
Bahaya ledakan dari sumur minyak ibarat bom waktu bagi para penambang ilegal (illegal drilling). Tak ayal banyak molot (pengumpul minyak) yang sudah pasrah akan nasibnya kelak jika sesuatu menimpanya saat menambang. Mereka juga kucing-kucingan dengan aparat . Para molot ini tak dibekali keterampilan khusus, bermodal nekat mereka belajar dengan alam secara otodidak dan turun-temurun.
Wajah LS (37), ayah dua anak ini begitu bersemangat saat menyambut kedatangan jurnalis yang sudah membuat janji sebelumnya untuk bertemu dan mengobrol. Sehari sebelumnya pria yang sekarang merupakan pengemudi ojek online di Palembang, ini menyatakan bersedia bertemu di luar rumah, karena baginya tak ingin melakukan wawancara mengenai peristiwa kelam yang dilaluinya beberapa tahun silam diketahui anak-anaknya yang masih balita.
Meski baru pertama kali bertemu, namun ini tidak segan untuk membagikan pengalaman sebagai molot yang menyisakan sejuta trauma dalam hidupnya. Diceritakan bahwa tertarik terlibat dalam praktik illegal drilling, karena alasan klise (dorongan ekonomi keluarga). Pada awal 2017, ia memustuskan menerima tawaran keluarganya untuk bekerja sebagai molot ke Desa Keban 1, Kecamatan Sanga Desa.
Sebagai pemula, ia tidak memikirkan konsekwensi dari aktivitas illegal drilling, seperti tingkat bahaya meledak. Yang ada dalam pikirannya, ia harus dapat mengumpulkan uang untuk membiayai persalinan istrinya dari anak pertanya. Sulitnya lapangan kerja, tidak memberinya pilihan. Dalam sepekan sebagai seorang molot, ia dapat mengantongi Rp2 juta.
Menurutnya, jangankan standar operasional prosedur (SOP) terkait keamanan kerja, perjanjian hitam di atas putih atas resiko yang kemungkinan terjadi di kemudian hari pun tidak ada. “Saya tertarik ikut jadi molot karena diajak oleh keluarga di sana, dan upahnya yang lumayan sementara kerjanya hanya beberapa hari dalam seminggu. Saat itu di Palembang, sedang susah cari kerja, dan istri saya tengah mengandung anak pertama,” kenangnya.
Insiden yang ditakutkan pun tak terelakkan, kisaran bulan Juli 2017 sekitar pukul 15.00 WIB hingga 19.00 WIB udara berat dan gas dari sumur naik. Saat kejadian, dirinya ingin mandi tak jauh dari lokasi sumur minyak yang tengah dikerjakannya lalu mengeluarkan korek gas dari saku celananya.
“Hanya sedikit saja ada percikan api langsung disambar oleh gas dan uap minyak. Saat itu saya ingin mengeluarkan korek gas dari saku celana karena mau mandi. Siapa sangka gesekan korek dan celana jins tersebut memicu sambaran gas dan akhirnya meledak,” ucapnya dengan nada rendah.
Tiba-tiba saja ledakan dan kebakaran terjadi dalam hitungan detik. LS pun terpental sekitar 5 meter dan tersengat api. Seorang rekannya yang juga berada di lokasi terkena imbasnya meskipun tidak separah dirinya.
“Sistem kerjanya shift-shiftan, di mana dalam sehari dibagi tiga sesi yakni pagi dua kali, siang dua kali dan malam dua kali. Saat ganti shift ke malam itulah saya mengalami insiden ledakan. Lukanya 30 persen, bagian kaki dan tangan yang parah. 1 bulan lebih nggak bisa jalan karena urat kencang. Teman saya juga kena luka bakar,” katanya.
Terlepas dari banyaknya insiden ledakan, LS mengaku banyak rekannya yang tidak jera untuk mengambil pekerjaan ini. Karena pada tahun 2017 itu untuk satu drum saja diupah Rp40 ribu dan sekali bekerja bisa menghasilkan sekitar 50 drum. Jadi dalam sehari itu saja bisa masuk uang Rp2 juta dari molot ini.
“Namun untuk sekarang, saya tidak tahu berapa upah dari molot ini, karena diperkirakan harganya sudah menurun. Hal ini dikarenakan faktor banyaknya toke yang membuka atau mengebor sumur baru ditambah cadangan minyak juga sudah menipis,” ungkapnya.
