
Purbalingga, gatra.net - Pemerhati sejarah dari Banjoemas History and Heritage Community (BHHC) menilai, wacana untuk membangun museum tembakau di Purbalingga, Jawa Tengah, sulit diwujudkan. Pasalnya, sebagian besar lahan yang dibutuhkan merupakan aset perorangan atau BUMN.
Pegiat BHHC, Jatmiko Wicaksono, mengatakan, wacana pembangunan museum mini tembakau yang diembuskan Tim Pencatat Cagar Budaya (TPCB) Purbalingga pada focus group discussion (FGD) Selasa, (9/7) lalu merupakan usulan yang menarik. Tetapi, hal itu harus diimbangi dengan kondisi faktual di lapangan.
Jatmiko mengatakan, Purbalingga memang punya catatan sejarah menjadi pengekspor tembakau. "Tetapi, saat ini, aset-aset yang tersisa sudah menjadi milik swasta atau perorangan dan BUMN. Contohnya bekas pabrik tembakau PT Gading Mas Indonesia Tobbaco (GMIT) sudah menjadi pabrik bulu mata dan rambut palsu. Lalu, gudang tembakau di Kelurahan Karangsentul, sekarang menjadi gudang milik Bulog," ujarnya, Kamis (11/7).
Peninggalan lainnya, kata Jatmiko, juga perlu dilacak. Hal itu bisa dimulai dengan menelusuri catatan buku De Tabaksplantages Op Sumatra, Java en Borneo yang ditulis oleh JH Lieftinck & Zoon tahun 1906. Buku ini menyebutkan, terdapat dua perusahaan tembakau di Purbalingga yaitu De Erven de wed J Van Nelle yang dimiliki oleh H. Burgmans yang memproduksi tembakau merek Van Nelle dan Kandanggampang Mulder Redeker and Co yang dimiliki oleh Cornelis Johannes.
Aset lainnya bisa ditelusuri dari peta terbitan pemerintah Belanda pada 1917 yang mencantumkan lokasi gudang tembakau (tabakloodsen) di Kandanggampang, Penaruban di dekat jembatan lama Sungai Klawing, Karanglewas dan Walik di Kecamatan Kutasari serta Pagutan, Kecamatan Bojongsari, Karangsentul, Planjan, Kecamatan Kalimanah dan tiga gudang di Desa Patemon, Kecamatan Bojongsari.
"Status bangunan itu masih perlu ditelusuri. Masih berdiri atau tidak, atau sudah dirobohkan dan tidak terawat," katanya.
Anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Purbalingga, Ganda Kurniawan, menuturkan, bangunan yang disebutkan pada buku tersebut belum pernah diteliti. Namun, secara sepintas, jejak tembakau yang tersisa hanya dapat dilihat di eks-pabrik tembakau PT GMIT dan gudang Bulog Purbalingga.
"Semuanya belum pernah disentuh TACB. Tapi, sekilas, ya hanya dua bangunan itu yang tersisa," ujarnya.
Menurut Ganda, Pemkab Purbalingga perlu menggandeng pemilik bangunan apabila ingin mewujudkan Museum Tembakau. Terutama untuk kerja sama penggunaan bangunan. "Yang paling masuk akal saat ini ya menggenjot produksi tembakau, apabila ingin produk itu kembali berjaya seperti masa lalu," katanya.