
Jakarta, gatra.net – Mahkamah Agung (MA) memperberat vonis Direktur PT Flemings Indo Batam (PT FIB) dan Pengurus PT Peter Garmindo Prima (PT PGP), Irianto, menjadi 10 tahun penjara dalam perkara koupsi importasi tekstil pada Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) 2018–2020.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung), Leonard Eben Ezer Simanjuntak, di Jakarta, Senin (20/12), menyampaikan, vonis tersebut berdasarkan Putusan MA Nomor: 4952 K/Pid.Sus/2021 tanggal 08 Desember 2021, tanggal 8 Desember 2021.
“Telah diputus pada tingkat kasasi dalam perkara Tindak Pidana Korupsi Ekspor Tekstil Tahun 2018 dan Tahun 2019, yang amar putusannya sebagai berikut,” katanya.
MA menjatuhkan hukuman tersebut setelah menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi atau penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kejari Jaksel).
Kemudian, memperbaiki Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor : 16/PID.SUS-TPK/2021/PT.DKI tanggal 22 Juni 2021 yang menguatkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 55/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt.Pst tanggal 07 April 2021 mengenai kualifikasi tindak pidana dan pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa Irianto.
Putusan baru MA-nya yakni menyatakan terdakwa Irianto telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana didakwakan dalam dakwaan kesatu primair, Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
MA juga menyatakan bahwa terdakwa Irianto juga telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar dakwaan kedua, yakni Pasal 5 Ayat (1) huruf a UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Atas dasar itu, MA menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 10 tahun dan pidana denda sebesar Rp200 juta dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 4 bulan.
“Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara pada tingkat kasasi sebesar Rp2.500,” ungkap Leo.
Adapun sebelumnya, yakni Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Nomor: 16/PID.SUS-TPK/2021/PT.DKI tanggal 22 Juni 2021, yang pada pokoknya amar putusannya menyatakan menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 55/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt.Pst tanggal 07 April 2021.
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut, pada pokoknya menyatakan terdakwa Irianto tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakuan tindak pidana korupsi secara bersama-bersama sebagaimana Dakwaan Kesatu Primair Pasal 2 Ayat (1).
Kemudian, majelis hakim menyatakan bahwa terdakwa Irianto tidak terbukti melanggar Dakwaan Kesatu Subsidiair Pasal 3 juncto Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
“Membebaskan terdakwa [Irianto] dari Dakwaan Kesatu Primair dan Dakwaan Kesatu Subsidiair tersebut,” ujar Leo.
Namun demikian, majelis menyatakan terdakwa Irianto terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama sebagaimana didakwakan pada Dakwaan Kedua Pasal 5 Ayat (1) huruf a UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Majelis hakim menjatukan hukuman pidana penjara selama 3 tahun dan denda Rp50 juta dengan ketentuan jika denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara selama 2 bulan.
Leo menjelaskan, Putusan MA dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Ekspor Tekstil atas nama terdakwa Irianto tersebut, hakekatnya membenarkan memori kasasi penuntut umum yang pada pokoknya menyatakan bahwa terdakwa Irianto di samping terbukti melakukan tindak pidana suap kepada pejabat bea cukai Batam sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ayat (1) huruf a UU Tipikor, juga terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam ekspor tekstil sehingga merugikan perekonomian negara sebagaimana dimaksud Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor.
Adapun pendapat penuntut umum dalam Memori Kasasi, yakni dalam kaitan pembuktian unsur merugikan perkonomian negara, sependapat dengan pendapat atau pertimbangan hakim tingkat banding yang membenarkan fakta-fakta dalam persidangan bahwa perbuatan terdakwa Irianto telah melakukan impor tekstil dengan menggunakan PT Flemings Indo Batam (PT FIB) dan PT Peter Garmindo Prima (PT PGP) secara tidak prosedural telah membawa beberapa dampak.
