupsi asuransi PT Jiwasraya yang dilelang Pusat Pemulihan Aset (PPA) Kejagung pada 18 Juni 2023 dan dimenangkan oleh PT Indobara Putra Mandiri (IUM).

Menurut Sugeng, PT IUM baru dibuat 10 hari sebelum penjelasan lelang dari Kejagung. Proses lelang yang berjalan diduga diwarnai dengan permufakatan jahat atau curang dan merugikan keuangan negara triliunan rupiah.

Berdasarkan perhitungan IPW dan sejumlah organisasi masyarakat, nilai saham perusahaan batubara di Kalimantan itu seharusnya Rp12 triliun.

Namun saham perusahaan batubara itu dijual dengan harga Rp1,945 triliun. Dengan demikian, negara diduga rugi hingga Rp7 triliun.

"Kejari Kubar [Kutai Barat] atau Kukar [Kutai Kartanegara] bahwa nilai yang disita itu sekitar Rp10 triliun itu di tahun 2023,” ujar Sugeng.

Adapun laporan disampaikan oleh Koalisi Sipil Selamatkan tambang (KSST), Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), IPW, dan praktisi hukum Deolipa Yumara.

264