
Jakarta, gatra.net- Pakar Oceonografi Universitas Sam Ratulangi, Rignolda Djamaluddin mengibaratkan izin ekspor pasir laut oleh pemerintah seperti halnya menjual "Tanah Air" yang berujung pada kerusakan. Adapun beleid dibukanya kembali keran ekspor pasir laut itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
"Jadi sekali lagi, pasir bukan mineral makanya lari ke KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan), kalau dia mineral perginya ke Kementerian yang lain. Jadi saya sepakat juga itu (ekspor pasir laut) kayak jual Tanah Air, kehancuran akan terjadi itu pasti," ujar Rignolda dalam diskusi publik bersama Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) secara virtual, Kamis (8/6).
Ia menilai alasan pemerintah membuka kembali keran ekspor pasir laut untuk mengatasi sedimentasi di laut justru keliru. Sebaliknya, pemerintah, kata dia seharusnya mengendalikan sumber sedimentasi di hulu.
Baca Juga: Kejati Sulsel Sita Uang Rp482 Juta terkait Korupsi Pasir Laut
Secara keilmuan, Rignolda menjelaskan bahwa sedimentasi yang berada di laut nantinya akan membentuk sebuah landscape atau yang biasa disebut sebagai pantai konstruksional atau deposition. Karena itu, ia menyebut bahwa eksploitasi pasir laut untuk diekspor bahkan bertentangan dengan upaya menyikapi perubahan iklim.
"Mestinya itu (sedimentasi di laut) dibiarkan saja, agar kemudian bisa membentuk suatu ekosistem baru termasuk mangrove yang tumbuh di ketinggian tertentu. Kita justru membutuhkan yang seperti itu," jelasnya.

Lebih lanjut, ia menuturkan bahwa tindakan mengeruk pasir laut dalam volume tertentu semestinya dibarengi dengan upaya mengisi kembali ruang yang dikeruk. Pasalnya, saat pasir laut dikeruk habis-habisan tanpa upaya konservasi akan menimbulkan abrasi di daratan.
"Jadi (pemerintah) mengatasi sedimentasi untuk menghasilkan abrasi. Soal ekosistem pasti rusak," ucapnya.
Baca Juga: DFW: PP 26 Tahun 2023 untuk Bersihkan Laut Tak Masuk Akal
Selain itu, Rignolda menegaskan bahwa pengelolaan sektor perikanan dan kelautan serta masyarakat adat pesisir harus berbasis pada karakteristik sumber daya dan wilayah secara spesifik. Ia menilai, masyarakat adat adalah pihak yang paling mengenal wilayahnya dengan segala perubahan yang terjadi berdasarkan pengalaman dan pengetahuan.
"Jangan pernah mengajari nelayan berenang, apalagi diajari oleh orang yang tidak tahu berenang dan tak tahu laut," tuturnya.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengklaim bahwa PP 26 Tahun 2023 justru dibuat untuk melindungi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil dari ancaman aktivitas pengambilan pasir laut secara ilegal. Menurut dia, nantinya penggunaan pasir laut untuk kegiatan reklamasi juga menjadi lebih tertata dengan munculnya beleid tersebut.
"Selama ini belum ada aturannya, berarti mengambil (pasir laut) bebas dari pantai, dari pulau-pulau. Ini yang kita atur," kata Wahyu dalam keterangannya, Rabu (7/6).
Baca Juga: Menteri KKP Trenggono Sebut Pengerukan Pasir Laut DIprioritaskan untuk Reklamasi & Penataan IKN
Menteri KKP itu pun mengungkapkan saat ini pihaknya tengah mempersiapkan aturan turunan, yang di dalamnya juga terdapat Tim Kajian yang terdiri dari institusi pemerintah, lembaga oseanografi, perguruan tinggi, hingga pegiat lingkungan. Ia menilai, dengan dilibatkannya berbagai unsur dalam tim kajian akan menghasilkan kebijakan pengelolaan hasil sedimentasi di laut yang lebih ketat dan transparan.
"Saya ini panglimanya ekologi. Membuat kebijakan tidak boleh ada vested di dalamnya. Kebijakan harus bebas dan benar-benar untuk kepentingan bangsa dan negara," pungkas Trenggono.