Rasa trauma yang dialaminya bertambah kuat setelah setahun kejadian yang menimpanya, tak jauh dari titik sumur mereka ada ledakan juga dan korbannya teman dekat LS. “Saya menyaksikan betul tubuhnya tersambar api dan hangus terbakar. Sementara pekerja lain nggak bisa berbuat apa-apa karena beresiko juga. Akhirnya teman saya nggak bisa diselamatkan usai beberapa hari dirawat di RS. Saya tambah takut dengan kejadian itu,” ungkapnya dengan nada sedih.

Tanah dan Air Sungai Tercemar
Maraknya kasus illegal driling di kabupaten Musi Banyuasin (Muba), tak luput dari perhatian aktivis lingkungan hidup setempat. Salah satunya Wahan Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel yang sudah lama menangani kasus kerusakan lingkungan akibat dari aktivitas tambang yang dilakukan tahun-menahun.
Tim riset sekaligus Pengkampanye Pertambangan, Karst & energi Walhi Sumsel, Febrian Putra Sopah mengatakan, berangkat dari rentetan kejadian pasca ledakan sumur minyak di kabupaten Muba merupakan salah satu puncak dari kelalaian pengelolaan tambang minyak itu sendiri. Karena skemanya illegal driling, tentunya aktivitas yang dilakukan tentu mengabaikan dampak lingkungan.
“Pasca ledakan itu muncul dampak baru, minyak yang tidak tertampung lari ke tanaman-tanaman di sekitar mulut tambang. Belum lagi tumpahan minyak mengalir ke sungai, dan bisa mempengaruhi ekosistem di sungai tersebut,” ujarnya.
Walhi Sumsel sendiri sudah menerima laporan dari warga setempat bahwa sudah terjadi pencemaran baik itu tanah dan sungai. Kebanyakan kasus pasca ledakan hanya ada satu orang yang ditetapkan sebagai tersangka namun pemilik ledakan atau oknum lain lolos dari jerat hukum.
“Mirisnya dalam hal ini molot yang sering dijadikan kambing hitam, tidak menyentuh bagaimana persoalan tambang ilegal itu ada proses pembiaran. Sudah dapat dipastikan keruskan lingkungan yang terjadi juga tidak ditangani dengan serius,” jelasnya.
Terkait adanya kebijakan pemerintah yang akan menjadikan tambang sumur tersebut sebagai tambang rakyat, Walhi Sumsel menilai langkah tersebut belum tepat jika melihat dampak kerusakan lingkungan yang akan terjadi ke depannya. Adanya proses pembiaran sehingga dibuatlah kebijakan yang tidak tepat. Walhi menilai tambang-tambang ini sengaja ‘diciptakan’ sehingga ujung-ujungnya dilegalkan. Tambang yang sudah akhirnya didorong menjadi tambang rakyat.
“Kalau berbicara tambang rakyat, sudah pasti ada potensi kelalaian lagi. Siapa bisa mengawasi? Apakah DLH bisa menjamin pengawasan ketika tambang rakyat itu berjalan. Sementara tambang yang dikelola oleh swasta yang menggunakan alat berat dan semacamnya bahkan teknologi yang tinggi pun tidak bisa menjamin akan menimbulkan masalah lingkungan,” ungkapnya.
Febrian menegaskan, apabila tambang rakyat ini dijalankan artinya pemerintah ada kesesatan pemikiran. Karena yang dibutuhkan masyarakat itu ekonomi, dan hilangnya kedaulatan masyarakat soal wilayah produksi atau sumber-sumber kehidupan. Pihaknya menduga selama ini, pembiaran illegal driling ini ada indikasi bagi mereka mendapatkan persentase dari tambang-tambang ilegal ini.
“Karena nggak mungkin hukum itu ditegakkan padahal semua orang sudah tahu detik ini saja masih ada aktivitas. Mereka tidak menyentuh akar persoalan yakni ekonomi masyarakat yang bertani dan berkebun namun tidak dimaksimalkan. Menurut kami negara keliru dalam pengelolaan lingkungan hidup,” urainya.
