
Aktivitas illegal drilling atau pengeboran sumur minyak tak disertai dokumen resmi, seakan tidak bisa dipisahkan dari Kabupaten Musi Banyuasi, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel). Ribuan sumur minyak illegal ditemukan menebok perut Bumi Serasan Sekate. Aparat setempat disinyalir turut melanggengkan praktek illegal drilling.
Kepulan asap hitam pekat terlihat membumbung di sepanjang jalan di kecamatan Sanga Desa kabupaten Musi Banyuasin (Muba) Sumatera Selatan. Di kanan kiri jalan menuju Desa Keban tampak sumur minyak yang terbengkalai maupun yang masih aktif. Masyarakat lokal terlihat terang-terangan mengebor sumur minyak ilegal.
Ujang (38), satu warga lokal yang menemani perjalanan kami siang itu mengaku jauh di pedalaman hutan dari bibir jalan besar masih banyak lagi titik sumur minyak. Sedangkan yang terlihat di pinggir jalan hanya beberapa saja bahkan sudah ditinggalkan oleh empunya. Padahal sudah jelas banyak plang imbauan dari Polres Muba terkait larangan aktivitas illegal driling di kawasan tersebut.
“Kalau sempat lihat asap hitam mengepul, itu lagi masak minyak (penyulingan minyak mentah). Jadi jangan dikira ada kebakaran,” ujarnya kepada tim gatra.net saat mengunjungi daerah tersebut untuk pertama kalinya pada Jumat (21/1/2022).
Menurut Ujang, asap tersebut merupakan proses bagian dari memasak minyak atau tempat penyulingan minyak mentah yang juga dilakukan secara tradisonal oleh masyarakat setempat. Biasanya tempat masak atau penyulingan ini tidak berada jauh dari lokasi tempat menambang minyak di daerah tersebut.
“Di sini sudah biasa lihat mobil pick up wara-wiri bawa jeriken, biasanya itu diangkut dari sumur minyak dan langsung dibawa ke tempat masaknya,” tambahnya.
Perkataan Ujang, bukan sekedar omong kosong belaka. Sepuluh menit kemudian sebuah pick up hitam melintasi mobil yang kami tumpangi dengan membawa jeriken warna hitam dan biru. Kondisi jalan yang rusak dan berlubang sana sini menuju desa Keban tidak menjadi hambatan bagi kendaraan yang lalu lalng disana.
Ibarat sudah menjadi makanan sehari-hari, kendaraan disana pun sudah menyesuaikan kondisi medan jalan yang cukup parah. Jalan tanah yang tidak rata tersebut mulai tampak menuju desa Keban kurang lebih 2 kilometer dari jalan utama yang merupakan aspal. Tak heran jika lubang dengan diameter mulai dari 10 cm hingga 50 cm, ibarat mata ranjau yang membuat kendaraan tak bisa melintas dengan cepat di jalan tersebut.
Ujang mengaku, kondisi jalan akan bertambah parah jika sudah hujan, karena hanya mobil dengan spek besar saja yang bisa menaklukkan tanah merah dan berdebu yang becek akibat hujan. Lokasi titik sumur minyak yang tampak di pinggir jalan pun tidak berjauhan. Bahkan drum-drum dan ceceran limbah minyak berwarna hitam juga sangat jelas terlihat.
Sekitar 2 jam perjalanan dengan kecepatan di bawah rata-rata akhirnya tim Gatra sampai di Desa Keban 1, lokasi di mana tempat terjadinya ledakan sumur minyak hebat dari aktivitas illegal driling yang mana pemilik lahan bernama Rojali, pada Kamis (28/10/2021) sekira pukul 24.00 WIB. Dan api baru dapat dipadamkan lima bulan pasca ledakan.
Warga setempat mengaku, ledakan sumur dari aktivitas illegal drilling kerap terjadi. Bahkan banyak kasus ledakan baik skala besar dan kecil yang tidak terekspos ke publik. Di kabupaten Muba sendiri, ledakan dan kebakaran sumur dari hasil pengeboran tradisional ini sudah menjadi hal lumrah. Bahkan masyarakat sekitar dengan entengnya mengindahkan larangan illegal driling tersebut. Mirisnya, hal ini terjadi secara turun-temurun dan bertahun-tahun tanpa solusi yang pasti untuk mengurai aktivitas yang beresiko bagi masyarakat ini.

