
Karanganyar, gatra.net - Para akademisi dari sejumlah perguruan tinggi menguji coba pengelolaan sampah, kewirausahaan, penggunaan teknologi pembangkit listrik tenaga air terjun di Desa Berjo, Ngargoyoso, Karanganyar, Jateng. Di desa ekowisata itu, berbagai disiplin ilmu diterapkan dalam program penelitian dan pengabdian masyarakat.
Program penelitian dan pengabdian masyarakat yang didanai Direktorat Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan ini bertajuk Matching Fund. Dalam program ini, insan perguruan tinggi bersama dunia usaha dan dunia industri terlibat dalam membentuk ekosistem Kampus Merdeka–Merdeka Belajar.
Dikemukakan Samsi dari UNSA, Matching Fund dikerjakannya bersama tim dari UNS, Undip dan STIE Widya Gama Lumajang. Selama setahun penelitian, para pakar menemukan beberapa obyek pengelolaan desa wisata di Desa Berjo perlu perbaikan.
“Kami fokus pada pengelolaan di obyek wisata air terjun Jumog dan Telaga Madirda. Setelah dikaji, ada beberapa dikelola tak secara maksimal. Bahkan tidak terurus. Utamanya sampah di area wisata. Ada sampah organik dan anorganik,” kata Samsi dalam forum group discussion (FGD) di Karanganyar, Rabu (3/11).
Dari situlah peran BUMDes Berjo selaku pengelola dua obyek wisata itu, perlu dimaksimalkan. Sekitar setahun penelitian, survei dan penjajakan ke stakeholder, tim peneliti akhirnya bisa meraih pembiayaan dari pemerintah pusat dalam bentuk penyediaan sarana dan prasarana pengolahan sampah terpadu. Samsi mengatakan, sumber dana pemerintah pusat masih disokong APBD Kabupaten Karanganyar dan dana CSR.
“Peran BUMDes dalam pengelolaan sampah dimaksimalkan. Kelembagaannya disiapkan dulu kemudian memberdayakan UKM yang bergantung di obyek wisata. Kami memperoleh pendanaan dari Dikti Rp200 juta untuk pengadaan mesin sampah dan pembinaan. APBD Kabupaten Karanganyar membantu Rp150 juta di APBD perubahan untuk pembuatan gedung pengolah sampah. Lalu ada CSR Rp50 juta,” katanya.
Pihak desa dalam hal ini Pemdes Berjo sanggup mengoperasikan metode bimbingan para pakar. Bahkan menanggung beban operasional sistem pengolahan sampah terpadu dua area wisata itu mulai 2022.
Samsi mengatakan, seluruh sistem dan infrastruktur yang sudah disiapkannya, akan diuci coba pada Desember 2021. Ia meyakini pengelolaan Ekowisata di Desa Berjo memberikan gambaran ideal sebuah tempat wisata milik desa yang di bawah manajemen profesional dengan mengedepankan teknologi terbarukan dan peduli lingkungan hidup.
Kaprodi Program Doktoral Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNS, Prof. DR. Rahmawati, M.SI, AK, C.A menjelaskan, Desa Berjo dicanangkan menjadi desa ekowisata berkelanjutan dan entrepreneurship. Sebab di Desa Berjo diandalkan banyak UKM.
“Di sekitar wisata air terjun Jumog saja ada sekitar 100 lebih pedagang. Kegiatan ini didanai Matching Fund Dikti 2021, tujuannya untuk optimalisasi BUMDES. Bagaimana BUMDES bisa memperoleh pendapatan dari usaha yang disesuaikan dengan kondisi di desa Berjo, lokasi wisata itu banyak sampah, jadi sampah organik diolah jadi kompos untuk pupuk pertanian dan aliran air dibuat tenaga listrik konsumsi untuk BUMDES dulu, sejumlah warga juga sudah diajari bikin perhiasan, mengolah sampah rumah tangga, memilah sampah organik dan anorganik,” jelasnya.
Kepala Desa Berjo, Suyatno mengatakan produksi sampah di area wisatanya mencapai 1 ton di momentum puncak keramaian akhir pekan. “Itulah yang kini sedang diupayakan pengelolaannya tuntas sampai desa. Jumlah sampah itu dinilai sudah memenuhi syarat diolah menjadi biogas sampah,” katanya.