
Jakarta, gatra.net - Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendukung program perumahan untuk rakyat.
Hal itu diungkapkan Ketua Umum Partai Buruh sekaligus Presiden KSPI, Said Iqbal dalam keterangan resminya pada Rabu (29/5). Menurutnya, kebutuhan perumahan untuk buruh, kelas pekerja dan rakyat adalah kebutuhan primer seperti halnya kebutuhan makanan dan pakaian (sandang, pangan, papan).
"Bahkan di dalam UUD 1945 negara diperintahkan untuk menyiapkan perumahan sebagai hak rakyat. Di mana dalam 13 Platform Partai Buruh, jaminan perumahan adalah jaminan sosial yang akan kami perjuangkan," kata Said Iqbal.
Ia menyebut, Tapera yang dibutuhkan buruh dan rakyat adalah kepastian untuk mendapatkan rumah layak melalui dana APBN dan APBD.
"Tetapi persoalannya, kondisi saat ini tidaklah tepat program Tapera dijalankan oleh pemerintah dengan memotong upah buruh dan peserta Tapera. Karena membebani buruh dan rakyat," lanjutnya.
Ia menjelaskan beberapa alasan program Tapera belum tepat dijalankan saat ini. Pertama, belum ada kejelasan terkait dengan program Tapera, terutama tentang kepastian apakah buruh dan peserta Tapera akan otomatis mendapatkan rumah setelah bergabung dengan program Tapera. Jika dipaksakan, hal ini bisa merugikan buruh dan peserta Tapera.
"Secara akal sehat dan perhitungan matematis, iuran Tapera sebesar 3% (dibayar pengusaha 0,5% dan dibayar buruh 2,5%) tidak akan mencukupi buruh untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat di-PHK," tegasnya.
Sekarang ini, lanjutnya, upah rata-rata buruh Indonesia adalah Rp3,5 juta per bulan. Bila dipotong 3% per bulan maka iurannya adalah sekitar Rp105.000 per bulan atau Rp1.260.000 per tahun. Karena Tapera adalah tabungan sosial, maka dalam jangka waktu 10 tahun sampai 20 tahun ke depan, uang yang terkumpul adalah Rp12.600.000 hingga Rp25.200.000.
"Pertanyaan besarnya adalah, apakah dalam 10 tahun ke depan ada harga rumah yang seharga Rp12,6 juta atau Rp25,2 juta? Dalam 20 tahun ke depan? Sekali pun ditambahkan keuntungan usaha dari Tabungan sosial Tapera tersebut, uang yang terkumpul tidak akan mungkin bisa digunakan buruh untuk memiliki rumah," paparnya.
Oleh karena itu, ka menegaskan bahwa dengan iuran 3% yang bertujuan agar buruh memiliki rumah adalah kemustahilan untuk memiliki rumah.
"Sudah membebani potongan upah buruh setiap bulan, di masa pensiun atau saat PHK juga tidak bisa memiliki rumah," ujar Said Iqbal.
Alasan kedua, dalam lima tahun terakhir ini, upah riil buruh (daya beli buruh) turun 30%. Hal ini akibat upah tidak naik hampir tiga tahun berturut-turut dan tahun ini kenaikan upahnya sangat tipis. Bila dipotong lagi 3% untuk Tapera, tentu beban hidup buruh semakin berat, apalagi potongan iuran untuk buruh lima kali lipat dari potongan iuran pengusaha.
"Dalam UUD 1945 tanggung jawab pemerintah adalah menyiapkan dan menyedikan rumah untuk rakyat yang murah, sebagaimana program jaminan Kesehatan dan ketersediaan pangan yang murah. Tetapi dalam program Tapera, pemerintah tidak membayar iuran sama sekali, hanya sebagai pengumpul dari iuran rakyat dan buruh," katanya.
Alasan ketiga, ia menilai bahwa hal ini tidak adil karena ketersediaan rumah adalah tanggung jawab negara dan menjadi hak rakyat. Bukan malah buruh dipaksa membayar iuran 2,5% dan pengusaha membayar 0,5%.
Sedangkan alasan keempat, Program Tapera terkesan dipaksakan hanya untuk mengumpulkan dana masyarakat khususnya dana dari buruh, PNS, TNI/Polri, dan masyarakat umum. Jangan sampai korupsi baru merajalela di Tapera sebagaimana terjadi di ASABRI dan TASPEN. Dengan demikian, Tapera kurang tepat dijalankan sebelum ada pengawasan yang sangat melekat untuk tidak terjadinya korupsi dalam dana program Tapera.