Kucing-kucingan dengan Aparat
Warga (penambang illegal) sangat menyadari konsekwensi yang akan dialaminya, baik berupa ancaman bahaya ledakan dari sumur minyak, mereka juga harus kucing-kucingan dengan aparat penegak hukum. Tak ayal banyak molot (istilah bagi pekerja yang mengambil minyak dari sumur bor dengan pipa atau canting) yang pasrah akan nasibnya saat menambang sumur minyak secara ilegal dengan berbagai konsekwensi yang dihadapi.
Bahkan saat bekerja, pekerja molot tak dibekali keterampilan khusus, melainkan modal nekat mereka belajar dengan alam secara otodidak dan turun-temurun. Pekerjaan penuh bahaya ini terpaksa dilakukan pendatang dan warga sekitar karena tuntutan kebutuhan hidup. Langkah molot menjadi alternatif terakhir disaat karet yang menjadi komoditas utama hancur dan lahan pertanian lainnya sudah rusak dan tak subur lagi. Salah satu warga Desa Keban, AP (41), yang bekerja sebagai molot mengaku bahwa kebun tempat tinggalnya sekarang sudah tidak bisa ditanami lagi. Jangankan tanaman pokok, untuk sekedar menabur bibit sayur dan buah saja tidak bisa lagi tumbuh subur.
“Orang bilang tanah kami banyak minyak, kalau sudah banyak yang buat sumur bor pasti minyak naik ke permukaan. Otomatis dalam radius beberapa meter saja tanah sudah tercemar dan tak bisa ditanami,” ujarnya.
Sebagai pekerja molot, ia bersama rekannya bekerja tanpa mengenal waktu, meski peralatan yang digunakan jauh dari standar yang sewaktu-waktu bahaya dapat menimpanya. Saat sumur baru memancarkan minyak, mereka berlomba dengan waktu memolot minyak tersebut sebanyak mungkin. Jika tidak cepat dicanting, minyak akan menyusut dan tandanya mereka juga akan kehilangan pundi-pundi rupiah.
“Kalau ketangkap ya… pintar-pintar ngeles (mengalihkan percakapan). Paling ditahan semalam atau dua malam selebihnya bebas,” ujarnya.
AP mengaku, dalam sehari rata-rata hasil sulingan minyak mentah yang bisa berubah menjadi bensin, solar dan minyak tanah tersebut bisa mencapai satu tanki atau setara 1.300-1.500 liter untuk satu toke. Namun tak semua pemolot beruntung, karena mereka juga kerap mengebor di lokasi baru dan hanya mendapatkan air. Artinya tidak semua tempat bor baru diyakini bisa menghasilkan minya.
“Kadang itulah resikonya sudah banyak habis modal bahkan sampai jual kebun tapi tidak ada hasil apa-apa. Bisa jadi saat tidak ada minyak pipanya bengkok di dalam, atau canting tersangkut dan di sanalah kami berduka dan tentunya toke pun rugi besar,” jelasnya. Kedalaman pengeboran mencapai sekitar 250-300 meter.
Hal serupa diungkapkan Yan, petani karet. Ia ikut memolot, karena hasil pertanian karet sudah tidak bisa diandalkannya. Kabar ledakan kerap ia dengar, bahkan tak jarang yang menjadi korban adalah kerabat dan temannya sendiri. Hal itu tidak dihiraukan, mengingat asap dapurnya lebih penting ketimbang harus pusing mengkhawatirkan resiko dan bahaya yang mengintai.
“Harga karet turun jauh, bahkan harga terendah Rp6.000 per kilogram. Dengan harga segitu kami tak cukup membiayai keluarga, untuk makan pun kurang,” tuturnya lirih.
Cara 'Instan' Mendapat Uang Besar
Mencari uang dengan cepat dan untung besar, adalah mimpi banyak orang, tak terkecuali MN. Di kalangan molot dan aktivitas illegal driling di Muba, MN sudah familiar sebagai pemilik modal atau biasa disebut toke. Beberapa titik sumur yang tersebar di Muba pun diyakini merupakan kucuran modal dari kantongnya.
MN mengaku, mulai menanam modal untuk mengebor minyak ilegal pada awal tahun 2000, yang mana pada saat itu cadangan minyak cukup melimpah di Kabupaten Muba, dan belum banyak penambangan. Bermodal nekat, MN pun berkongsi dengan beberapa rekannya yang harus mengeluarkan modal besar demi mereguk cuan dari minyak yang dibor dari titik sumur yang baru dibuat.
“Hasil dari molot langsung kami bawa ke tempat masak, sekali masak bisa 1.500 drum dan untuk satu drum dihargai Rp150 ribu. Jadi bisa dikatakan untuk satu drum saja bisa untung Rp1.000.000 hingga Rp2.000.000,” ujar MN.
