
Bantul, gatra.net - Parjiyono, 68 tahun, hampir satu jam duduk di samping sepeda onthel-nya di tepi Jalan Imogiri Timur Kilometer 8, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sabtu (28/11) sore itu, penjual tampah keliling tersebut masih menunggu pembeli lantaran uang hasil jualannya masih tak seberapa.
Sambil menggenggam selembar uang dua ribuan, Parjiyono lantas mendatangi sebuah warung makan tak jauh dari tempatnya duduk. Ia berharap mendapat nasi seadanya untuk mengganjal perutnya yang kosong.
Usai menyerahkan dua ribu perak itu, Parjiyono tampak sumringah karena pemilik warung memberi porsi makan cukup banyak. Sambil tersenyum, ia mengucapkan beberapa kali terima kasih. "Saya jualan tampah keliling. Terbantu juga, ada warung yang jual nasi gudeg dengan porsi normal tapi bayarnya seikhlasnya," kata warga Dlingo, Bantul, ini.
Warung makan yang dituju oleh Parjiyono itu warung 'Ayam Goreng Syariah'. Sejak awal 2020, warung ini menjual makanan tanpa mematok harga. Pembeli dapat menyerahkan uang seikhlasnya.
Pemilik warung makan tersebut, Asep Suryana, 25 tahun, mengatakan, semula tempat warungnya itu untuk bisnis jualan kayu. Namun pada akhir 2019 usaha itu berhenti.
Asep mengatakan, model bayar seikhlasnya di warung itu terinspirasi dari seorang nenek suka datang ke rumahnya sambil membawa singkong rebus, jagung, atau nasi untuk dijual pada Asep.
"Kami sempat membuat etalase yang diisi dengan makanan gratis bagi yang mau ambil. Tapi ternyata orang jadi sungkan. Walaupun mereka orang tidak mampu, tapi bukan berarti minta gratis. Mereka ingin beli, walaupun dengan harga yang tidak biasa," katanya.
Asep mencontokan, satu porsi nasi, ayam goreng, beserta sayur biasanya dijual Rp10 ribu di warung-warung Yogyakarta. Menurutnya, keuntungan dari harga tersebut juga tidak tinggi.
Adapun di warung Asep, nasi ayam goreng itu bisa dibayar engan harga seikhlasnya. "Mau seribu atau lima ribu boleh," kata dia.
Asep berkata, model usaha itu tidak membuat dia rugi. Setiap hari ia menyiapkan minimal 20 porsi nasi ayam goreng. "Sampai sekarang ternyata tidak rugi. Ada saja caranya," ujar Asep.
Menurutnya, ia hanya berniat berbagi makanan untuk orang yang membutuhkan. Namun kadang ada saja teman atau orang tak dikenal ikut menyumbang. "Jadi motto dari warung ini cukup simpel, sedekahku sedekahmu. Artinya sedekahku sama juga dengan sedekahmu," katanya.
Asep pun tak keberatan saat halaman rumahnya dimanfaatkan sebagai tempat lapak para pedagang, seperti soto, burger, kopi, hingga gudeg. Sekitar delapan lapak kini berjualan di halaman rumah Asep.
Semua penjual makanan itu menyewa tempat ke Asep dengan harga terjangkau. Namun mereka harus menyediakan minimal 20 porsi makanan yang mereka jual dengan harga seikhlasnya.
"Sekalian untuk zakat. Karena kami kadang was-was. Kami pernah memberikan donasi (melalui perantara), tapi tidak disampaikan donasinya. Jadi kami ingin memastikan donasinya sampai. Ya sudah dari kami sendiri langsung saja," ucapnya.