
Jakarta, gatra.net –
Kelompok milisi Taliban telah mampu mengambil alih tampuk kekuasaan di Afghanistan dari Amerika Serikat pada pekan lalu dengan tingkat kecepatan di luar dugaan para petinggi AS, termasuk Presiden Joe Biden.
Sebagian pihak menilai bahwa ini merupakan kemenangan Islam melawan ideologi Barat. Sebagian lainnya melihat gejolak ini lebih luas, yakni sebagai dinamika geo-politik di Timur Tengah.
Di Indonesia sendiri, sebagian warganet mengkhawatirkan “kemenangan” Taliban di Afghanistan sana mampu mendorong kelompok radikal serupa untuk menjatuhkan pemerintahan yang ada saat ini. Lalu, bagaimana semestinya Indonesia—negara dengan populasi muslim terbesar di dunia—menyikapi situasi yang terjadi di Afghanistan?
Dosen Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran (Unpad), Dr. Dina Yulianti Sulaeman, mengatakan bahwa masyarakat Indonesia seharusnya bersikap biasa saja. “Sebaiknya santai saja, amati saja,” ujar Dina kepada gatra.net pada Selasa, (24/8/2021).
“Dukung-mendukung kelompok di luar sana tentu hak pribadi, asal jangan dibawa-bawa untuk memicu konflik di dalam negeri. Misalnya, saya baca di medsos, fans Taliban memuji-muji kemenangan Taliban sambil mencaci-maki pemerintah. Sebagian pihak, terutama yang Islamophobia, membalas dengan cacian atau kecaman. Ini kan berpotensi semakin memecah-belah bangsa,” tutur Dina.
Dina pun menambahkan di negara asalnya saja, kelompok milisi Taliban sedang berusaha keras untuk meyakinkan publik bahwa mereka sudah berubah. “Yang fans Taliban, tidak perlu ‘lebih Taliban daripada Taliban,’” ujar Dina.
“Sebaliknya, fans AS atau kelompok liberal juga tidak perlu menyebarluaskan Islamophobia. Mereka kini seolah peduli sekali dengan nasib kaum wanita di Afghanistan. Selama 20 tahun ini apa mereka peduli pada nasib anak-anak dan perempuan yang jadi korban bom-bom AS?” tutur Dina.
Pada sebuah konferensi pers pekan lalu, juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, memang mengatakan bahwa dalam pemerintahan mereka yang baru, mereka akan menghargai hak-hak perempuan.
“Kami akan memperbolehkan perempuan untuk bekerja dan sekolah. Kami sudah punya kerangkanya, tentu saja. Perempuan akan sangat aktif dalam tubuh masyarakat, tetapi dalam kerangka ajaran Islam,” ujar Zabihullah, seperti dilansir oleh Reuters.
Dina menilai perkataan tersebut patut diawasi. “Let’s wait and see,” katanya.
Dina menambahkan bahwa sejak tahun 2011, Indonesia melalui ormas Islam terbesarnya, Nahdlatul Ulama (NU), telah melakukan berbagai pendekatan kepada ulama-ulama dari berbagai faksi di Afghanistan, termasuk Taliban. Tujuannya adalah untuk mengenalkan Islam yang moderat.
“Yang jelas, waktu 20 tahun itu lama, bisa membuat perubahan. Masa kita mau bilang bahwa tidak akan ada perubahan apapun? Jadi kita tunggu saja, apa benar mereka berubah seperti yang mereka katakan,” ujar Dina.