Home Kesehatan Panen Dukungan, Ini 5 Alasan BPOM Tolak Vaksin Nusantara

Panen Dukungan, Ini 5 Alasan BPOM Tolak Vaksin Nusantara

Jakarta, gatra.net- Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI merupakan lembaga garda depan yang menjaga agar makanan dan obat bermanfaat dan tidak berbahaya bagi konsumen. Dalam menjalankan tugas tersebut, badan ini sering berbenturan dengan pihak lain yang disokong kekuatan tertentu, seperti para pemilik kewenangan. Seperti kemelut Vaksin Nusantara yang membuat BPOM harus berhadapan dengan Komisi IX DPR.

Namun, BPOM bergeming. Istikhomah dengan tugasnya menjaga keselamatan masyarakat. Dan langkah BPOM ini mendapat dukungan kuat dari 105 tokoh masyarakat, seperti Gus Mus, mantan Wapres Boediono, dan lain-lain. BPOM memilih menjelaskan secara gamblang latar belakang keputusan menolak memberikan izin edar Vaksin Nusantara. Berikut 5 alasan BPOM menolak Vaksin Nusantara:

1. Tidak ada Uji Praklinis.

Tim vaksin nusantara mengajukan protokol untuk uji klinis fase satu, dua, dan tiga pada 23 November 2020. Padahal untuk uji klinis vaksin dendritik harus dilaksanakan mulai fase satu terlebih dahulu sebelum fase dua dan tiga. Tidak bisa berbarengan.

Pihak peneliti Vaksin Nusantara megajukan uji klinis fase satu pada 30 November 2020. Namun, pengajuan uji klinis itu tidak disertai dengan data pengujian praklinis.

2. Peneliti tidak memenuhi Permintaan BPOM.

BPOM minta tim Vaksin Nusantara untuk menyerahkan laporan studi toksisitas, imunogenisitas, penggunaan adjuvan, dan studi lain yang mendukung pemilihan dosis dan rute pemberian. Karena produk jadi mengandung Spike SARS-CoV-2 yang diperoleh terpisah dari sel dendritik.

Permintaan tersebut tidak dipenuhi peneliti tim Vaksin Nusantara dan sponsornya. Alasannya penggunaan sel dendritik sudah lama digunakan dan aman pada manusia, bersifat autologous dan tidak menggunakan zat tambahan lain. Dosis dan toksisitas merujuk pada hasil uji klinis untuk indikasi lain. Hal tersebut tidak sesuai karena sel dendritik yang selama ini digunakan adalah untuk terapi kanker, bukan buat vaksin atau pencegahan penyakit.

3. Peneliti tidak memenuhi syarat-syarat BPOM.

Pada 1 Desember 2020, Badan POM menerbitkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) uji klinis fase satu. Namun, dengan mempertimbangkan aspek keamanan pada subjek dan tidak tersedianya uji praklinis. BPOM menambah setidaknya lima poin utama ketentuan khusus pada PPUK fase satu tersebut. Namun, Ketentuan pada PPUK tidak dilaksanakan dengan baik oleh tim Vaksin Nusantara. Hal itu diketahui pada saat inspeksi.

4. Data Penelitian Berubah-ubah.

Pada 14-15 Desember 2020, BPOM menginspeksi pusat uji klinis RSUP dr Kariadi di Semarang, Jawa Tengah. BPOM mendapatkan temuan yang bersifat kritis dan mayor yang harus diperbaiki.

Tim Vaksin Nusantara melakukan uji klinis fase satu di RSUP Dr. Kariadi sejak 22 Desember 2020 dengan jumlah subyek penelitian sebanyak 28 orang. Pada 15 dan 29 Januari, 9 dan 18 Februari 2021, peneliti tim Vaksin Nusantara telah menyampaikan hasil data interim uji klinis fase satu mereka dari pengamatan keamanan 14 hari dan imunogenisitas selama 1 bulan setelah pemberian vaksin uji. Namun, data yang disampaikan berubah-ubah.

5. Uji Klinis Tidak Standar.

BPOM langsung mengevaluasi dan membahasnya data tersebut bersama Tim KOMNAS Penilai Obat, dan juga para ahli ad-hoc di bidang vaksin yang terdiri dari Tim dari ITAGI (Indonesian Technical Advisory Group on Immunization), dokter spesialis Alergi Imunologi, Ahli Biologi Molekular.

Dari pembahasan tersebut, masih terdapat ketidaksesuai pelaksanaan uji kinik dengan standar Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB) atau Good Clinical Practice (GCP).

Sehingga, pada 24 Februari 2021 BPOM meminta peneliti untuk memberikan klarifikasi dalam forum dengar pendapat peneliti kepada BPOM dan tim KOMNAS penilai obat dan tim ahli terkait.

3320