_Cropped.png)
Yogyakarta, gatra.net - Dalam lima hari, empat kasus bunuh diri terjadi secara beruntun di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sepanjang 2023, polisi menyebut 30 warga DIY tewas karena bunuh diri.
Pengajar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Novi Poespita Chandra menerangkan niat atau bahkan keputusan bunuh diri muncul karena sejumlah faktor. Pencegahan dapat dilakukan sejak anak-anak.
“Pertama, karena depresi berkepanjangan . Sebuah Studi di Amerika menemukan bahwa 31 persen orang depresi berpikiran untuk bunuh diri,” tutur Novi saat dihubungi, Kamis (13/7).
Faktor kedua karena trauma mendalam. “Misalnya ada seorang yang trauma terhadap sebuah peristiwa berat dalam hidupnya, maka kemudian memutuskan bunuh diri karena tidak tahu mengatasinya,” imbuh dia.
Selanjutnya, menurut Novi, penyebab bunuh diri antara lain karena kehilangan atau lemahnya harapan, sakit kronis yang lama, problem finansial, bahkan perundungan dan hilangnya motivasi dan self identity.
Dari rentetan kasus bunuh diri di DIY belakangan ini, sejak Sabtu (8/7) lalu, korbannya dari berbagai latar usia dan latar belakang. Pada Sabtu (8/7) warga Imogiri, Bantul, GP (24) ditemukan tewas di rumahnya. Sehari kemudian, Minggu (9/7), seorang mahasiswa juga ditemukan tak bernyawa di kamar kosnya di Ngaglik, Sleman. Mahasiswa berinisial DAP asal Bantul ini diduga bunuh diri juga dengan cara gantung diri.
Keesokan harinya, Senin (10/7), warga Dlingo, Bantul, berinisial EBW (30) juga ditemukan gantung diri. Ia mengakhiri hidup diduga lantaran depresi. Terbaru, Rabu (12/7), warga Pundong, Mlati, Sleman, ibu rumah tangga berinisial SM, meninggal dunia dan dinyatakan bunuh diri.
Secara khusus, Novi menyoroti fenomena baru yakni kasus bunuh diri pada anak muda, seperti pada kasus kematian DAP di kamar kosnya di Sleman. “Di era digital ini sering anak muda memiliki gap antara harapan yang sering diungkap di medsos dengan kondisi nyata, maka mereka semakin merasa kehilangan identitas dan kebingungan, lalu lama-lama muncul keinginan bunuh diri,” papar Novi mengemukakan analisisnya.
Ia menyebut penanganan pada kasus bunuh diri dilakukan secara promotif, preventif, dan kuratif. “Penanganan kuratif tentunya butuh penanganan oleh professional seperti psikolog atau psikiater dengan terapi intensif dan komprehensif,” ujarnya.
Adapun untuk penanganan preventif dan promotif, menurut dia, diperlukan ekosistem positif baik di rumah, sekolah, atau tempat kerja. Ia mencontohkan langkah tersebut dapat dimulai sejak anak-anak di rumah dan sekolah dengan mengutamakan pembelajaran emosi dan sosial yang didukung oleh keluarga dan warga sekolah.
“Anak-anak dan remaja mesti melatih mengenal diri, berdialog dengan diri, manajemen diri, mengenal orang lain, dan membuat keputusan bertanggung jawab dalam hidupnya,” tuturnya.