Home Gaya Hidup Melancong ke Rumah Si Pitung

Melancong ke Rumah Si Pitung

Jakarta, gatra.net, - “ ....Meninggi hari, kalau tidak nona .....karena tuan sayang, tidaklah kami ya nona, tidaklah kami ya nona .....sampai kemari....,” sepenggal kutipan lirik lagu Sirih Kuning yang sayup terdengar ketika mendekati pagar kompleks Rumah Si Pitung di Jalan Kampung Marunda Pulau, Cilincing, Jakarta Utara.

Tepat di depan pintu gerbang, tampak 4 pengunjung sedang antre memindai QR Code Peduli Lindungi, sebagai syarat masuk kawasan wisata dalam masa pandemi. “Kebetulan lewat terus mampir ke sini.... Saya tahu sejarahnya, dulu waktu masih sekolah SMP sering main ke sini naik sepeda dari rumah di Tarumajaya, Bekasi. Main ke pantainya juga. Sudah lama gak ke mari lagi, kaget, ternyata sudah banyak perubahan. Ini ajak anak dan isteri yang belum pernah ke sini. Dulu, saya tahu tentang Pitung dari filmnya aja, terus pengen lihat langsung. Kendi, tempat tidur kelambu, tiker, mainan congklak .... saya pernah mengalami menggunakan alat-alat yang dipajang di situ. Udah gak asing lagi,” kenang Ahmad, warga Bekasi yang berkunjung bersama isteri dan kedua anaknya, 30/12.

Obyek wisata yang berlokasi di Marunda ini mulai kembali didatangi wisatawan setelah tingkat PPKM diturunkan pemerintah. Lokasinya di ujung Utara Jakarta, lebih baik menggunakan aplikasi peta penunjuk jalan saat menuju ke sini. Sebelum atau sesudah jembatan di Jalan Marunda Makmur, tergantung dari mana datangnya, ada pertigaan dengan tanda penunjuk jalan cukup besar ke arah Rumah Si Pitung.

Masuk ke jalan tersebut, akan melewati kompleks Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran, tetaplah berada di jalur tersebut, sampai menjumpai gapura bertuliskan Rumah Si Pitung 12 Jalur Destinasi Wisata Pesisir. Lanjut masuk ke jalan itu, lapangan parkir berada di sebelah kanan jalan, persis sebelum jembatan untuk menyeberangi pulau kecil. Perlu diketahui, luas jembatan itu hanya cukup satu kendaraan roda empat saja. Kendaraan roda dua bisa langsung menyeberang dan parkir di depan Rumah Si Pitung. Sebenarnya kendaraan roda empat bisa juga, tapi cukup terbatas, maksimum hanya sekitar 8 kendaraan. Itupun harus kendaraan harus putar balik dahulu sebelum parkir.

Untuk merasakan wisata Si Pitung ini tidaklah mahal, cukup membayar tiket 5 ribu rupiah untuk dewasa, 3 ribu buat mahasiswa, dan pelajar cukup 2 ribu rupiah saja. Sebagai catatan, khusus hari Senin tempat ini tutup. Begitu memasuki kawasan, ada lapangan cukup luas pada bagian tengah, Rumah Si Pitung berada di sebelah kiri, dan tribune pengunjung pada kanannya. Setelah menaiki tangga rumah bagian teras depan, tiba-tiba teringat kembali adegan Si Pitung, diperankan oleh aktor almarhum Dicky Zulkarnaen, ketika menyamar sebagai Demang Mester saat mendatangi juragan Saadin, tukang memeras nelayan yang mengaku baru seminggu menikah dalam film Si Pitung Banteng Betawi – 1971.

Perabot khas Betawi seperti meja kayu bundar, kursi kayu beranyaman rotan, dan 2 toples kaca menghiasi pojok serambi depan. Agak masuk ke dalam, ruang tamu dengan dua jendela, terdapat 3 kursi kayu, dan sofa kayu untuk dua orang. Lantai dan dinding yang terbuat dari papan kayu membuat ruangan lebih adem. Kamar tidur terletak di sebelah ruang tamu, lengkap dengan tempat tidur berkelambu, serta satu set meja rias. Ke arah belakang saat keluar dari kamar tidur, pengunjung akan masuk ke ruang makan, ruang tengah, dan dapur. Satu set meja makan, beberapa barang seperti rebana, permainan congklak, tikar pandan, dan koper jaman kuno, dipajang di ruang tengah. Untuk keluar dari rumah, penunjung harus turun tangga dari teras belakang.

