
Jakarta, gatra.net – Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Sandrayati Moniaga, menyebut bahwa terdapat dua tipe perbudakan, yaitu perbudakan tradisional/konvensional dan perbudakan modern.
“Perbudakan tradisional itu manusia sama dengan benda. Bisa diperjualbelikan, dipindah-alihkan, digunakan sesuai dengan keinginan pemiliknya,” kata Sandrayati dalam sebuah webinar yang digelar pada Kamis, (2/12/2021).
Sementara itu, menurut Sandrayati, perbudakan modern terdiri atas tiga unsur: adanya relasi kuasa yang tak seimbang antara pelaku-korban, adanya paksaan atau koersi, dan adanya ketidakmampuan korban untuk melepaskan diri dari perbudakan yang dialami.
Untuk jenis perbudakan yang disebut pertama, walau dinamai perbudakan tradisional, Sandrayati menegaskan bahwa perbudakan jenis itu masih terjadi sekarang, baik di Indonesia maupun di level global.
“Ada yang mengira bahwa perbudakan konvensional/tradisional sudah nggak ada, tapi ternyata masih ada juga. Jadi, di samping modern-day slavery, perbudakan tradisional juga masih ada. Di Indonesia juga ada,” ujar Sandrayati.
Sandrayati mencontohkan kejadian dugaan perbudakan yang terjadi di Pulau Aru, Maluku, Indonesia, pada 2015 silam. PT Pusaka Benjina Resources, yang operasional perusahaannya dijalankan oleh tim manajerial asal Thailand, diduga merekrut pekerja non-nelayan dari Laos, Kamboja, dan Myanmar untuk melaut dan bekerja bak nelayan betulan.
Saat bekerja di tengah laut, mereka tak diberi kehidupan yang layak. Tidur pun hanya boleh tidur di atas hammock. Apabila terjadi cekcok dengan bos atau kapten kapal, korban akan dilarung ke laut atau dipukul menggunakan ekor ikan pari, demikian cerita Sandrayati. Dugaan perbudakan itu muncul setelah ditemukannya banyak jenazah di laut.
Sementara itu, contoh kasus perbudakan modern terjadi pada tahun 2020 lalu di tengah masa pandemi yang dicatat oleh LBH APIK Jakarta. Staf Pelayanan Hukum lembaga tersebut, Nathania Theora, membagikan kisahnya.
Awal mulanya, seorang gadis berusia 18 tahun asal Jakarta dilaporkan menghilang selama dua pekan. Mendapat laporan itu, LBH APIK Jakarta mendatangi Mabes Polri untuk meminta kerja sama dengan Divisi Siber Polri. Hasil dari kerja sama tersebut menemukan bahwa titik terakhir Mentari berada di sebuah hotel di Jakarta Selatan.
Saat ditemui, Mentari sedang tidak berpakaian bersama tiga lelaki lain, salah satu lelaki tersebut adalah kekasihnya. Setelah diamankan dan dimintai keterangan, Mentari menjelaskan bahwa ia dibujuk untuk datang dan menjadi pekerja seks oleh kekasihnya tersebut.
Selama dua minggu, Mentari bisa melayani sekitar lima laki-laki dalam satu hari tanpa bayaran sepeser pun. Sang kekasih berdalih bahwa uang bayarannya akan dipakai untuk modal menikah mereka berdua.
Pada awalnya, Mentari mengiyakan permintaan kekasihnya tersebut. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, ia merasa sangat terpaksa dan sangat trauma untuk berada di posisi itu. Ketika sudah diamankan, Mentari mengalami trauma yang sangat berat karena mengalami kehamilan.
“Mentari ini cuma satu di antara anak perempuan lainnya yang berada di situ. Ini seperti ada sindikat tersendiri. Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata ada preman-preman yang dibayar untuk menjaga hotel dan ada sindikat orang tertentu yang menjadi sindikatnya,” tutur Nathania.
Sandrayati menegaskan bahwa dari perspektif HAM, hak untuk tidak diperbudak adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, oleh siapa pun. Istilah untuk situasi tersebut disebut juga non-derogable rights.
Non-derogable rights meliputi hak hidup, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk beragama. Intinya ini adalah hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
“Apakah perbudakan pelanggaran HAM? Yes. Definitely. Itu clear, bahkan itu termasuk non-derogable rights,” kata Sandrayati.
“Di Indonesia, di UUD, itu juga sudah dipertegas bahwa hak untuk hidup, tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun,” tandas Sandrayati.