
Jakarta, gatra.net – Tim Jaksa Penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa Direktur Operasional (Dirop) Perusahaan Umum Perikanan Indonesia (Perum Perindo) Tahun 2016–2017, DAG, dalam kasus dugaan korupsi Pengelolaan Keuangan dan Usaha Perusahaan Perindo.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, di Jakarta, Senin (20/9), menyampaikan, yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi.
"Diperiksa terkait mekanisme proses bisnis jual beli ikan dan budidaya udang," katanya.
Selain DAG, Tim Jaksa Penyidik Pidsus Kejagung juga memeriksa mantan Vice President Perdagangan, Penangkapan, dan Pengelolaan Perum Perindo, WP, juga sebagai saksi dalam kasus ini.
"Diperiksa terkait mekanisme penunjukan, teknis kerja sama, dan pembayaran transaksi dengan mitra perdagangan ikan," katanya.
Leo menyampaikan, penyidik memeriksa kedua orang mantan pejabat Perum Perindo ini karena memerlukan keterangannya untuk membuat terang perkara dugaan korupsi di perusahaan pelat merah perikanan tersebut.
"Guna kepentingan penyidikan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri guna menemukan fakta hukum tentang tindak pidana korupsi yang terjadi di Perum Perindo," ujarnya.
Kejagung mulai menyidik kasus dugaan korupsi jumbo pada Perum Perindo yang nilainya ditaksir mencapai sekitar Rp181,1 miliar ini terkait pengelolaan keuangan dan usaha tahun 2016–2019.
Kejagung mulai mengusut kasus ini setelah Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) menaikkannya ke tahap penyidikan setelah menemukan bukti permulaan yang cukup.
Jampidsus menaikkan kasus ini ke penyidikan dengan menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) pada tanggal 2 Agustus 2021 yang ditandatangani oleh Direktur Penyidikan (Dirdik) Supardi atas nama Jampidsus.
"Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: PRINT-25 / F.2 /Fd.2 / 08 / 2021 tanggal 02 Agustus 2021 untuk melakukan penyidikan dugaan perkara tindak pidana korupsi di Perum Perindo," ungkapnya.
Adapun kasus posisi tindak pidana korupsi pada Perum Perindo ini, lanjut Leo, bahwa pada tahun 2017 Perum Perindo menerbitkan Medium Tern Notes (MTN) atau utang jangka menengah.
"MTN adalah salah satu cara mendapatkan dana dengan cara menjual Prospek. Adapun prospek yang dijual Perum Perindo dalam hal penangkapan ikan," katanya.
Selanjutnya, Perum Perindo mendapatkan Dana MTN sebesar Rp200 miliar. Dana tersebut cair dalam 2 tahap. Pertama, pada Agustus 2017 sejumlah Rp100 miliar dengan return 9% dibayar per triwulan, jangka waktu 3 tahun yang jatuh tempo pada Agustus 2020.
"Kedua, pada Desember 2017 Rp100 miliar return 9,5% dibayar per triwulan, jangka waktu 3 tahun yang jatuh tempo pada bulan Desember 2020," ungkapnya.
Perum Perindo kemudian menggunakan dana hasil dari MTN mayoritasnya untuk modal kerja perdagangan. Ini terlihat dengan meningkatnya pendapatan perusahaan yang di tahun 2016 sebesar kurang lebih Rp223 miliar meningkat menjadi kurang lebih Rp603 miliar pada tahun 2017 dan mencapai kurang lebih Rp1 triliun pada 2018. "Kontribusi terbesar berasal dari pendapatan perdagangan," ungkapnya.
"Pencapaian dilakukan dengan melibatkan semua unit usaha untuk melakukan perdagangan sehingga menimbulkan permasalahan kontrol transaksi perdagangan menjadi lemah," katanya.
Lemahnya kontrol, lanjut Leo, terindikasi yakni masih terjadi transaksi walau mitra terindikasi macet. Kontrol yang lemah dan pemilihan mitra kerja yang tidak hati-hati menjadikan perdagangan pada saat itu, perputaran modal kerjanya melambat dan akhirnya sebagian besar menjadi piutang macet sebesarRp181.196.173.783 (lebih dari Rp181,1 miliar).