Saat berdiri di bawah, tampak 40 tiang kayu setinggi 2 meter menopang bangunan yang mempunyai ukuran kurang lebih panjang 15 meter dan lebar 5 meter. Menurut situs, utara.jakarta.go.id, luas lahan rumah sekitar 700 meter persegi. Bangunan yang diperkirakan berdiri tahun 1800-an ini, mempunyai 4 pintu, 10 jendela, dan warnanya didominasi merah marun dan coklat. Rumah panggung bergaya Bugis atau Makasar ini tampak sesuai dengan keadaan lokasi, untuk menghindari terjangan ombak. Jarak rumah ke bibir pantai hanya sekitar 50 – 75 meter.

Secara keseluruhan, rumah ini cukup terawat dengan baik. Tapi tidak bisa dihindari, bangunan ini dimakan usia, telah direnovasi beberapa kali, terutama menambah lantai atau panggung beton setinggi 50 cm, agar tidak terendam banjir rob. Tidak jauh pada bagian samping, dua bangunan bertingkat berdiri berhadapan. Sebelah kiri dipakai sebagai kantor pengelola, pusat informasi, toilet, dan musala pada bagian atas. Yang kanan, merupakan ruang terbuka tanpa dinding, dan bagian atasnya ada beberapa kios.

“Saya telah mendengar beberapa waktu yang lalu, kemudian mencari tahu dan bertanya ke beberapa orang, termasuk teman. Mereka menceritakan tentang Si Pitung, dan rumahnya masih ada, karena itu saya ke sini, apalagi ini hari libur. Menurut saya sangat menarik, Jakarta mempunyai banyak gedung bersejarah, seperti peninggalan Belanda atau Pecinan di Glodok, tapi mungkin sedikit peninggalan dari Indonesia dan itu membuat Rumah Pitung menjadi menarik. Dan terlebih, tempat ini jauh dari Kota Tua Jakarta,” kata Tim, wisatawan asal negara Belanda.

Situs Marunda ini dikelola Museum Kebaharian Jakarta dari Dinas Pariwisata dan Budaya - Pemprov DKI Jakarta. Secara umum, obyek wisata sejarah ini cukup bersih, terawat, dan nyaman untuk dikunjungi.

Tentang Rumah Si Pitung

Mencari informasi tentang sejarah rumah tersebut memang agak rumit, terdapat beberapa versi. Dalam brosur yang didapat saat membeli tiket masuk, menjelaskan bahwa rumah tersebut milik seorang saudagar kaya, Haji Safiuddin. Masih dalam brosur, versi lain, mengatakan bahwa Haji Safiuddin merupakan salah satu korban perampokan yang dilakukan oleh Pitung. Dan dalam brosur itu juga menyatakan, Haji Safiuddin merupakan sahabat dan rumahnya sering dijadikan tempat persembunyian Si Pitung.

Dalam buku “Mencari Si Pitung” karya Abdul Chaer, seorang ahli kebudayaan dan intelektual Betawi, menuliskan beberapa versi tentang rumah si Pitung. Menurut banyak versi, rumah itu milik Haji Safrudin, seorang saudagar besar asal Bugis, Makassar, yang dibangun pada 1880, dan Pitung sering mengunjunginya bila datang ke Marunda.

Versi lainnya, itu merupakan rumah Haji Samsudin, seorang tuan tanah yang kejam dan suka memeras rakyat. Pitung bersama teman-teman datang memberi pelajaran kepadanya. Versi lainnya, rumah tersebut bukan untuk tempat tinggal, hanya dijadikan sebagai tempat singgah, dibangun secara bersama-sama oleh para nelayan Rorotan.