Untuk penjualan sendiri, dirinya tidak pusing, karena ada yang siap menampung dari luar daerah (Lampung dan Jambi). Transaksinya pun ada uang ada barang. “Biasanya mereka pakai minyak untuk keperluan industri. Dulu aktivitas angkut minyaknya aman-aman saja bahkan beberapa truk besar juga wara wiri angkut minyak. Sekarang sudah jarang karena dilarang,” jelasnya.
Setelah 10 tahun menggeluti bisnis tersebut, apalagi banyak pemodal dan pemilik lahan yang ditangkap, akhirnya ia memutuskan berhenti. Uang yang terkumpul pun dimodalinya tempat usaha toko klontong, kios minyak mini sampai sarang walet.
“Sekarang sudah capek, nggak lagi saya modalin mereka. Capek kucing-kucingan dengan aparat saat razia. Belum lagi kami harus menanggung resiko jika ada ledakan besar dan molot sampai jadi korban,” ujarnya.
Melenggangnya bisnis illegal driling ini, diakui tidak hanya cukup bermodal di sumur saja. Namun ada beberapa oknum yang juga harus ‘dijaga kepercayaannya’ agar usahanya tetap aman. Sebut saja itu aparat yang kerap beberapa kali melakukan sweeping di daerah titik minyak.
“Saya nggak berani bilang ngasih uang ke siapa saja, yang pasti tahulah sendiri kalau tidak ingin dirazia dan diproses hukum harus mengamankan siapa. Yang jelas semua kami lakukan agar tetap aman,” jawabnya seadanya saat disinggung beking di balik illegal drilling.

Aparat dan Pejabat Daerah Turut Bermain
Kekayaan minyak di bumi Serasan Sekate, tersebut membuat semua orang berlomba-lomba meraih cuan kendati harus rela melakukan eksploitasi lingkungan. Apalagi keberadaan sumur-sumur tua yang masih produktif menghasilkan minyak, membuat akrivitas illegal driling susah dibasmi di kabupaten Muba.
Menurut Deputi Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Sumsel, Feri Kurniawan, selama ini aktivitas tambang tersebut memang dikelola oleh masyarakat, di samping juga ada mafia atau orang-orang bermodal yang berani mengeluarkan upah untuk masyarakat.
“Kenapa pemerintah daerah membiarkan ini? Karena ada oknum aparat yang bermain. Jadi mereka (Pemda) sendiri pun turut andil. Kondisi disana kan disebabkan faktor luasnya daerah ditambah terisolir juga lalu bagaimana mereka akan melakukan pengawasan,” ujarnya.
Feri menyebutkan misalnya saja ada 4.500 titik bor sumur tua, jadi di regulasinya seharusnya pemerintah harus menerbitkan Perpres tentang sumur tua ini. Dimana Pertamina sebagai pemegang hak pembelian minyak di Indonesia tidak menerima hasil ilegal driling ini,” ujarnya.
Namun faktanya sekarang pun Pertamina masih membeli minyak ini melalui koperasi. Jadi aktivitas ini terus terjadi apalagi banyak sekali setoran mulai dari aparat keamanan hingga ke pemerintah.
“Saya pernah menjadi rekanan Petro Muba. Jadi masalahnya sekarang pemerintah daerah melalui Petro Muba yang merupakan unit usaha daerahnya tersebut malah menjadi agen atau penyalur minyak tersebut. Pembelian minyak oleh Pertamina akan melalui Petro Muba, sehingga bisa diatur bagaimana mekanismenya,” jelasnya.
Kendati perbuatan tersebut dilarang, namun dengan adanya kerjasama dengan pihak ketiga dan adanya pembelian tersebut bisa mendata sumur-sumur minyak yang dieksplorasi. Jadi Pemda sebagai pemegang saham Petro Muba mengizinkan aktivitas ini.
“Karena izin dari kementrian sendiri belum ada. Jadi walaupun kegiatan ini melanggar namun ini solusi sementara untuk mengatur ketidakjelasan pengelolaan sumur tua ini. Bisa dikatakan Pemda pun mensupport illegal driling ini terlepas apapun alasannya,” terang Feri.
Menurutnya, Pemda terpaksa melakukannya karena kalau kegiatan ini tidak dikoordinir oleh pihak ketiga maka resikonya semakin besar. Bisa dikatakan ini upaya pemda untuk mengurangi dampak lingkungan dan bahaya kebakaran. Apabila Perpres ini nantinya keluar maka perusahaan daerah akan menjadi semacam pengumpul yang sifatnya legal. Kalau sekarang dengan yang dilakukan Petro Muba pun masih dikatakan melanggar.
