Home Hukum Usut Korupsi LPEI, Kejagung Periksa 3 Saksi

Usut Korupsi LPEI, Kejagung Periksa 3 Saksi

Jakarta, gatra.net – Tim Jaksa Penyidik Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa 3 orang saksi untuk mendalami kasus dugaan korupsi Penyelenggaraan Pembiayaan Ekspor Nasional Oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).

“Kejaksaan Agung melakukan pemeriksaan terhadap 3 orang yang terkait dengan perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam Penyelenggaraan Pembiayaan Ekspor Nasional oleh LPEI," kata Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung di Jakarta, Rabu (6/10).

Ketiga orang tersebut diperiksa sebagai saksi dalam perkara ini. Mereka yakni AS selaku Komite Pembiayaan III, AR selaku Relationship Manager (RM) Divisi Pembiayaan Syariah, dan AMA selaku Kepala Departemen Divisi Pembiayaan Syariah.

“Diperiksa terkait pemberian fasilitas kredit pada debitur LPEI,” ujar Leonard kepada wartawan melalui pernyataan tertulis.

Penyidik memeriksa ketiga saksi di atas untuk kepentingan penyidikan mengenai tindak pidana korupsi fasilitas pembiayaan ekspor pada LPEI yang mereka lihat, dengar, dan alami sendiri.

“Guna menemukan fakta hukum tentang tindak pidana korupsi yang terjadi dalam Penyelenggaraan Pembiayaan Ekspor Nasional oleh LPEI,” ujarnya.

Kejagung mulai memeriksa saksi-saksi setelah menaikkan kasus ini ke tahap penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-13/F.2/Fd.2/06/2021 tanggal 24 Juni 2021.

Leo menjelaskan, awalnya LPEI diduga telah memberikan fasilitas pembiayaan kepada Group Walet, Group Johan Darsono, Duniatex Group, Group Bara Jaya Utama, Group Arkha, PT Cipta Srigati Lestari, PT Lautan Harmoni Sejahtera, dan PT Kemilau Harapan Prima serta PT Kemilau Kemas Timur.

"Pembiayaan kepada para debitur tersebut sesuai dengan laporan sistem informasi manajemen risiko dalam posisi colektibility 5 (macet) per tanggal 31 Desember 2019," ungkapnya.

Leo melanjutkan, LPEI didalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional kepada para debitur atau perusahaan penerima pembiayaan tersebut, diduga dilakukan tanpa melalui prinsip tata kelola yang baik sehingga berdampak pada meningkatnya kredit macet atau non performing loan (NPL) pada tahun 2019 sebesar 23,39%.

"Berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2019, LPEI diduga mengalami kerugian tahun berjalan sebesar Rp4,7 triliun. Jumlah kerugian tersebut penyebabnya adalah dikarenakan adanya pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN)," ungkapnya.

Selanjutnya, berdasarkan statement di laporan keuangan 2019, pembentukan CKPN di tahun 2019 meningkat 807,74% dari RKAT dengan konsekuensi berimbas pada provitabilitas (keuntungan).

"Kenaikan CKPN ini untuk mencover potensi kerugian akibat naiknya angka kredit bermasalahan di antaranya disebabkan oleh ke-9 debitur tersebut di atas," katanya.

Leo mengungkapkan, salah satu debitur yang mengajukan pembiayaan kepada LPEI tersebut adalah Grup Walet, yaitu PT Jasa Mulia Indonesia, PT Mulia Walet Indonesia, dan PT Borneo Walet Indonesia. Ketiga perusahaan ini direktur utamanya adalah S.

Pihak LPEI, lanjut Leo, yaitu tim pengusul, kepala Departemen Unit Bisnis, Kepala Divisi Unit Bisnis dan Komite Pembiayaan tidak menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Dewan Direktur No. 0012/PDD/11/2010 tanggal 30 November 2010 tentang Kebijakan Pembiayaan LPEI.

Akibat hal tersebut di atas menyebabkan debitur, dalam hal ini Group Wallet, yaitu PT Jasa Mulya Indonesia, PT Mulya Walet Indonesia, dan PT Borneo Walet Indonesia dikatagorikan Colectibity 5 atau macet sehingga mengalami gagal bayar sebesar Rp683.600.000.000 (Rp683,6 miliar).

"[Angka Rp683,6 miliar tersebut] terdiri dari nilai pokok Rp576.000.000.000 (Rp576 miliar) ditambah denda dan bunga sebesar Rp107.600.000.000 (Rp107,6 miliar)," katanya.

381