“Dalam buku-buku, diceritakan bahwa rumah itu milik saudagar sero atau juragan kapal, yang berasal dari Bugis, namanya Tuan Safiuddin. Rupanya Pitung suka mampir ke situ. Karena dia sedang dicari, kemana pun pergi ada mata-mata .... melaporkan bahwa Pitung suka datang ke situ. Akhirnya Safiuddin menghindar dari cecaran para polisi yang menganggapnya bersekongkol. Dalam keadaan aman, Safiuddin menyerahkan rumah itu ke Pitung.....katanya,” ujar Yahya Andi Saputra, peneliti dari Lembaga Kebudayaan Betawi, (24/12).

Ia menambahkan, bahwa kemudian Safiuddin pindah ke lain kampung untuk menghindari tuduhan bersekongkol. Walaupun dihibahkan, Pitung hanya sesekali saja ke sana, bahkan tidak menginap utuh, karena sedang dicari-cari dianggap melawan pemerintah penjajah Belanda. Karena mempunyai nilai sejarah, pemerintah memberi nama bangunan itu “Rumah Si Pitung” dan sebagai cagar budaya berdasarkan Perda DKI Jakarta Nomor 9 Tahun 1999.

Sekilas Kisah Jagoan Penolong Rakyat

Menelusuri kisah atau sejarah Pitung yang autentik tidaklah mudah. Terdapat beberapa versi mengenai kisah semasa hidup hingga makam peristirahatan terakhirnya. Dalam buku karya Abdul Chaer dengan judul “Mencari Si Pitung”, menulis beberapa versi kisah tokoh penolong rakyat ini. Tentang riwayat awal, antara lain, ada versi Si Pitung mempunyai ayah bernama Piun dari Tanggerang, dan ibu bernama Pinah asal Rawa Belong, Jakarta Barat.

Nama asli Pitung adalah Salihun yang dilahirkan di Tangerang pada 1864. Pitung adalah nama poyokan atau panggilan atau nama kesayangan. Ada juga versi ibu Pitung berasal dari Cirebon. Versi lainya, bapak dan ibu sama-sama berasal dari Rawa Belong. Dan ada pula versi ayah Pitung dari Pengumben. Dikutip dari situs, www.mitramuseumjakarta.org, tertera Si Pitung memiliki nama asli Ahmad Nitikusumah. Versi umum yang sering diceritakan, Pitung lahir di Rawabelong, sekitar tahun 1864 – 1866, mempunyai bapak bernama Piung asal Tangerang, dan ibu bernama Pinah asal Rawabelong.

Selain sebagai individu, ada juga versi lain bahwa Pitung merupakan nama kelompok yang melawan penjajah. Dalam versi ini, Pitung merupakan singkatan dari Pituan Pitulung yang artinya tujuh orang penolong. “Semuanya benar, dalam perspektif masing-masing. Yang disebut Pitung adalah seorang manusia yang dilahirkan oleh emaknya dari Betawi kampung Rawa Belong dan bapaknya dari Kulon, bisa jadi itu kawasan daerah Tangerang. Itulah yang kemudian dikenal dengan nama Pitung, yang rumahnya di Marunda. Adapun cerita lain, itu benar juga menurut mereka,”ujar Yahya.

Kehidupan percintaan Pitung juga mempunyai beberapa kisah. Versi yang sering ditemui, ia mempunyai isteri bernama Aisyah atau Aise, anak dari Haji Naipin. Ada juga versi yang mengatakan Siti Aisyah bukan isteri tapi hanya pacar. Dalam versi lain, isteri Pitung adalah Sarinah. Bila menyaksikan film Si Pintung Banteng Betawi - 1971, di situ memperlihatkan kemarahan Pitung saat mengetahui isterinya diculik para penjahat atas perintah seorang demang.

Kisah Penembakan dan Makam

Beragam versi tentang peristiwa penembakan Pitung. Ada versi ketika dijebak Schout Hinne (Kepala Kepolisian) dengan bantuan mata-mata, Pitung ditembak pasukan Hinne di Komplek Pemakaman Tanah Abang (sekarang sekitar Museum Prasasti) pada Oktober 1893. Selain lokasi itu, terdapat beberapa versi tempat penembakan, seperti daerah Pondok Kopi saat dalam perjalanan ke Marunda, daerah Bandengan, perkebunan kelapa milik Schout Hinne, dan mungkin ada versi-versi lainnya.