“Terkait adanya wacana tambang rakyat sebagai upaya melegalkan aktivitas tersebut, Feri menyebutkan wacana ini belum kuat karena tidak ada landasan hukumnya. Jadi belum bisa dilaksanakan karena itu wilayah konsensi Pertamina. Seharusnya wacana Gubernur tersebut harus didukung oleh Pemkab dan pemerintah pusat,” ujarnya.
Menanggapi adanya pembelian minyak dari pihak Petro Muba, Head of ComRel & CID Zona 4 Pertamina Hulu Rokan Tuti Dwi Patmayanti menyebutkan jika Pertamina EP sudah memiliki perjanjian dengan Petro Muba untuk memproduksikan minyak bumi. Perjanjian tersebut hanya pada sumur tua di lapangan Babat dan Kukui, Kecamatan Babat Toman, Musi Banyuasin.
“Kerjasama ini telah mendapat persetujuan dari Kementerian ESDM, sesuai dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua,” ujarnya saat dikonfirmasi Rabu (20/4/2022).
Tuti menambahkan, dalam perjanjian tersebut telah disepakati bahwa Petro Muba memproduksikan minyak bumi hanya dari sumur tua Pertamina EP di Lapangan Babat dan Lapangan Kukui, dan tidak dari sumur-sumur lain.
“Dalam proses serah terima minyak bumi di titik serah yang disepakati dalam kontrak di SP Ramba Landing, yang mana di lokasi tersebut tempat dilakukannya treatment minyak dan verifikasi terkait jumlah minyak bumi yang dikirim ke titik serah sesuai dengan standar baku perhitungan minyak bumi di dunia perminyakan yaitu Quantity Accounting System (QAS),” jelasnya.
Ketidakberdayaan Pemerintah Daerah
Praktik illegal drilling yang sudah “mandarah daging” bukan perkara mudah untuk menghentikannya. Pemerintah Daerah (Provinsi Sumatera Selatan dan Kabupaten Muba), dengan berbagai pihak terkait untuk menyelesaikan persoalan illegal drilling, mulai dari pembinaan masyarakat agar mencari lapangan kerja lain, hingga upaya paling ekstrem yakni penangkapan baik itu pemilik lahan, pekerja, hingga pemodal tetap saja menemukan jalan buntu.
Plt Bupati Muba, Beni Hernedi mengakui pihaknya kewalahan mengatasi persoalan ini (illegal drilling) karena berbenturan dengan regulasi pemerintah pusat dan di sisi lain pencarian utama masyarakat. Menurutnya, upaya menekan praktik illegal drilling tidak dapat maksimal, karena adanya keterbatasan kewenangan.
“Ilegal drilling ini masalah sejak lama dan bertahun-tahun lalu. Ini menyangkut kewenangan yang tidak ada pada kami. Jadi menurut saya, pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian ESDM, harus cepat mengambil langkah penting termasuk kepastian hukum dan bagaimana solusinya,” ujarnya, seraya mengakui warganya dan warga lain melanggengkan illegal drilling di daerahnya. “Persoalan yang saat ini terjadi, tidak adanya sistem keamanan saat kegiatan (pengeboran) berlangsung sehingga sering terjadi ledakan yang menimbulkan korban jiwa, dan juga pencemaran lingkungan,” imbuhnya.
Disinggung terkait adanya keterlibatan oknum pejabat daerah maupun aparat dalam permainan minyak illegal ini, Beni menegaskan, jika ia tak akan tinggal diam. Menurutnya, aturan yang ada saat ini masih renggang karena belum ada kewenangan pihaknya dalam mengelola tambang minyak tersebut.
“Kondisi ini sebenarnya sudah ada sejak pemerintahan dulu, sudah lama sekali. Kenapa sekarang masih berlarut-larut? Karena kami tidak berdaya mengatasi illegal drilling yang kepastian hukumnya saja belum jelas. Di sisi lain, kami berbenturan dengan mata pencarian warga, dan ini kembali lagi kepada kesejahteraan warga walaupun kami paham resikonya juga besar,” ungkapnya.
Pemerintah Provinsi Sumsel, juga berdalih tidak bisa mengambil langkah tepat untuk benar-benar memberantas praktik tersebut. “Saya menyarankan kepada pemerintah pusat untuk medelegasikan sebagian kewenangan pengelolaan sumur minyak yang ada di Muba, kepada kami (Pemprov Sumsel). Selama ini pemerintah daerah hanya mengawasi tanpa gigi. Lantas apa yang kami awasi kalau kami jadi pengarah saja? Untuk melegalkan kami enggak punya kewenangan hanya mengusulkan, menutup juga melanggar,” ujar Gubernur Sumsel, Herman Deru.
