Home Hukum Tiga Ibu dari Anak Cerebral Palsy Uji Materi UU Narkotika

Tiga Ibu dari Anak Cerebral Palsy Uji Materi UU Narkotika

Jakarta, gatra.net - Tiga orang ibu mengajukan uji materil Pasal 6 Ayat (1) huruf a dan Pasal 8 Ayat (1) UU Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Ketentuan tersebut digutan karena menyebabkan anak-anaknya tidak bisa mendapatkan terapi narkotika jenis ganja.

Ketiga orang ibu yang anaknya mengalami Cerebral Palsy, yakni penyakit lumpuh otak yang mengakibatkan gangguan pada gerakan dan koordinasi tubuh, mengajukan permohonan uji materi UU Narkotika ke MK bersama Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi Narkotika untuk Pelayanan Kesehatan terdiri dari ICJR, LBH Masyarakat, dan Rumah Cemara.

Maruf Bajammal dari Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi Narkotika untuk Pelayanan Kesehatan dalam konferensi pers virtual akhir pekan kemarin, menyampaikan, Pasal di UU Narkotika bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin hak warga negara untuk memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana Pasal 28H Ayat (1) dan memperoleh manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana Pasal 26C Ayat (1).

Menurutnya, salah seorang anak penyintas Cerebral Palsy yang merupakan anak dari ibu Santi Warastuti, kondisi kesehatannya sempat membaik setelah mendapatkan terapi ganja dengan sistem pengasapan (bakar dupa) dan pemberian minyak ganja (Cannabis/CBD Oil) di Australia.

Ketika berada di Indonesia, pengobatan tersebut tidak dapat dilanjutkan karena penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan menjadi penghalang. Akibatnya, kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak yang didiagnosa dengan Cerebral Palsy, tidak dapat diperbaiki atau ditingkatkan hingga taraf semaksimal mungkin yang dapat dijangkau.

Anak dari Santi tersebut pada awalnya normal. Namun, menginjak bangku taman kanak-kanak, kondisi kesehatannya menurun. Santi mempunyai rekan kerja seorang warga negara asing, yang kemudian menyarankan untuk mengobati penyakit anaknya menggunakan terapi CBD Oil.

"Jadi ada 3 orang tua yang kita wakili pada saat ini. Sebenernya bertentangan dengan semangat pembentukan Undang-Undang Narkotika, legistimasi menjamin untuk pelayanan kesehatan," ujar Maruf.

Ia menjelaskan bahwa ada 5 bentuk pelayanan kesehatan, yaitu pelayanan kesehatan promotif, kuratif, rehabilitatif, dan tradisional. UU Narkotika ini telah merenggut hak konstitusional setiap orang untuk mendapatan pelayanan kesehatan.

Menurutnya, pasal-pasal karet dalam UU Narkotika yang perumusannya sangat luas dan multitafsir, telah digunakan oleh aparat penegak hukum untuk menyasar orang-orang yang menggunakan narkotika meskipun dengan tujuan pengobatan.

Salah satu contohnya, yakni? terjadi dalam kasus Fidelis pada 2017 di Sanggau serta kasus terbaru yang sempat muncul, yakni kasus Reyndhart Rossy N. Siahaan pada Mei 2020. Padahal, dalam UU Narkotika, khususnya Pasal 4 huruf a sebenarnya telah ditekankan bahwa tujuan pembuatan undang-undang ini adalah untuk menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan juga pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Para pemohon meminta MK agar mencabut Pasal 8 Ayat (1) UU Narkotika dan menyatakan pelarangan penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan bertentangan dengan Konstitusi.

Selain itu juga, meminta Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf a UU Narkotika untuk diubah dengan mencabut defenisi Narkotika Golongan I menjadi dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan/terapi, dengan tetap menyebutkan potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Pengajuan uji materil ini diharapkan dapat membuka ruang-ruang penelitian ilmiah untuk menekankan kembali ide dasar pemanfaatan narkotika, yakni untuk kepentingan kesehatan. Hal ini juga dapat dilihat sebagai kritik yang keras terhadap penerapan kebijakan narkotika di Indonesia yang saat ini terlampau berat pada metode penegakan hukum pidana.

Kebijakan narkotika sudah saatnya mulai dievaluasi dan diarahkan untuk lebih memperhatikan aspek kesehatan masyarakat dan diambil berbasiskan bukti ilmiah (evidence-based policy).

Untuk itu, ketentuan pelarangan penggunaan semua jenis narkotika, termasuk Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan dalam UU Narkotika ini perlu dihapuskan supaya dapat memfasilitasi dan mendorong adanya penelitian-penelitian klinis yang berorientasi untuk menggali pemanfaatan narkotika di Indonesia.

Reporter: ANS

190