Home Hukum Kejagung Periksa Direktur Pelaksana III LPEI soal Group Johan Darsono

Kejagung Periksa Direktur Pelaksana III LPEI soal Group Johan Darsono

Jakarta, gatra.net – Tim Jaksa Penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Pidsus Kejagung) memeriksa Direktur Pelaksana III Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) periode 2016–Desember 2018, RA, soal Group Johan Darsono.

"Diperiksa terkait Group Johan Darsono," kata Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung pada Senin (29/11).

Sayangnya Leo tidak menyampaikan lebih jauh soal dugaan keterkaitan Group Johan Darsono dalam kasus dugaan korupsi penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI tahun 2013-2019 tersebut.

Leo hanya menyampaikan bahwa penyidik memeriksa RA sebagai saksi. Penyidik memeriksa yang bersangkutan karena memerlukan keterangannya soal dugaan korupsi yang didengar, dilihat, dan alami sendiri yang terjadi pada LPEI.

"Guna menemukan fakta hukum tentang tindak pidana korupsi yang terjadi dalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI," ujarnya.

Meski demikian, Leo beberapa waktu lalu sempat menyampaikan bahwa Group Johan Darsono sempat menerima fasilitas pembiayaan ekspor dari LPEI. Terkait pemeriksaan tersebut, gatra.net masih berupaya mengonfirmasi pihak terkait.

Tim Penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejagung menetapkan ke-7 orang tersebut karena sudah muak dengan ulah mereka dalam proses penyidikan kasus dugaan korupsi pembiayaan ekspor nasional pada LPEI tersebut.

“Penyidik Tindak Pidana Khusus Kejagung menetapkan 7 orang saksi menjadi tersangka atas tindak pidana menghalang-halangi penyidikan atau tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar,” ujarnya.

Ketujuh tersangkanya, yakni:
1. IS, Mantan Direktur Pelaksana UKM dan Asuransi Penjaminan LPEI tahun 2016-2018.
2. NH, mantan Kepala Departemen Analisa Risiko Bisnis II LPEI tahun 2017-2018.
3. EM, mantan Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Makassar LPEI tahun 2019-2020.
4. CRGS, mantan Relationship Manager Division Unit Bisnis Tahun 2015-2020 pada LPEI Kanwil Surakarta.
5. AA, Deputi Bisnis LPEI Kanwil Surakarta tahun 2016-2018.
6. ML, mantan Kepala Departemen Bisnis UKMK LPEI, dan
7. RAR pegawai Manajer Risiko PT BUS Indonesia.

“Ketujuh tersangka tersebut telah dikeluarkan Surat Perintah penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Leo, telah dikeluarkan surat penetapan tersangka terhadap masing-masing pada hari ini, yakni 2 November 2001. “Untuk melengkapi Surat Perintah Penyidikan dan Surat Penetapan Tersangka akan kami sampaikan dalam rilis lengkap,” ujarnya.

Leo yang menyampaikan konferensi pers secara virtual dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali, menjelaskan, pada hari ini Tim Jaksa Penyidik Pidsus Kejagung memanggil 10 orang saksi untuk menjalani pemeriksaan dalam kasus dugaan korupsi penyelenggaraan ekspor nasional pada LPEI tahun 2013-2019.

“Tujuh di antaranya adalah saksi yang 2 kali berturut-turut dipanggil namun tidak hadir,” ungkapnya.

Tim Jaksa Penyidik Pidsus memanggil saksi-saksi di atas secara patut mereka mangkir pemeriksaan dan meminta agar dalam pemanggilan tersebut dicantumkan siapa tersangka, pasal yang disangkakan dalam berita acara pemeriksaan saksi, serta sudah ada perhitungan kerugian negara dengan angka yang pasti.

Akibatnya, lanjut Leo, Tim Jaksa Penyidik Pidsus Kejagung tidak dapat meminta keterangan apa pun terhadap ke-7 orang saksi tersebut terkait pokok perkara dugaan tindak pidana korupsi pembiayaan ekspor nasional pada LPEI.