Selain itu, upaya memberantas tambang minyak ilegal dengan cara memberikan sosialisasi kepada masyarakat atau menutup jalurnya dari Ulu hingga Ilir dinilai percuma saja. Sebab, pasar untuk membangun illegal drilling tetap ada, bahkan itu tak hanya di kabupaten Muba saja. “Selama ini praktiknya kan ada pemodal lalu ada pembeli maupun pasarnya masih. Itu bukan di sini (Sumsel) saja, akan tetapi di luar Sumsel bahkan lebih banyak. Jadi percuma saja kalau mau menutup sumur minyak itu,” ujarnya.
Deru menceritakan, jika dirunut dari sejarahnya terdapat banyak sumur minyak tua peninggalan masa colonial Belanda sejak tahun 1914 sehingga tidak ekonomis lagi untuk diusahakan sebelumnya oleh perusahaan. Melihat situasi tersebut perusahaan migas untuk sementara membiarkan sumur-sumur minyak tersebut. Akibat dari ‘pembiaran’ sumur-sumur tua migas di wilayah kerja perusahaan tersebut, hal ini sebenarnya membuat masyarakat untuk melakukan kegiatan pengusahaan migas secara ilegal.
Pemprov Sumsel bahkan menyadari bahwa hal yang dilakukan serta masyarakat ini sangat bertentangan dengan hukum. Tindakan-tindakan yang dilakukan masyarakat setempat yang melakukan kegiatan pengusahaan migas secara illegal ini juga menurutnya sangat berbahaya baik dari segi keselamatan juga merusak dari sisi lingkungan.
“Kegiatan illegal ini sangat merugikan dari sisi Pendapatan daerah. Akan tetapi perlu juga diberikan solusi bagi masyarakat lokal atau setempat sehingga kegiatan-kegiatan pengusahaan migas illegal yang mereka lakukan dapat menjadi legal,” jelasnya.
Melihat persoalan illegal driling ini cukup pelik, Herman Deru pun punya skema tersendiri untuk meminimalisir terjadinya insiden seperti ledakan dan kebakaran dari sumur yang ditambang secara tradisional oleh masyarakat. Maka itu pihaknya mendorong legalisasi sumur-sumur minyak illegal ini sebagai tambang rakyat.
“Misalnya tambang rakyat dilegalisasi, tetap harus ada yang menerima dengan harga yang baik. Maka itu jalan keluarnya yakni bekerjasama dengan Pertamina sebagai pemilik hak pengelolaan minyak bumi,” ujarnya.
Dirinya berencana untuk melegalkan aktivitas ekonomi tersebut sehingga regulasinya jelas dan ada standar keselamatan yang diterapkan serta mengurangi dampak buruk kerusakan lingkungan yang terjadi akibatnya. Apalagi bukan sumur tua saja yang dikelola secara ilegal oleh masyarakat namun ada pemodal yang sengaja membuka sumur baru demi meraup keuntungan tersebut.
Menurutnya selama ini penambangan sumur minyak ilegal di Muba, dikarenakan harga yang menjanjikan oleh penampung atau pengepulnya sendiri sehingga masyarakat dengan senang hati melakukan aktivitas penambangan kendati penuh resiko dan mengancam keselamatan mereka.
“Sudah saya ingatkan terus bahwa penambangan minyak ilegal itu bisa timbul karena ada harga yang menjanjikan di sana. Siapa lagi kalau pengepul swasta atau non Pertamina. Maka itu tambang rakyat kita legalisasi tetap ada menerima harga dengan baik, dengan melakukan kerjasama Pertamina. Sebab Pertamina punya hak untuk menetapkan harga beli tersebut,” katanya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji dalam rapat pembahasan Mekanisme dan Persyaratan dalam Rancangan Peraturan Menteri ESDM RI Tentang Tata Cara Pengusahaan dan Pemproduksian Minyak Bumi pada Sumur Tua dan Sumur Minyak yang Dikelola Oleh Masyarakat Sekitar belum lama ini di Palembang menuturkan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan perangkat daerah terkait persoalan illegal driling ini.
“Pemprov Sumsel menginginkan persoalan ini dilakukan secara komprehensif dan mempunyai regulasi yang jelas dan tegas. Nanti kami akan melakukan revisi Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2008 terkait peraturan sumur-sumur tua, dengan landasan memperhatikan unsur lingkungan dan keselamatan serta kesejahteraan masyarakat,” ucapnya.
Tutuka juga menyebutkan, hal utama yang perlu diperhatikan ialah legalitas. Bahwa BUMD yang berhak mengirim dan memproduksi, selanjutnya ke K3S. "Selain itu juga harus ada pembinaan dan memperhatikan aspek pengamanan," terangnya.

