.png)
Jakarta, gatra.net- Politik identitas masih menjadi warna percakapan publik menjelang Pemilu 2024. Hal tersebut terjadi terutama di media sosial. Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Densus 99, GP Ansor, Nuruzzaman.
Menurut Nuruzzaman, fakta-fakta saat ini menunjukkan politik identitas menjadi isu yang akan dihadapi pada Pemilu 2024. Dia merujuk kepada penelitian Alvara Institute yang menyebut 30 juta muslim urban yang memilki semangat agama tinggi namun pengetahuan agamanya rendah.
"Medsos posisinya biner, suka tidak suka. Penelitian Alvara Institute, ada muslim baru jumlahnya 30 juta, semangat agamanya tinggi, tapi pengetahuan agamanya rendah. Ini mudah ditarik ke politik," kata Nuruzzaman dalam diskusi 'Isu Radikalisme dan Ujaran Kebencian Jelang Pemilu 2024' pada Ahad (06/02).
Nuruzzaman menjelaskan, politik identitas digunakan untuk mempengaruhi masyarakat. Ada fakta yang disampaikan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme bahwa ada lembaga pendidikan yang terafiliasi dengan teroris.
"Sayangnya BNPT minta maaf. Fakta ada lembaga pendidikan keagamaan yang terafiliasi dengan teroris. Bahkan ada ribuan. Tinggal dilakukan pemetaan saja. Yang mengajarkan intoleransi itu," ujar Staf Khusus Menteri Agama itu.
Nuruzzaman berharap semua kalangan agar duduk bersama dan membicarakan persoalan radikalisme dan intoleransi itu sehingga lembaga pendidikan tidak memproduksi intoleransi.
"Kalau sesungguhnya ada, ya kita duduk bersama dan bicarakan agar lembaga agama tidak memproduksi orang-orang intoleran," tuturnya.
Nuruzzaman mencontohkan bahwa pesantren di Ngruki, Sukoharjo, melahirkan Jamaah Islamiyah, meskipun tidak semuanya. Kemudian mereka berani menyatakan orang yang berbeda itu salah, divonis masuk neraka. "Lembaga pendidikan yang mengajarkan seperti itu ada. Kita harus jujur itu ada dan jangan dinafikan," lanjut Nuruzzaman.
Terkait dengan BNPT yang menyebutkan ada pesantren yang terafiliasi terorisme, menurut Dewan Penasihat Forum Ulama Habaib, Haikal Hassan, kalau BNPT benar seharusnya menangkap yang dimaksud terafiliasi itu.
"Kalau misalkan benar terafiliasi, dari kamus bahasa, terafiliasi itu kan cabang. Kalau memang benar ada ya tangkap karena berbahaya. Yang dimaksud terafiliasi itu apakah kurikulum atau oknumnya. Ya tangkap," ujar Haikal.
Menurut Haikal, masyarakat seringkali terjebak pada istilah radikal. Padahal dulu Pangeran Diponegoro dianggap radikal oleh Belanda. Justru yang berbahaya itu orang yang berpandangan setengah radikal.
"Tolong definisinya diperbaiki. Kalau pemahaman utuh maka niscaya tidak akan terjadi ngatain gereja, pendeta. Tidak ada orang Kristen yang ngatain pendetanya, orang Katolik yang ngatain pastur. Tapi kok ada orang Islam yang ngatain ulama, habaib. Disebut kadrun.Tangkap buzzer pemecah belah NKRI," seru Haikal.
Haikal sepakat apabila pemetaan terhadap penceramah dilakukan. Menurut dia, standarisasi penceramah penting karena ceramah tanpa ilmu bisa berbahaya. "Pemetaan harus dilakukan. Saya sering ikut memberikan pelatihan. Dan standarisasi dai itu penting. Sebab ancaman tanpa ilmu bahaya juga," tutur Haikal.