Home Hukum Posisi Janda di Adat Batak, Warisan, dan Yurisprudensi MA

Posisi Janda di Adat Batak, Warisan, dan Yurisprudensi MA

Jakarta, gatra.net - Guru Besar Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), Prof. Rosnidar Sembiring, mengatakan, ketentuan adat patrilineal yang dianut masyarakat Batak Toba dan Karo, tidak menguntungkan bagi para janda dibandingkan posisi anak perempuan dalam mendapatkan warisan dari suaminya.

Paslanya, lanjut Rosnidar, dalam webinar gelaran Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia bertajuk "Hukum Waris" pada Sabtu (6/2), dalam adat Batak bahwa janda dianggap orang asing sehingga tidak berhak mendapatkan warisan dari suami.

Menurutnya, janda mendapatkan harta bersama jika diintegrasikan ke dalam kerabat suami. Janda hanya berhak mengurus, memelihara, mengusahakan, dan menikmati harta warisan suaminya untuk keperluan hidupnya dan anaknya sebelum harta suaminya itu diwariskan kepada anak laki-lakinya yang sudah balig.

Rosnidar melanjutkan, posisi tersebut kadang dipersoalkan ke pengadilan sehingga ada beberap putusan atau yurisprudensi tentang kedudukan janda dalam sengketa waris adat Batak. Pertama, putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor: 110K/Sip./1960 yang diperkuat putusan Nomor 302K/Sip/1960.

"Memutuskan bahwa janda dapat dipandang sebagai ahli waris dari suaminya, khususnya harta asal suami yang bersifat mutlak," katanya.

Setelah putusan tersebut, kemudian, ada putusan MA Nomor 1037/K/Sip/1971 dan Nomor 284/K/Sip/1975 atas perkara di Pematang Siantar, menyatakan bahwa anak permpuan dari ayah bermarga Batak, memiliki hak mewaris harta ayahnya sama seperti anak laki-laki.

"Putusan MA di tahun 1971 dan 1975 itu menguatkan kedudukan dan hak para janda terhadap harta peninggalan suaminya," kata dia.

Namun demikian, lanjut Rosnidar, masih ada yurisprudensi lainnya soal kedudukan janda dalam sengkata waris adat Batak yang membuat kedudukan janda tidak ajek alias labil. Putusan MA Nomor 3293K/Pdt/1986 menurunkan derajat pewaris janda yang sebelumnya dinyatakan sebagai ahli waris.

"Sementara di tahun 1985, ini MA menetapkan bahwa janda hanya berhak menikmati harta bersama saja, namun tidak mewarisi harta bawaan suami," ujarnya.

Selanjutnya, putusan MA Nomor 358K/Sip/1971 menyatakan bahwa janda yang melakukan perkawinan untuk kedua kalinya, maka akan kehilangan hak waris mendiang suami pertamanya.

"Isi sejumlah yurisprudensi di atas memperlihatkan naik turunnya posisi janda dalam perkara mewaris yang ditetapkan hakim," ujarnya.

Rosnidar yang memaparkan hasil penelitiannya tersebut, menyimpulkan bahwa yurisprudensi MA telah menyatakan bahwa anak perempuan dan janda dalam kelurga patrilineal berhak mewaris atas harta ayahnya maupun mendiang suaminya. Kedudukan anak perempuan diangggap setara dengan anak laki-laki.

Naumun demikian, beberapa yurisprudensi di atas tidak mutlak bisa diterima dan diterapkan. Paslanya, dianggap merendakan posisi keturunan laki-laki yang dianggap tanggung jawabnya lebih besar dan sebagai penerus klan keturunan keluarga ayanhya.

"Dianggap menjungkirbalikkan tatanan hidup warga adat Batak yang telah sekian lama diyakini dan dijalankan dari nenek moyang," katanya.

9887