Terbentur UU Cipta Kerja
Aktivitas illegal driling di kabupaten Muba menjadi PR besar bagi jajaran penegak hukum untuk memberantas aktivitas tambang yang terjadi turun-temurun. Bahkan tindakan tegas aparat hukum tidak masih belum menimbulkan efek jera.
Kepala Kejari Muba, Marcos MM Simare-Mare melalui Kasi Intel Kejari Muba, Abu Nawas mengatakan, masalah tersebut dianggap rumit karena tak mudah menangani illegal driling apalagi jika ada ledakan dan memadamkan api yang terlanjur membesar. "Semua ini akibat ulah oknum pencari keuntungan pribadi yang tidak memikirkan efek dan dampak lingkungan, terutama untuk masyarakat serta Kabupaten Muba," ujarnya.
Seperti kejadian ledakan sumur minyak di Keban akhir tahun lalu yang saat ini masih ditangani pemerintah dan pihak terkait. Pihaknya mendapat informasi dari Pertamina jika api baru bisa dimatikan dengan alat atau cara yang profesional. Namun tetap saja waktu yang dibutuhkan tidak sebentar, karena diperkirakan api baru bisa padam utuh 2 tahun kemudian.
"Api ini bukan cuma karena minyak, tapi di kedalaman 500 meter galian sudah menyentuh gas dan minyak bumi. Jadi diperkirakan 2 tahun pasca ledakan baru benar-benar padam. Harapan kami semoga hal ini jangan sampai terulang karena banyak pihak yang dirugikan mulai dari tenaga, biaya, dan pikiran yang terkuras untuk mengatasi masalah ini," harapnya.
Jika penyebab api masih berkobar karena disulut minyak saja, tentunya menurut Abu bukan persoalan besar. Pihak terkait bisa memadamkan kobaran api racun atau ditimbun dengan tanah maupun pasir. "Tapi kalau penyebabnya gas tidak bisa dimatikan begitu saja. Kasus Keban ini sudah mencuat jadi isu nasional. Akhirnya dilakukan upaya seperti area sekitar sumur diblok, minyak diupayakan mengalir lewat sambungan pipa dan di sampingnya sudah dibuat penampungan air," ungkapnya.
Upaya pemadaman ini tentunya tidak sedikit, yakni berkisar hampir Rp12 miliar hingga Rp20 Miliar. "Lokasi itu kan sebelumnya tak bisa dilewati dengan mobil besar, kemarin sudah hampir 8 meter jalannya dibuka hampir 3 kilometer. Belum lagi biaya lainnya, jadi untuk memadamkan satu sumur ini saja pemerintah sudah berupaya maksimal," terangnya.
Sebagai salah satu penegak hukum, pihaknya mendapat fakta di lapangan jika yang dilakukan masyarakat selama ini hanya untuk dapat upah. Namun sayangnya itulah yang menjadi korban dan diproses sampai ke pengadilan. Pihaknya juga tidak bisa serta merta menolak karena itu sudah kewenangan pihak kepolisian. “Undang-undang itu kan mengatur tidak boleh Kejaksaan melakukan penyidikan. Jadi intelejen kami hanya mencari informasi di lapangan,” jelasnya.
Pihaknya berharap Kejaksaan tidak sekedar menyidangkan orang yang dipersalahkan di persidangan. Namun pihaknya berharap bisa menunjang pembangunan kebijakan pemerintah daerah Muba. “Kami melihat baik pemerintah kabupaten maupun pihak Pertamina sudah kewalahan memadamkan api ini. Namun kita berharap bisa ditanggulangi secepatnya,” ungkapnya.
Sejauh ini Kejari Muba sudah melakukan penyuluhan hukum sesuai amanah pasal 30 UU Kejaksaan nomor 16 tahun 2004. Pihaknya sudah melakukan pembinaan di dua kecamatan dengan mengedukasi warga yang melakukan pengeboran minyak. "Gunanya untuk mengingatkan kembali bahwa hal-hal yang berkaitan illegal driling dilarang. Mereka hanya melakukan pekerjaan tersebut demi mendapatkan upah. Ditambah lagi pemahaman masyarakat terkait hukum akan illegal driling ini sendiri masih sangat minim,” terangnya.
Sebagai intelejen, selama ini dirinya hanya mendengar yang ditangkap dan disidangkan itu bukanlah pemilik modal dan pemilik lahan. Jadi yang sampai ke meja hijau hanya pemolot dan pengangkut minyak seperti kasus di Bayung Lencir, Sanga Desa dan Keluang. Kesulitan penyidik sendiri berbenturan dengan UU Cipta Kerja.
