
Yogyakarta, gatra.net - Seperti Indonesia, Vietnam mengalokasikan 20% bujet negara untuk pendidikan. Namun negara itu mampu menghasilkan kemampuan literasi, numerasi, dan saintifik jauh di atas kita. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), 40% - 50% anggaran pendidikan bahkan tak sampai ke anak karena dikelola secara birokratis.
Hal itu disampaikan Muhammad Nur Rizal, penggagas Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Yogyakarta dalam rapat Bimbingan Teknis (Bimtek) Tim Strategis Pendampingan SMK-GSM antara GSM, Ditjen Diksi Kemendikbud-Ristek, Balai Besar, dan beberapa guru dan kepala sekolah SMK di Jakarta.
“Persoalan bukan pada alokasi anggaran pendidikan melainkan pada penggunaannya yang belum optimal,” ujar Rizal dalam pernyataan tertulis yang diterima gatra.net, Kamis (24/6)
Menurutnya, pengelolaan pendidikan sangat terikat dengan administrasi dan anggaran. Berbagai inisiatif program pendidikan umumnya top down dan menyebabkan sering kehilangan konteks dengan kondisi di lapangan.
Padahal, pengelolaan pendidikan tersebut terbukti tidak memberikan hasil belajar yang baik dan berkualitas sesuai data Programme for the International Assessment of Adult Competencies (PIAAC).
“69% tingkat literasi penduduk dewasa Jakarta berumur 23-65 tahun berada pada atau di bawah level 1 dari 5 level, alias paling bawah,” ungkapnya Nur Rizal tentang data dari OECD untuk tes PIAAC.
Menurutnya, literasi siswa SMA kita dari tes Programme for International Student Assessment (PISA) juga menunjukkan kemampuan baca 70% siswa kita berada di kompetensi minimum.
“Artinya, tidak ada kenaikan kemampuan literasi ketika siswa sekolah di SMA dengan ketika telah lulus dari perguruan tinggi. Hal ini mengakibatkan OECD memprediksi bahwa lulusan literasi sarjana kita berada di bawah lulusan SMP di Denmark,” lanjut Rizal.
Data tersebut merefleksikan bahwa Indonesia sedang mengalami kebuntuan dalam reformasi pendidikan. Menurut dia, banyak guru atau stakeholder pendidikan enggan berubah. Kalaupun ada inisiatif terobosan program baru, periodenya hanya seumur anggaran yang ada.
Melihat situasi ini, Rizal menyampaikan perlu model transformasi pendidikan yang relevan dengan keadaan zaman. Dalam bimtek tersebut, GSM mengenalkan pentingnya narasi sebagai instrumen pencipta perubahan.
Narasi itu terdiri dari visi atau focal point, narasi kompas perubahan GSM, dan kisah sukses dari guru-guru setelah mengadopsi GSM. “Focal point menjadikan sekolah sebagai ekosistem belajar yang menyenangkan, menuntun kodrat, dan membangun penalaran,” katanya.
Adapun lima perubahan dalam pendidikan itu, menurut Rizal, meliputi perubahan budaya feodalistik, penguasaan materi kurikulum, ekosistem kompetisi, peran guru, dan sistem belajar narasi ini perlu diwujudkan dalam aksi, program dan perilaku.
Rizal berharap, langkah membantu pengelolaan pendidikan menjadi lebih efisien dan efektif. Dengan begitu, persoalan separuh anggaran yang tidak sampai ke anak menurut ICW dapat diatasi.