Menurutnya, tentu ada problem lain kenapa pemerintah tidak serius menangani tambang minyak ilegal ini. Setidaknya meredam aktivitas tersebut agar tidak terus ditambang rakyat. Problem utama yang terjadi saat ini menyangkut kesejahteraan masyarakat yang tak punya pilihan lain untuk mencari uang.
“Dampak ekonominya timpang sekali, kita kenal kearifan lokal masyarakat di Muba itu basisnya pertanian dan perkebunan. Kita lihat sekarang nyaris hilang. Karena ada perampasan lahan, konflik terus terjadi sehingga nilai kearifan tersebut habis. Nah masyarakat yang tersisih hari ini memanfaatkan peluang yang ada, lihat ada minyak dan beralih dengan menambang. Mana hasilnya juga besar,” terangnya.
Selain itu lahan pertanian di sana sudah tidak produktif, misalnya harga karet semakin menurun dan lahannya juga terbatas hanya dimiiki oleh beberapa orang. Mereka yang tidak punya lahan inilah harus bekerja mencari alternatif lain dengan menambang. Apalagi di Muba itu banyak sumur tua yang ditinggalkan, sehingga masyarakat mencoba mengakses lagi dan berhasil.
“Ini juga ada proses pembiaran dari negara. Kami menilai, tentunya ada orang di belakang ini. Yang pastinya Dinas Lingkungan Hidup tidak pernah melakukan penyetopan dari awal sehingga rusaklah lingkungan. Belum lagi penegakan hukum, padahal kasusnya ini turun-temurun,” ungkapnya.
Hutan Kita Intitute (HaKI) Palembang menilai, skema perekonomian kerakyatan yang ditawarkan pemerintah, seharusnya menyiapkan sektor baru untuk menghentikan tambang ilegal tersebut. Masyarakat jadinya sebagai kedok saja dalam persoalan ini. Lalu distribusi minyaknya yang laku di pasar apakah tidak bisa diputus oleh pemerintah.
“Sebenarnya apapun regulasinya dan solusinya itu yang terpenting adalah penindaktegasan atau penerapan atauran yang ada. Aturan yang ada itu kan sudah jelas bahwa tidak ada tambang ilegal di Sumsel,” ujar Pendamping masyarakat dari HaKI, Boni Fasius Ferdinandus Bangun.
Padahal sudah sangat jelas jika menelusuri Kecamatan Sanga Desa, hingga Pangkalan Bayat, aktivitas penambangan itu terang-terangan. Sampai minyak diangkut dan dimasak di Simpang Bayat dalam, semua aktivitasnya terbuka. Sangat mustahil pemerintah dan aparat tidak bisa melihatnya.
Menurutnya jika ada wacana untuk melegalkan tambang rakyat, maka sudah dipastikan untuk memberikan keuntungan bagi segelintir orang bukan untuk masyarakat sekitar tersebut. Apakah pemerintah pernah mengecek berapa lama bertahan disana misalnya 10 atau 20 tahun.
“Artinya jika 20 tahun minyak itu habis sumber perekonomian itu hilang belum lagi ditambah kerusakan alam dan insiden-insidenyang menimpa masyarakat harus dipikirkan juga. Apakah nanti ada lobang-lobang api yang tidak bisa dipadamkan. Memang harusnya kembali ke aturan awal, penertiban itu harus dilakukan,” tegasnya.

Terkait wacana izin tambang rakyat sambungnya akan menimpulkan persoalan baru. Menurutnya, banyak kepentingan di sana yang bakal menjadi pemantik konflik. Pastinya hanya segelintir orang yang menikmati apalagi pasca izin dikeluarkan tidak bisa menjamin koperasi desa, KUD nya, BUMDes akan bermain.
“Kalau BUMD saya kira bisa, SDM nya mereka punya. Sedangkan yang lain belum menjawab akan mensejahterakan masyarakat di sekitar sana. Kemudian akan kembali lagi tambang ilegal yang berpotensi memunculkan dua masalah baru. Yakni tambang rakyat masih ada kemudian konflik di tambang rakyat itu mulai berjalan. Ketika KUD nya punya interprensi di tambang rakyat maka bursa politik di pemilihan kades akan meningkat,” ujarnya.