“Jadi UU Cipta kerja ini sepertinya ‘memandulkan’ petugas kepolisian untuk menangkap tersangka sebenarnya, ini menurut pendapat kami. Saat menerima berkas dan menyidangkan perkara tidak serta merta kami meyakinkan apa yang disampaikan polisi itu adalah benar. Jadi kami berdasarkan UU yang berlaku dan didukung oleh para saksi, terkhususnya ahli baik dari DLH dan Pertamina juga,” ungkap Abu.
Apalgi kejaksaan sekarang sudah manggaungkan bahwa lebih merestorative justice atau menyelesaikan perkara di luar pengadilan. Seperti kasus persidangan molot yang pengakuan mereka mendapat upah Rp100 ribu per hari. Jadi pihaknya tak bisa terlalu kejam terhadap molot ini tadi.
“Beberapa kesulitan yang kerap kita hadapi dalam persoalan illegal driling ini adalah mereka terkadang tidak mengakui. Hukum itu kan tidak serta merta praduga saja. Terkadang kita sudah tahu ceritanya kalau itu pemilik modalnya namun tidak ada bukti tindak pidana. Jadi bagaimana mau menggelar perkara,” tegasnya.
Artinya kembali lagi pihaknya masih berharap pihak kepolisin yang lebih tahu faktanya dan mempunyai kewenangan akan penyidikan. Kejaksaan pun tidak bisa menginterprensi kewenangan penyidik dalam hal ini kepolisian.
“Dalam menetapkan seseorang itu pelaku di kasus illegal driling ini, sebenarnya mencari buktinya cukup sulit. Kalau soal ancaman pidananya jika sudah terbukti berdasarkan pasal 52 UU 22 tahun 2021 yang telah diubah menjadi UU nomor 11 tahun 2020 tentang cipta kerja itu sudah jelas tinggi ancamannya. Kurang lebih 6 tahun kurungan dan denda paling tinggi Rp60 miliar,” tuturnya.
Termasuk kegiatan di hulu seperti mereka melakukan eksplorasi, eksploitasi, termasuk molot membuat sumur. Sementara kegiatan yang di hilir seperti mengangkut minyak ke penampung dan ke pembeli swasta juga hampir sama ancaman hukumnya. Dilihat dulu cara perbuatan yang mereka lakukan saat ditangkap. “Kalau ancaman hukuman sudah sangat jelas, namun kembali lagi kita aparat penegak hukum ini kesulitan menghadapi UU Cipta kerja. Bukan seperti menghadapi pelaku teroris yang kalau tidak melakukan tidak bisa ditangkap,” tuturnya.
Sebagai intelegen kejaksaan sekaligus aparat penegak hukum, dirinya berharap kepada masyarakat maupun pemerintah termasuk pihak terkait bisa berpikir untuk manfaat orang banyak. Jangan sampai mencari keuntungan pribadi. Artinya benar-benar mensejahterakan masyarakat Muba itu sendiri. “Mereka kadang-kadang hanya dapat upah, per hari menerima Rp1 juta. Sedangkan penyuruh tadi dapat untung hingga miliaran, dan mirisnya mereka ini bukan orang Muba dan tinggal diluar Muba. Makanya kabupaten ini kaya tapi masyarakatnya miskin. Sekarang bersama-sama kita berpikir bagaimana SDM Muba dapat diberdayakan dengan meanfaatkan SDA nya yang luar biasa. Agar hasil SDA Muba ini bisa kembali ke warga Muba, bukan memperkaya oknum-oknum tertentu,” katanya.
Ratusan Sumur Minyak Ditutup
Kepolisian Daerah Sumatera Selatan (Polda Sumsel), berupaya memaksimalkan penertiban kegiatan masyarakat yang melakukan penambangan minyak secara ilegal (illegal drilling) di lokasi eks tambang minyak dan gas bumi atau sumur tua di wilayah Kabupaten Muba.
Polda Sumsel sendiri mendata, illegal driling ini terdapat lebih dari 800 titik yang tersebar di tiga kecamatan, yakni Kecamatan Sanga Desa terdapat 400 titik di Desa Keban dan Kemang, Kecamatan Lawang Wetan terpusat di Desa Talang Pajering sebanyak 200 titik, serta Kecamatan Babat Toman terpusat di Desa Sungai Angit sebanyak 200 titik.
