
Jakarta, gatra.net – Tim Jaksa Penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa Kepala Divisi Analisa Resiko Bisnis II periode April 2015–Januari 2019 pada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), DSD.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, di Jakarta, Jumat (13/8), mengatakan, tim penyidik memeriksa yang bersangkutan sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI.
Dalam pemeriksaan tersebut, Tim Jaksa Penyidik Pidsus mencecar saksi soal pemberian fasilitas kredit pada Kemilau Kemas Timur tahun 2016, PT Borneo Walet Indonesia tahun 2018, PT Jasa Mulya Indonesia tahun 2015–2018 dan PT Mulia Walet Indonesia tahun 2016–2017.
Selain DSD, Kejagung juga memeriksa Kepala Satuan Kerja Audit Internal (SKAI) pada LPEI, AW sebagai saksi. "Diperiksa terkait melakukan audit terhadap debitur yang tidak dapat mengembalikan fasilitas kredit pada LPEI," katanya.
Leo menjelaskan, penyidik memeriksa yang bersangkutan untuk kepentingan penyidikan kasus dugaan korupsi penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI, yakni tentang yang yang didengar, dilihat, dan alami sendiri oleh saksi.
Pemeriksaan ini juga untuk menemukan fakta hukum tentang tindak pidana korupsi yang terjadi dalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI.
"Pemeriksaan saksi dilaksanakan dengan mengikuti secara ketat protokol kesehatan, antara lain dengan menerapkan 3M," ujarnya.
Kejagung mulai memeriksa saksi-saksi setelah menaikkan kasus ini ke tahap penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-13/F.2/Fd.2/06/2021 tanggal 24 Juni 2021.
Leo menjelaskan, awalnya LPEI diduga telah memberikan fasilitas pembiayaan kepada Group Walet, Group Johan Darsono, Duniatex Group, Group Bara Jaya Utama, Group Arkha, PT Cipta Srigati Lestari, PT Lautan Harmoni Sejahtera, dan PT Kemilau Harapan Prima serta PT Kemilau Kemas Timur.
"Pembiayaan kepada para debitur tersebut sesuai dengan laporan sistem informasi manajemen risiko dalam posisi colektibility 5 (macet) per tanggal 31 Desember 2019," ungkapnya.
Leo melanjutkan, LPEI didalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional kepada para debitur atau perusahaan penerima pembiayaan tersebut, diduga dilakukan tanpa melalui prinsip tata kelola yang baik sehingga berdampak pada meningkatnya kredit macet atau non performing loan (NPL) pada tahun 2019 sebesar 23,39%.
"Berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2019, LPEI diduga mengalami kerugian tahun berjalan sebesar Rp4,7 triliun. Jumlah kerugian tersebut penyebabnya adalah dikarenakan adanya pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN)," ungkapnya.
Selanjutnya, berdasarkan statement di laporan keuangan 2019, pembentukan CKPN di tahun 2019 meningkat 807,74% dari RKAT dengan konsekuensi berimbas pada provitabilitas (keuntungan).
"Kenaikan CKPN ini untuk mencover potensi kerugian akibat naiknya angka kredit bermasalahan di antaranya disebabkan oleh ke-9 debitur tersebut di atas," katanya.
Leo mengungkapkan, salah satu debitur yang mengajukan pembiayaan kepada LPEI tersebut adalah Grup Walet, yaitu PT Jasa Mulia Indonesia, PT Mulia Walet Indonesia, dan PT Borneo Walet Indonesia. Ketiga perusahaan ini direktur utamanya adalah S.
Pihak LPEI, lanjut Leo, yaitu tim pengusul, kepala Departemen Unit Bisnis, Kepala Divisi Unit Bisnis dan Komite Pembiayaan tidak menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Dewan Direktur No. 0012/PDD/11/2010 tanggal 30 November 2010 tentang Kebijakan Pembiayaan LPEI.
Akibat hal tersebut di atas menyebabkan debitur, dalam hal ini Group Wallet, yaitu PT Jasa Mulya Indonesia, PT Mulya Walet Indonesia, dan PT Borneo Walet Indonesia dikatagorikan Colectibity 5 atau macet sehingga mengalami gagal bayar sebesar Rp683.600.000.000 (Rp683,6 miliar).
"[Angka Rp683,6 miliar tersebut] terdiri dari nilai pokok Rp576.000.000.000 (Rp576 miliar) ditambah denda dan bunga sebesar Rp107.600.000.000 (Rp107,6 miliar)," katanya.