Belum lagi kades terpilih akan memiliki otoritas penuh terhadap tambang minyak yang ada di sana. Ditambah BUMD yang sesuai prosedural tadi merekrut SDM yang sesuai dengan kompetensinya. Jika berbicara pasca izin dan penambangan, apakah mereka siap melakukan akitivitas tambang secara aturan yang ada. Artinya pemerintah akan mengeluarkan kualifikasi bagaimana tambang rakyat itu bisa mereka dapatkan izinnya. Otomatis rakyat yang menambang hari ini pun mereka belum tentu mendapatkan manfaatnya.
“Kemudian kerusakan alamnya pasti semakin besar. Contohnya saja kasus kebakaran dari ledakan minyak yang terjadi belakangan ini. Mereka berbicara butuh waktu lama untuk bisa dipadamkan. Artinya kompetensi itu pun mereka belum punya. Sekelas pemerintah pun hari ini sulit lakukan pemadaman,” jelas Boni.
Boni menambahkan, rata-rata aktivitas illegal driling ini masuk kawasan hutan. Jika berbicara kawasan hutan tentunya ada dinas terkait atau kementerian terkait yang terlibat seperti ESDM dan dinas kehutanan. Ketika dua dinas ini tidak bisa berupaya untuk menertibkan mereka bisa mengajukan persoalan ini ke Polri atau ke pemerintah daerah setempat.
“Sejauh ini saya lihat dua kementrian ini sudah lihat faktanya di lapangan. Hanya saja tidak serius dalam penangannya. Kalau mereka serius seharusnya dari beberapa tahun lalu praktik tambang ilegal ini tidak mungkin berlarut-larut. Kalau masyarakat berbicara ekonomi, tentu saja masyarakat inginnya dapat uang yang cepat. Itu pun tidak semua masyarakat di sekitar tambang minyak mendapatkan manfaatnya,” terangnya.
HaKI dengan tegas menyatakan tidak setuju dengan izin tambang rakyat ini. Pemerintah harus sepenuhnya menerapkan aturan yang ada bahwa tidak ada tambang ilegal diluar izin yang ada. Lalu penindakan tambang ilegal di kawasan hutan, sangat jelas aturannya bahwa jika ada aktivitas penambangan di dalam hutan yang bersangkutan dalam pidana pelanggaran.
“Jika berbicara untuk perekonomian rakyat, sebenarnya rakyat masih bisa hidup dari karet, perkebunan sawit di sekitar sana, menangkap ikan, belum lagi perkebunan HTI di sana. Persoalan perekonomian jangka panjang ini harusnya pemerintah berbicara tentang perhutanan sosial, bagaimana masyarakat diberi hak untuk mengelola lahan dan bertani serta merawat kawasan hutan tersebut,” ungkap Boni.
Penyumbang Hotspot Terbanyak di Muba
Memasuki musim kemarau tahun ini, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) telah mencatat kabupaten Musi Banyuasin (Muba) menempati posisi teratas untuk penemuan titik hotspot terbanyak di Sumsel. Adapun total titik hotspot dari bulan Januari sampai per tanggal 5 April ini sudah ada 100 hotspot, yang mana terpantau dari situs Lapan Fire Hotspot.
Kepala BPBD Muba, H Pathi Riduan mengatakan, sebagian besar titik hotspot ini berasal dari pembakaran dan pembukaan lahan. Kemudian sebagian besar titik hotspot itu karena tertangkap karena ada aktivitas panas yang tinggi seperti cerobong asap perusahaan.
"Dari data tersebut, 48 titik merupakan titik hotspot berdasarkan uap panas pembuangan gas, sumur bor Illegal Driling, cerobong asap dan panas hamparan terbuka," ujarnya.
Ia menambahkan, data dan dokumentasi didapatkan setelah tim melakukan groundcheck ke lokasi berdasarkan tikor, setelah di titik nol tikor tim hanya menemukan hamparan luas berupa lahan ataupun kebun, data lain juga diberikan oleh tim satgas dari perusahaan perkebunan di wilayah Kabupaten Muba.
"Penanggulangan dan Groundcheck dilaksanakan secara mandiri maupun terpadu bersama stakeholder lainnya seperti TNI/POLRI, Manggala Agni, Dinas Kehutanan, Pihak Perusahaan, Aparat Desa atau Kecamatan," katanya.
Reporter: Yuliani