
Jakarta, gatra.net - Dosen Hukum Universitas Trisakti, Ali Ridho menilai pengaturan kenaikan cukai rokok melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tidak tepat. Pasalnya, terdapat perampasan hak asasi manusia dalam kebijakan kenaikan cukai rokok, khususnya bagi petani tembakau.
"Ketika kita ingin mengambil hak seseorang, itu kan hanya dimungkinkan oleh dua hal. Pertama karena memang diatur dalam Undang-undang. Kedua, karena memang ada putusan pengadilan sehingga hak itu bisa dicabut," katanya di Jakarta, Jumat (20/5).
Menurutnya, setiap orang yang membayar pajak, memiliki haknya masing-masing, begitu pula dengan petani tembakau. Oleh karena itu, pengaturan kenaikan cukai melalui PMK sangat tidak tepat.
"Dalam Undang-undang Dasar pun dikatakan demikian, ketika persoalan Hak Asasi Manusia yang boleh menentukan itu adalah Undang-undang," tegasnya.
Alasan pengaturan ini harus melalui Undang-undang, lantaran pembuatannya melibatkan dua representasi rakyat, DPR dan Presiden. Jika pengaturannya hanya sebatas peraturan menteri, keterwakilan rakyat dalam kebijakan ini malah menjadi pertanyaan.
"Maka sebenarnya tidak boleh kebijakan-kebijakan yang modelnya seperti itu.
Pasal 28D Ayat 2 tegas menyebutkan, persoalan pencabutan hak asasi manusia dilakukan dengan Undang-undang. Kemudian dalam praktiknya boleh dengan putusan pengadilan tapi itu dalam kasus tertentu," jelasnya.
Oleh karena itu, lanjut Ali, idealnya pengaturan terkait kenaikan cukai rokok harus diatur melalui Undang-undang. "Ini kaitannya dengan materi muatan, substansi dari aturan itu yang mencoba menarik materi muatan UU ke dalam peraturan yang lebih rendah, dalam hal ini PMK. Sehingga tidak tepat kalau hanya dengan PMK saja," katanya.