Setelah peristiwa penembakan itu, jenazah Pitung dimakamkan, namun lokasinya masih belum jelas. Beberapa versi tempat makamnya, seperti depan Kantor Telkom Jalan Raya Kebayoran Lama, Kampung Baru(sekarang Green Garden) Kebun Jeruk Jakarta Barat, belakang rumah sakit militer Weltevreden saat dibawa dalam keadaan hidup menggunakan ambulans setelah ditembak, dan dikubur di kebun kelapa milik Hinne.

Ada juga versi yang jasadnya dipisah menjadi ke beberapa tempat setelah dimutilasi, dengan alasan takut hidup kembali. Saat itu, polisi Belanda mempercayai Pitung mempunyai ilmu rawarontek. “Memang kuburan dari Bang Pitung belum jelas. Ada yang bilang di dekat rumah sakit militer sekitar Senen setelah ditembak. Situs atau makam yang berada di depan gedung Telkom juga belum jelas. Kita hanya bisa menduga-duga,” ujar Yahya.

Gatra mendatangi salah satu makam yang dipercaya makam Bang Pitung di depan Kantor Telkom, Jalan Raya Kebayoran Lama, Jakarta Barat. Tampak seseorang sedang sibuk mengecat tembok makam yang berukuran sekitar lebar 3 meter dan panjang 4 meter. Lokasinya berada hanya 1 meter lebih dari jalan raya. “Masih sering dikunjungi untuk ziarah .... kadang yang datang hanya satu orang, kadang rombongan, dari motoran sampai mobil bak. Datang kapan aja, bisa pagi, siang atau malam, gak tentu sih,” kata Daus, seorang warga sekitar, (25/12).

Banyak versi sejarah tentang Pitung, baik yang disampaikan secara tertulis, lisan, ataupun secara elektronik. Berbagai macam buku telah terbit untuk memberi informasi tentangnya. Antara lain, Melacak Jejak Si Pitung – Agus T, Si Pitung – Tri Amanati dkk, Legenda Si Pitung – Rofiq Arochman, Pitung (Pituan Pitulung) – Iwan Mahmud Al-Fattah, Si Pitung – M. Rantissi, Si Pitung Sebagai Sastra Lisan – Polupi Damardini, Mencari Si Pitung – Abdul Chaer, Legenda Si Pitung – Dinas Museum Sejarah DKI Jakarta, Robin Hood Betawi – Alwi Shahab, hingga seorang peneliti asal Belanda Margreet Van Till yang menulis makalah “In Search Of Pitung: The History Of Indonesian Legend” dan buku Batavia Bij Nacht, dan masih beberapa lagi.

Kisah Pitung juga ditampilkan dalam bentuk kesenian, contohnya seperti dalam pertunjukan lenong dan rancag. Konon, dahulu dalam pertunjukan lenong, biasanya dimulai dengan mendendangkan rancag atau pantun berkait yang isinya tentang si Pitung. Gambang rancag merupakan gabungan berbagai kesenian, seperti musik gambang kromong, sastra, dan teater. “Cerita-cerita ilmu itu diulang-ulang dalam seni pertunjukan, bisa lenong, atau lain-lain. Mendengungkan cerita-cerita kesaktian, kehebatannya. Sengaja dimunculkan sebagai orang yang seperti itu, baik dalam seni pertunjukkan maupun cerita-cerita lisan,” penjelasan Yahya.

Sejarah Si Pitung memang mempunyai banyak versi, tetapi tetap saja menarik. Kisahnya dalam menolong rakyat tertindas dan melawan penjajah Belanda menjadi bibit munculnya semangat pergerakan nasional di kemudian hari. “Kelemahan sejarah itu antara fakta dan interpretasi. Terutama interpretasi yang kadang membuat metodologi sejarah suka tergantung dari perspektif dan tafsir. Tugas kita untuk meluruskan sejarah yang sesungguhnya,”kata Yahya menutup wawancara.

Segarnya hembusan angin laut membuat terlena, tak terasa hampir jam 3 sore. Saatnya meninggalkan salah satu obyek destinasi wisata pesisir yang diharapkan dapat mendatangkan minat kunjungan wisatawan asing maupun lokal.


Naskah dan Foto: Jongki Handianto Effendy