
Jakarta, Gatra.com – Dalam debat calon wakil presiden (cawapres) di Jakarta Convention Center (JCC) semalam, Jumat (22/12/2023), cawapres nomor urut 02 membanggakan jumlah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang besar yang berkontribusi banyak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
“Kita lanjutkan juga pemerataan pembangunan yang tidak lagi Jawasentris. Kita genjot terus ekonomi kreatif dan UMKM. Kita punya 64 juta UMKM yang menyumbangkan 61% untuk PDB kita,” ujar Gibran dalam pidato pembukanya dalam debat semalam.
Namun, menurut pengamat ekonomi yang juga Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Suroto, dari jumlah UMKM sebanyak 64 juta itu, usaha mikro adalah prosentase yang terbesar karena meliputi 99,6% dari total jumlah usaha pelaku usaha di Indonesia.
Sementara jumlah usaha kecilnya, lanjut Suroto, hanya sebanyak 138 ribu atau 0,35% dari total pelaku usaha. Lalu jumlah usaha menengah hanya sebesar 80.245 atau 0,05%, dan usaha besar sebanyak 5.600 atau 0,0006% dari total pelaku usaha yang ada.
“Kontribusi usaha mikro dan kecil 99,9% itu sesungguhnya kurang lebih hanyalah 18%. Sisanya 82% ternyata dikuasai oleh usaha besar dan usaha menengah yang kebanyakan adalah perluasan perusahaan besar. Jadi, 99,6% atau 64 juta pelaku usaha kita yang dibanggakan cawapres Gibran itu adalah kelas gurem,” kata Suroto dalam keterangan resminya Sabtu (23/12/2023).
Selain itu, Suroto juga mengkritisi klaim Gibran yang menyebut bahwa model kebijakan paket input, seperti perluasan akses kredit, subsidi, bantuan, program pendampingan, konsultasi, dan sebagainya, telah berhasil berjalan baik. Ia justru menilai bahwa kebijakan tersebut telah terbukti gagal.
“Di mana seluruh program itu dalam praktiknya hanya menguntungkan para makelar program lebih besar ketimbang memberikan manfaat bagi pelaku usaha mikro dan kecil,” kata Suroto.
Suroto mencontohkan program akses kredit bagi ekonomi rakyat. Ia mencatat, dari total alokasi kredit perbankan yang ada, untuk usaha skala mikro yang mendominasi pada 2021, nilainya ternyata hanya 3% dari total rasio kredit perbankan.
Terlebih lagi, kata Suroto, alokasi itu pun terealisasi dengan topangan subsidi bunga dan penjaminan kredit dari sumber alokasi APBN yang jumlahnya puluhan triliun rupiah setiap tahun dalam program Kredit Usaha Rakyat (KUR).
“Model kebijakan politik ekonomi pemerintah yang gagal melindungi kepentingan ekonomi rakyat banyak ini sepertinya oleh cawapres Gibran akan terus dilanggengkan, bahkan dengan cara yang menghina dan merendahkan marrabat rakyat sebagai pemegang sah kedaulatan republik ini dengan ingin gelontorkan makan siang gratis,” kata Suroto.
Di era ekonomi digital saat ini, Suroto menyebut bahwa UMKM makin terjepit lagi. Hal itu lantaran ekonomi usaha besar dengan kekuatan investasi modal besarnya di sektor penguasaan bisnis basis platform mulai masuk menguasai usaha ekonomi skala mikro dan kecil.
Belum lagi, kata Suroto, kehadiran teknologi artifisial intelijen bisa mampu membantu ekonomi skala besar. Pengusaha besar akan dibantu dalam mengetahui dan menyesuaikan pola selera konsumen dengan teknologi itu. Ia menyayangkan pemerintah membiarkan itu liar dan regulasi makin longgar.
“Usaha ekonomi rakyat menjadi semakin termarjinalisasi dan motivasi pendiriannya lebih muncul karena negara tak sanggup menciptakan pekerjaan layak bagi mereka, ketimbang sebagai pilihan utama,” ujar Suroto.