
Jakarta, gatra.net - Indonesia Corruption Watch (ICW) memberi rapor merah terhadap kinerja Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek).
Peneliti ICW, Dewi Anggraeni mengatakan, hal itu terkait tidak cukupnya transparansi dan akuntabilitas Kemendikbud Ristek kepada kepada publik. Dimana informasi rincian dan realisasi anggaran, hasil evaluasi program, dan laporan program yang komprehensif belum tersedia di websitenya.
“Masalah ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak dianggap sebagai pihak yang penting mengetahui informosi mengenai hal tersebut dan dapat berperan positif dalam melakukan pengawasan,” kata Dewi dalam webinar secara daring bertajuk Rapor Merah Kinerja Mendikbudristek Nadeim Makarim, Kamis (17/3).
Terkait minimnya informasi anggaran Kemendikbud Ristek menurut Dewi selama ini hanya dari website Kemendikbud selain dari laporan media. Dimana dari laporan yang dicantumkan di website Kmendikbud laoran perencanaan dan laporan keuangan hanya menyebut target angka capaian siswa, guru, sekolah, mahasiswa, dan pemda yang mengikuti program. Termasuk saat rapat kerja dengan Komisi X DPR RI, bahan paparan angka capaian, alokasi anggaran, dan realisasi anggaran.
“Tidak secara lengkap rinician terkait anggaran disetiap programnya. Kalau tidak dibarengi prinsip transparansi dan akuntabel kemudian penjelasan mengenai dana terkait dengan program merdeka belajar itu tentu sangat disayakangkan. Karena bisa saja akan membuka celah penyalahgunaan,” ujarnya.
ICW juga menyoroti Program Organisasi Penggerak (POP) siapa saja penerimananya. Karena setiap tahun dianggarkan hampir Rp600 miliar per tahun. Dewi mempertanyakan bagaimana hasil dari program pelatihan puluhan ribu orang guru tersebut. Informasi detail yang tidak diketahui berapa anggrannya.
Meski kategori POP sudah dibagi kategori gajah, macan, dan kijang dengan syarat masing-masing, namun tidak disertai batasan anggaran berapa minimal dan maksimal yang diterima oleh ormas yang masuk di masing-masing kategori.
“Itu yang sangat disayangkan. Padahal pedoman POP sudah dijelaskan bahwa setiap penerima harus menignformasikan, memberikan laporan, dan juga dievaluasi oleh Dirjen Guru dan Tenaga Pendidikan. Perlu dilihat program ini capaiannya sepeprti apa, kendalanya, ini yang tidak terinformasikan dengan baik. Kalau apabila benar anggaran Rp595 miliar setiap tahun, kita tidak tahu penerimanya, apakah guru telah benar mendapatkan latihan dan bermanfaat. Kita tidak tahu karena tidak ada informasi dari Kemendikbud,” jelas Dewi.
Hal itu ini menimbulkan kerentanan tersendiri terhadap praktik korup atau kecurangan lain. Kecurangan potensial muncul, baik daalam tahap penilaian prorposal, penggunaan, dan pertanggungjawabannya.
“Rasa-rasanya kementerian belum menganggap transparan dan akuntable adalah hal yang penting. Jadi hanya diomongan tapi tidak dilaksanakan khususnya kepada masyarakat,” imbuhnya.
Kajian ICW menemukan tren penindakan kasus korupsi sektor pendidikan sebagai salah satu sektor yang paling banyak ditindak aparat penegak hukum.
Dari tahun 2016 sampai September 2021, ICW mencatat ada 240 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp1,6 triliun. Hal itu setara dengan pemberian dana BOS untuk 1,46 JUTA siswa sekolah dasar atau membangun lebih dari 7 ribu ruang kelas baru di wilayah Provinisi Papua.