Pertama, PT FIB dan PT PGP yang diberikan izin API-P oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang diharapkan akan melakukan penyerapan tenaga kerja, tetapi pada kenyataannya tidak melakukan produksi pakaian jadi. Hal ini menyebabkan pertambahan nilai dari proses produksi yang seharusnya dilakukan PT FIB dan PT PGP tidak terjadi.
“Selain itu, penyerapan tenaga kerja yang seharusnya terjadi jika PT FIB dan PT PGP melakukan proses produksi, tidak terjadi sehingga angka penganguran seharusnya dapat diturunkan oleh produksi yang dilakukan oleh PT FIB dan PT PGP ternyata tidak terjadi,” katanya.
Fakta bahwa PT FIB dan PT PGP tidak memiliki pabrik dan tidak melakukan produksi, biaya operasional perusahaan yang sebagian menjadi sumber penerimaan Negara dari pembayaran listrik dan pembayaran BPJS tidak dilakukan oleh importir tersebut.
Kedua, masuknya jumlah tekstil melebihi kuota impor yang dimiliki PT FIB dan PT PGP tersebut berkontribusi terhadap banyaknya barang tekstil yang beredar di pasaran sehingga harga tekstil menjadi rendah dan produsen dalam negeri tidak bisa bersaing dengan barang-barang tekstil yang sebagian besar dari Negara Tiongkok tersebut.
Ketiga, dalam kurun waktu tahun 2018 sampai dengan 2019 terdapat 9 pabrik tekstil tutup akibat kalah bersaing dengan produk impor yang banyak di Indonesia. Dampak dari pabrik tekstil yang tutup tersebut, maka tingkat produksi tekstil mengalami penurunan dan ribuan pekerja mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Keempat, akibat dari perusahaan-perusahaan tekstil yang tutup tersebut juga berpengaruh terhadap industri perbankan yang sudah memberikan fasilitas kredit terhadap perusahaan-perusahaan tekstil tersebut. Perusahaan-perusahaan tekstil itu tidak mampu membayar kembali pinjaman atau pembiayaan yang diterima.
Atas perbuatan terdakwa Irianto tersebut, ternyata telah membawa dampak-dampak sebagaimana tersebut di atas, maka perbuatan tersebut telah memengaruhi pertumbuhan ekonomi di Indonesia atau juga telah menjadikan perekonomian negara secara nasional rugi, sehingga oleh karenanya perbuatan merugikan perekonomian negara telah terpenuhi pada perbuatan terdakwa.
Leo melanjutkan, terbuktinya perbuatan merugikan keuangan negara tersebut sependapat dengan pendapat Ahli Bidang Ekonomi, Dr. Rimawan Pradiptyo, M.Sc., Ph.D bersama Tim Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menyatakan telah terdapat kerugian perekonomian negara yang didukung oleh beberapa alasan.
Pertama, terjadi lonjakan jumlah impor tekstil yang diselidiki secara relatif terhadap produksi nasional tahun 2017–2018 dengan tren 46,62%, pada periode 2018–2019 (Januari–Juni) jumlah impor secara relatif meningkat 27,83%.
Kedua, tenaga kerja yang berdampak akibat lonjakan impor sebanyak 15.633 pekerja dengan pengeluaran yang hilang sebesar Rp19,76 miliar sampai dengan Rp23,05 miliar. Ketiga, pangsa pasar domestik mengalami penurunan dengan tren sebesar 10,71% tahun 2017–2018, demikian juga periode 2018–2019 terjadi penurunan 3,17%.
Keempat, penurunan produksi terjadi dengan estimasi penurunan produksi nasional sebesar Rp65,35 triliun. Kelima, penurunan aktivitas industri dalam negeri berupa penurunan produksi dan penurunan penyerapan tenaga kerja bukan disebabkan faktor lain sesuai dengan penyelidikan KPPI, namun disebabkan oleh lonjakan impor.
“Berdasarkan perhitungan ahli ekonomi kerugian perekonomian Negara, akibat perbuatan terdakwa mengakibatkan kerugian secara keekonomian sebesar Rp1.646.216.880.000 [Rp1,6 triliun lebih],” katanya.