
Jakarta, gatra.net – Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Transparency International Indonesia (TII) dan Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (PuKAT UGM) meluncurkan laporan hasil pemantauan dua tahun kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bawah pimpinan Firli Bahuri dkk.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, menyebut pimpinan KPK periode ini banyak membawa kemunduran pada lembaga antirasuah tersebut. Hal itu meliputi rentetan pelanggaran etik, kepemimpinan yang dipenuhi gimmick politik, hingga pemberhentian puluhan pegawai KPK lewat Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
Kurnia mengatakan, polemik pelemahan KPK tidak terlepas dari kebijakan revisi Undang-Undang KPK yang dilakukan pemerintah dan DPR. Sejak akhir 2019, perlahan namun pasti, dampak perubahan regulasi itu makin menurunkan kinerja pemberantasan korupsi yang dilaksanakan KPK.
“Argumentasi ini setidaknya terkonfirmasi melalui Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada tahun 2020. Transparency International menyebutkan, baik skor maupun peringkat, Indonesia merosot tajam,” ungkap Kurnia dalam konferensi pers, Senin (27/12).
Laporan hasil pemantauan tersebut mengulas setidaknya lima hal utama, yakni arah politik hukum pemberantasan korupsi, kinerja internal organisasi KPK, serta implikasi revisi UU KPK. Kemudian, juga kinerja sektor penindakan dan pencegahan yang dilakukan KPK.
Menurut Kurnia, evaluasi dilakukan dengan menganalisis capaian kerja KPK berdasarkan tugas dan kewenangan di bidang penindakan, pencegahan, koordinasi, supervisi, monitoring, serta hal lain yang relevan dengan kondisi politik hukum nasional yang turut berdampak pada kerja KPK.
“Sejak 2019, pemberantasan korupsi tampaknya tidak dijadikan agenda prioritas oleh pemerintah. Pemberantasan malah lebih diarahkan kepada sektor pencegahan. Itu pun didominasi jargon tanpa menginisiasi suatu program sistemik yang berdampak signifikan untuk membawa perubahan,” imbuhnya.
Kurnia menambahkan, paket legislasi untuk menyokong penegak hukum juga tak kunjung diundangkan pemerintah dan DPR, seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, dan harmonisasi UU Tipikor dengan ketentuan UNCAC.
Keadaan itu mengakibatkan upaya memulihkan kerugian keuangan negara akan semakin sulit terlaksana. Ketiadaan orientasi politik hukum antikorupsi yang konkret dapat menjadi penghambat agenda pemberantasan korupsi ke depan.
Revisi UU KPK, kata Kurnia, telah menunjukkan dampak negatif setidaknya dalam dua tahun terakhir. Substansi UU Nomor 19 Tahun 2019 faktanya memang mengendurkan tugas KPK dalam memberantas korupsi. Independensi KPK roboh setelah menjadi bagian dari rumpun eksekutif.
“Lalu untuk pertama kalinya sejak KPK berdiri, lembaga anti rasuah tersebut menghentikan penyidikan melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap perkara mega korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan negara sebesar Rp 4.58 triliun,” jelasnya.
Kurnia menyebut kinerja sektor penindakan juga makin mengkhawatirkan. Catatan ini setidaknya bisa dilihat dari sejumlah hal, misal mandeknya supervisi terhadap perkara besar seperti kasus korupsi pengurusan fatwa Mahkamah Agung yang melibatkan Djoko S Tjandra serta Jaksa Pinangki S. Malasari.
Selain itu, KPK di bawah komando Firli Bahuri juga mengalami penurunan kualitas penanganan perkara. Hal ini tampak pada rendahnya penuntutan, karut marut penanganan perkara penting seperti perkara korupsi bansos yang melibatkan mantan Menteri Sosial, Juliari P Batubara.
Di samping itu, KPK juga menunjukkan keengganan meringkus buronan seperti Harun Masiku yang diduga terlibat dalam kasus suap Pengganti Antar Waktu (PAW) anggota DPR RI, hingga tidak adanya tindak lanjut terhadap perkara yang menjadi tanggungan KPK.
“Penyesuaian pendekatan antikorupsi yang didorong oleh negara dan KPK belum menunjukkan hasil yang signifikan. Revisi UU KPK yang diklaim memperkuat sektor pencegahan, di saat bersamaan tak cukup mengakomodasi kebutuhan penguatan program pencegahan itu sendiri,” tuturnya.
Kondisi tersebut disebabkan beberapa alasan, seperti belum adanya sanksi tegas bagi penyelenggara negara yang tidak memberikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), tidak adanya tindak lanjut dari rekomendasi fungsi koordinasi dan supervisi KPK, sampai kewenangan KPK untuk pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang melakukan pelayanan publik tak lagi tercantum dalam UU 19/2019.
“Penerbitan Peraturan Komisi No. 7 Tahun 2020 (PerKom 7/2020) tentang Organisasi dan Tata Kerja tidak memiliki urgensi yang signifikan. Perubahan struktur di tubuh KPK dalam PerKom 7/2020 dapat memperlambat kinerja organ KPK dan berdampak pada jumlah anggaran yang harus dikeluarkan,” paparnya.
Selain itu, keberadaan Dewan Pengawas (Dewas) KPK juga tidak berfungsi secara efektif untuk mengawasi serta mengevaluasi kinerja pegawai maupun Komisioner KPK. Kualitas penegakan kode etik gagal diperlihatkan oleh Dewas, setidaknya berdasarkan sejumlah putusan etik selama ini yang dijatuhkan terhadap dua pimpinan KPK yakni Firli Bahuri dan Lili Pintauli Siregar.