
Banyumas, gatra.net - Masyarakat adat kejawen Kasepuhan Kalitanjung, Desa Tambaknegara Kecamatan Rawalo, Banyumas, Jawa Tengah menggelar perayaan Idulfitri, Jumat (14/5).
Para penghayat kepercayaan Alif Rabu Wage (Aboge) itu memulai tradisi Lebaran berbeda dengan perhitungan yang ditetapkan pemerintah.
Perayaan Idulfitri di komunitas tersebut ditandai dengan takbiran bersama anggota kasepuhan, pada Kamis (13/5) malam.
Uniknya, nada takbir yang dikumandangkan dengan menggunakan cengkok Jawa. Sebelumnya, mereka mengarak tombak pusaka dari rumah adat Bale Malang, untuk disemayamkan di Rumah Kepala Desa Tambaknegara, Sulam.
Ketua Kasepuhan Adat Kalitanjung, Muharto menuturkan, di tengah Hari Raya Idulfitri, meski masih dalam suasana pageblug, masyarakat adat tetap menggelar tradisi Lebaran.
Adat dimulai dengan takbiran, lalu dilanjutkan halal bihalal yang berisi sungkeman, kepungan dan doa bersama.
"Setelah takbiran yang diiringi, disaksikan oleh tombak pusaka. Setelah itu halal bihalal, lalu diadakan selamatan memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa supaya warga Tambaknegara khususnya diberi keselamatan dan berdoa untuk leluhur," katanya.
Menurut Muharto, dalam perhitungan kalender Aboge, Idulfitri jatuh pada Jumat Kliwon (14/5). Berbeda dengan perhitungan menurut pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), komunitas kejawen di seluruh Banyumas juga menggunakan kalender Aboge untuk menentukan waktu pelaksanaan tradisi Lebaran atau badha.
"Hitungannya itu menghindari hari Rabu Manis. Karena ada pantangan atau pamali. Dalam perhitungan tahun Hijriah yang menggunakan patokan Selasa Manis, suatu saat akan ditemukan hari Lebaran yang jatuh pada Rabu Manis. Sedangkan dengan perhitungan Rabu Wage, maka tidak akan ditemukan hari raya yang jatuh pada Rabu Manis," tuturnya.
Muharto mengatakan, anggota kasepuhan yang mengikuti tradisi sungkeman (halal bihalal) saling memaafkan secara bergiliran, dimulai dari kyai paling tua hingga kyai termuda. Tradisi ini tak hanya dilakukan antar sesama anggota kasepuhan. Tokoh masyarakat yang hadir termasuk kepala desa, juga ikut serta.
Ritual lalu dilanjutkan pencucian pusaka di rumah adat. Khusus untuk pencucian pusaka ini, hanya petugas penjamas serta Kyai Kunci yang boleh memasuki ruang penyimpanan pusaka.
Menurut tafsir pribadinya, pusaka tersebut merupakan peninggalan masa kerajaan Mataram sekitar tahun 1476 Masehi. Saat itu, masa di Jawa tengah terjadi pergolakan. Pada masa tersebut, Raja Mataram sedang diburu oleh Belanda dan menitipkan pusakanya di Desa Tambaknegara yang kala itu disebut Kadipaten Bonjok.
Kepala Desa Tambaknegara, Sulam mengatakan, desa tersebut merupakan desa wisata tertua di wilayah Kabupaten Banyumas. Desa adat ini tak hanya menawarkan segudang atraksi seni budaya, tapi juga memiliki tradisi yang tetap terjaga.
"Sesepuh adat yang tergabung dalam Kasepuhan Adat Kalitanjung, beranggotakan warga setempat yang usianya rata-rata 76 tahun. Kalau paling tua ada yang lebih dari 100 tahun. Tradisi seperti ini (lebaran) sudah ada sejak saya masih kecil," kata dia.
Sementara itu, Kepala Seksi Pengelolaan dan Pelestarian Nilai Tradisi Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (Dinporabudpar) Banyumas, mengatakan, tradisi masyarakat Kasepuhan Adat Kalitanjung masih aktif menjaga ajaran leluhur. Tidak hanya terkait kepercayaan, tapi juga seni dan budaya tradisional.
"Keunikan masyarakat adat ini yaitu tak mudah untuk menjadi Kyai, atau Nyai atau Eyang Guru. Mereka harus benar-benar teruji secara keilmuan maupun peribadatannya. Keunikan lainnya, saat Lebaran seperti ini, tidak hanya ada halal bihalal, tapi juga ada jamasan pusaka," tuturnya.