Home Ekonomi Peternak Ayam Petelur Ngumpul, Minta Daerah Surplus-Minus Telur Didata

Peternak Ayam Petelur Ngumpul, Minta Daerah Surplus-Minus Telur Didata

Yogyakarta, gatra.net – Asosiasi peternak ayam petelur ingin pemerintah mendata lengkap peternakan se-Indonesia. Ini sebagai langkah penting dalam mengatur distribusi telur dan kebutuhan pakan khususnya jagung.

Benang merah inilah yang disepakati di rembuk nasional asosiasi peternak ayam petelur bertema ‘Revitalisasi Peternakan Rakyat Ayam Petelur untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional’ di Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM), Kamis (24/3).

Ketua Umum Presidium Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Petelur Nasional (PN) Yudianto Yosgiarso menerangkan rembuk nasional itu sebagai upaya mencari solusi untuk memecahkan masalah yang dialami peternak sejak tahun lalu.

“Sebagai salah satu penyedia sumber pangan protein hewani, peternak ayam petelur mengalami berbagai kendala seperti fluktuasi harga telur, ketersediaan bahan baku produksi terutama jagung, hingga ketidakpastian pasar yang sangat mengancam eksistensi peternak, terutama peternak ayam layer rakyat,” katanya.

Acara ini diharapkan dapat menghasilkan kesepakatan terkait arah gerak dan rencana strategis peternakan ayam petelur nasional, khususnya dalam kerangka ekonomi kerakyatan.

Forum ini menghasilkan 14 rekomendasi yang akan disampaikan ke Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian. Menurut Yudianto, ada dua rekomendasi terpenting yang mendesak diwujudkan.

“Pertama, pendataan bagi semua pelaku usaha peternakan dan populasinya baik di hulu maupun di hilir, serta bantuan proses perizinan. Kedua, kementerian terkait memprioritaskan koperasi peternak layer bekerja sama dengan gapoktan untuk menjamin ketersediaan jagung sebagai pakan,” katanya.

Pinsar berharap pendataan ini dapat mengetahui daerah yang mengalami surplus dan minus produksi telur. Berdasarkan data ini, pendirian peternakan skala besar di daerah yang surplus telur seperti Jawa tidak lagi diizinkan.

“Perizinan diberikan pada daerah-daerah yang masih minus. Jika ini tidak dilakukan, maka persaingan pada sentra-sentra penjualan terutama di Jakarta dan Bandung menjadi kurang sehat,” paparnya.

Kenaikan harga jagung impor sejak Juni 2021 hingga Rp6.200 per kilogram menjadikan biaya produksi dan penjualan telur tidak signifikan. Suplai telur pun melimpah dari berbagai daerah. Kondisi ini membuat harga telur dalam beberapa bulan terakhir mengalami tekanan.

“Jika dikaitkan dengan harga pakan yang mengalami kenaikan, ini menyebabkan tidak ada sinkronisasi antara biaya produksi dan harga jual telur,” jelasnya.

Dosen Fakultas Peternakan UGM, Budi Guntoro, menjelaskan suatu kebijakan tidak akan bisa diterima semua pihak. Hal ini karena kebijakan itu diambil dari sudut pandang berbagai pihak termasuk memperhatikan kepentingan industri dan konsumen.

“Semisal daya beli. Upaya mencapai kesepakatan perlu dibangun dan duduk bersama dengan kepala dingin. Banyak mendengarkan dan mengutarakan apa yang menjadi permasalahan dan keluh kesah," soalnya.

Melalui rembuk nasional ini, banyak peternak dan perwakilan industri bertemu sehingga keluh kesah mereka didengar banyak pihak dan ditarik titik temunya.

425