Kapolda Sumsel, Irjen Pol Toni Harmanto mengatakan, akhir tahun 2021 lalu pihaknya bersama Gubernur Sumsel, sudah melakukan kunjungan ke Kabupaten Muba, terlebih pasca hebohnya kasus tiga kali ledakan sumur minyak dalam kurun waktu berdekatan belum lama ini. Upaya untuk menghentikan kegiatan pengeboran minyak ilegal di wilayah Muba, pihaknya telah memberikan imbauan kepada masyarakat yang selama ini menjadi pelakunya, agar menghentikan aktivitasnya dalam jangka waktu tertentu.
“Dalam menertibkan pengeboran minyak ilegal di kabupaten ini dilakukan secara hati-hati, tidak hanya dengan cara penegakan hukum. Selama ini sumur minyak peninggalan Belanda dan milik perusahaan migas yang tidak dieksploitasi karena tidak bernilai ekonomis, hingga kini dikelola oleh masyarakat dengan cara tradisional dan menjadi sumber mata pencarian mereka,” ujarnya.
Menurut Toni, sudah ada sebanyak 1.000 sumur ilegal di kawasan Kabupaten Muba yang mereka tutup berada di Kecamatan Bayung Lencir. Ia pun menargetkan akan memberantas habis para cukong serta pemilik modal yang membuat sumur minyak tersebut tanpa izin. “Kejadian ini terus berulang, saya pastikan secepatnya akan memberantas para pemilik modal yang membuka sumur ini,” kata Toni.
Pihaknya pun sudah beberapa kali menangkap tersangka atas kasus pengeboran sumur minyak ini. Terbaru adalah menangkap beberapa tersangka yang sedang melakukan aktivitas pengeboran sumur minyak ilegal di Muba. “Mereka ini (tersangka) rata-rata adalah pekerja yang digaji oleh seseorang. Jadi kita juga sekarang tengah mengejar para pemilik sumur ilegal ini termasu pemberi modal dan yang memfasilitasi mereka,” tegasnya.
Menurutnya, perlu adanya penanganan terintergrasi, tak hanya satu steakholder saja namun semua pihak harus bekerja sama serta adanya komitmen bersama. Jika sudah ada komitmen bersama dengan steakholder barulah melakukan tindakan tegas secara bersama. “Tidak ada yang namanya pandang bulu dalam penindakan yang dilakukan. Bongkar semua, dan siapa yang terlibat diproses hukum. Setelah ditindak harus dievaluasi dan diawasi dengan tegas, ini jangan sampai berulang ulang dan timbul lagi,” katanya.
Untuk itu, dirinya sangat membutuhkan peran serta dari berbagai elemen untuk memutus mata rantai illegal drilling ini. Ia menilai bahwa pekerjaan ini tidak hanya dengan Polri saja, tapi seluruh stakeholder. “Kan ada budaya masyarakat yang juga harus diubah. Dalam artian, budaya itu maksudnya dengan ilegal drilling masyarakat beranggapan bisa mencari pekerjaan. Nah pemikiran ini yang harus kita ubah. Oleh karena itu, salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah dengan membuka lapangan pekerjaan bagi warga setempat dan berharap kegiatan ilegal drilling tidak ada lagi,” jelasnya.
Toni mencontohkan seperti di daerah tersebut, ada pemanfaatan area lokasi bekas tambang illegal seperti menanam tanaman Eucalyptus atau tanaman minyak kayu putih. Mungkin ke depannya ada solusi untuk masyarakat dalam mengubah kebiasaan menambang untuk bertanam. Selain itu ia mencontohkan, ada pemanfaatan CSR dari perusahaan-perusahaan setempat, ada pekerjaan yang diberikan kepada masyarakat lokal.
“Namun yang terpenting ada rekonstruksi lagi di area-area yang sudah rusak sehingga kembali hijau. Ini yang kita rekomendasikan. Ini sudah menjadi komitmen pemerintah untuk memberantas ilegal drilling. Tentunya kita akan bersama-sama dengan pemerintah Sumsel dalam hal ini Forkopimda untuk menghadapinya,” tambahnya.
Selain itu, terobosan yang kita lakukan dengan Pencanangan Kampung Hijau Bebas Illegal Drilling. Adapun tahapannya dengan mendirikan tim terpadu yang terdiri dari TNI, Polri, Pemda, Tokoh agama, tokoh masyarakat dan stakeholder. “Kontinuitas untuk memonitor kegiatan illegal drilling di wilayah rawan untuk memastikan benar-benar tidak terjadi lagi aktifitas illegal drilling, Membuat siteplan (kampung hijau bebas drilling, Membuat renaksi dan SOP dalam membentuk kampung hijau bebas illegal drilling,” tutupnya.
Reporter: Yuliani