Menurut Leo, ke-7 tersangka juga telah beberapa kali menolak memberikan keterangan sebagai saksi dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga menyulitkan penanganan dan penyelesaian penyidikan perkara tersebut yang masih ditangani oleh Tim Jaksa Penyidik Pidsus P3TPK pada Direkorat Jampidsus.

“Sebagaimana diketahui, keterangan para saksi tersebut dibutuhkan untuk membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangka pada peyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam LPEI,” ujarnya.

Menurut Leo, oleh karena para saksi ini dianggap telah mempersulit penyidikan atau menghalang-halangi peyidikan, mereka disangka melanggar Pasal 21 atau Pasal 22 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Setelah ditetapkan sebagai tersangka, penyidik langsung menahan ke-7 orang tersebut selama 20 hari ke depan untuk mempercepat proses penyidikan kasus yang membelitnya.

“Penahanan sejak hari ini, tanggal 2 November 2001 sampai dengan 21 November 2001. Untuk ke-7 tersangka dilakukan penahaan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas I Cipinang,” katanya.

Kejagung menaikkan kasus ini ke tahap penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-13/F.2/Fd.2/06/2021 tanggal 24 Juni 2021.

Leo menjelaskan, awalnya LPEI diduga telah memberikan fasilitas pembiayaan kepada Group Walet, Group Johan Darsono, Duniatex Group, Group Bara Jaya Utama, Group Arkha, PT Cipta Srigati Lestari, PT Lautan Harmoni Sejahtera, dan PT Kemilau Harapan Prima serta PT Kemilau Kemas Timur.

"Pembiayaan kepada para debitur tersebut sesuai dengan laporan sistem informasi manajemen risiko dalam posisi colektibility 5 (macet) per tanggal 31 Desember 2019," ungkapnya.

Leo melanjutkan, LPEI di dalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional kepada para debitur atau perusahaan penerima pembiayaan tersebut, diduga dilakukan tanpa melalui prinsip tata kelola yang baik sehingga berdampak pada meningkatnya kredit macet atau non performing loan (NPL) pada tahun 2019 sebesar 23,39%.

"Berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2019, LPEI diduga mengalami kerugian tahun berjalan sebesar Rp4,7 triliun. Jumlah kerugian tersebut penyebabnya adalah dikarenakan adanya pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN)," ungkapnya.

Selanjutnya, berdasarkan statement di laporan keuangan 2019, pembentukan CKPN di tahun 2019 meningkat 807,74% dari RKAT dengan konsekuensi berimbas pada provitabilitas (keuntungan).

"Kenaikan CKPN ini untuk mencover potensi kerugian akibat naiknya angka kredit bermasalahan di antaranya disebabkan oleh ke-9 debitur tersebut di atas," katanya.

Leo mengungkapkan, salah satu debitur yang mengajukan pembiayaan kepada LPEI tersebut adalah Grup Walet, yaitu PT Jasa Mulia Indonesia, PT Mulia Walet Indonesia, dan PT Borneo Walet Indonesia. Ketiga perusahaan ini direktur utamanya adalah S.

Pihak LPEI, lanjut Leo, yaitu tim pengusul, kepala Departemen Unit Bisnis, Kepala Divisi Unit Bisnis dan Komite Pembiayaan tidak menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Dewan Direktur No. 0012/PDD/11/2010 tanggal 30 November 2010 tentang Kebijakan Pembiayaan LPEI.

Akibat hal tersebut di atas menyebabkan debitur, dalam hal ini Group Wallet, yaitu PT Jasa Mulya Indonesia, PT Mulya Walet Indonesia, dan PT Borneo Walet Indonesia dikatagorikan Colectibity 5 atau macet sehingga mengalami gagal bayar sebesar Rp683.600.000.000 (Rp683,6 miliar).

"[Angka Rp683,6 miliar tersebut] terdiri dari nilai pokok Rp576.000.000.000 (Rp576 miliar) ditambah denda dan bunga sebesar Rp107.600.000.000 (Rp107,6 miliar)," katanya.

1741