Home Internasional Perjuangan Diplomat Thailand Bawa Pulang Warganya dari Gaza

Perjuangan Diplomat Thailand Bawa Pulang Warganya dari Gaza

Bangkok, gatra.net - Ketika kelompok bersenjata Palestina membawa pulang tawanan ke Gaza pada 7 Oktober 2023, bagian terbesar dari sandera adalah 32 orang warga Thailand. Sontak, Pemerintah Thailand dengan menggunakan seluruh jalur resmi berusaha menyelamatkan warganya. Dibalik layar, tim kecil yang terdiri dari warga Muslim Thailand memulai negosiasi terpisah yang akan mengarah pada pertemuan eksklusif dengan salah satu anggota petinggi penting Hamas.

Difasilitasi seorang tokoh Thailand di Iran, pesan-pesan dipertukarkan antara perwakilan Hamas di Teheran dan Wan Muhamad Noor Matha, Ketua DPR Thailand dan seorang politisi Muslim veteran berusia 79 tahun.

Lewat lobi-lobi intens, kedua belah pihak mengadakan pertemuan selama dua jam diadakan di ibu kota Iran pada 26 Oktober 2023. Dalam pertemuan itu delegasi Thailand yang terdiri dari tiga orang bertemu dengan pemimpin Hamas Khaled Qaddoumi, yang digambarkan oleh salah satu negosiator sebagai "seorang individu yang merupakan salah satu target utama Amerika".

Qaddoumi berjanji kepada para delegasi bahwa para tawanan Thailand - kebanyakan pekerja pertanian dari pedesaan Thailand - akan dibebaskan segera setelah keadaan aman untuk melakukannya.

Hamas menepati janjinya. warga Thailand termasuk di antara kelompok pertama sandera yang dibebaskan oleh Hamas. Kemudianlebih banyak lagi yang dibebaskan selama gencatan senjata yang goyah selama seminggu dengan Israel.

Peran Muslim Thailand

Para analis mengatakan bahwa terobosan ini dimungkinkan melalui hubungan hubungan yang telah lama terjalin dengan dunia Arab dan diplomatik multilateral - khususnya antara Muslim Thailand dan Hamas.

"Hamas mengatakan kepada kami bahwa kami adalah kelompok pertama dan satu-satunya yang melakukan pembicaraan langsung dengan mereka," kata Dr Lerpong Syed, salah satu negosiator Thailand, kepada CNA, Selasa (5/12).

Pada saat yang sama, para analis mencatat bahwa Hamas mendapatkan keuntungan dari pembebasan tanpa syarat tersebut. Kelompok militan ini ditetapkan sebagai organisasi teror oleh negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Inggris.

"Hamas ingin memiliki soft power di komunitas global. Mereka ingin memiliki teman," kata pakar Timur Tengah Dr Arthit Thongin dari Fakultas Ilmu Politik, Universitas Terbuka Sukhothai Thammathirat, yang menggambarkan langkah tersebut sebagai "kemenangan cepat" bagi kelompok bersenjata tersebut.

Selama dialog eksklusif dengan Hamas, delegasi Thailand meminta pembebasan tanpa syarat bagi para pekerja Thailand dan menekankan netralitas Thailand dalam konflik tersebut.

Lerpong mengatakan kepada CNA bahwa delegasi tersebut tidak mewakili pemerintah Thailand dan tidak memiliki kekuatan tawar-menawar; yang mereka lakukan hanyalah meminta bantuan.

"Kami meminta mereka untuk membantu membebaskan warga Thailand karena warga Thailand tidak terlibat dalam konflik.Pembicaraan itu berlangsung cukup lama," jelasnya.

Pembebasan Pertama

Sebulan kemudian, ketika gencatan senjata yang ditengahi Qatar mulai berlaku, kehadiran 10 pekerja Thailand dalam kelompok pertama sandera yang dibebaskan oleh Hamas sebagian besar disambut dengan keterkejutan dan ketidakpercayaan.

Mereka dibebaskan dalam perjanjian terpisah dari kesepakatan gencatan senjata antara Hamas dan Israel dan kemudian bergabung dengan 13 warga Thailand lainnya pada hari-hari berikutnya.

Seluruh 23 warga Thailand tersebut telah kembali ke rumah mereka - 17 orang telah terbang pulang minggu lalu, sementara enam orang lainnya tiba di Bangkok pada hari Senin (4 Desember).

Sembilan warga negara Thailand masih ditawan di Jalur Gaza yang dikuasai Hamas, menurut kementerian luar negeri Thailand, dengan ketidakpastian atas pembebasan mereka setelah gencatan senjata berakhir satu minggu yang lalu.

Dr Lerpong adalah presiden Asosiasi Alumni Thailand-Iran dan bekerja sebagai dosen di Fakultas Ilmu Politik, Universitas Internasional Al-Mustafa di Iran. Saudara laki-lakinya adalah pemimpin cabang Muslim Syiah di Thailand dan keluarganya telah mendukung Palestina selama beberapa dekade.

Melalui kegiatan-kegiatan seperti seminar akademis dan pawai pro-Palestina, cendekiawan ini berkenalan dengan para anggota Hamas. Hubungan inilah, katanya, yang membuka pintu bagi pihak negosiator dari Thailand. Negara-negara lain yang warganya ditangkap hanya berhasil menegosiasikan pembebasan mereka melalui jalur resmi melalui Qatar, Iran, Mesir dan Turki, tambahnya.

Selain pertemuan dengan Hamas, tim Dr Lerpong juga bertemu dengan tokoh-tokoh berpengaruh di Iran pada bulan Oktober untuk meminta bantuan mereka dalam pembebasan sandera.

Pada saat yang sama, pemerintah Thailand mengadakan pembicaraan paralel dengan sekutu-sekutunya di dunia Islam. Perdana Menteri Srettha Thavisin bertemu dengan Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman, dan mendiskusikan situasi ini.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Parnpree Bahiddha-Nukara melakukan perjalanan untuk bertemu dengan rekan-rekannya di Mesir dan Qatar. Ia juga mengupayakan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian di Doha dan meminta bantuan Teheran untuk membebaskan sandera Thailand.

Menurut kementerian luar negeri Iran, Abdollahian menyampaikan pesan tersebut kepada "pejabat tinggi gerakan Hamas" dalam sebuah pertemuan terpisah di ibukota Qatar.

"Thailand telah menggunakan berbagai saluran diplomatik," kata Dr Jaran Maluleem, seorang profesor ilmuwan politik yang berspesialisasi dalam urusan Timur Tengah dari Universitas Thammasat.

Dia mencatat bahwa pengakuan Thailand terhadap Palestina sebagai sebuah negara dan statusnya sebagai negara pengamat Organisasi Kerjasama Islam juga telah berkontribusi pada kembalinya para sandera Thailand dengan selamat. "Tanda-tanda positif ini telah menempatkan kami di zona aman dalam situasi penyanderaan," tambah profesor tersebut.

 

65