
Jakarta, gatra.net - Direktur RSUD Saiful Anwar Malang yang juga merupakan Ketua Tim Tracing Gugus Tugas Covid-19 Jawa Timur, Dr. dr. Kohar Hari Santoso, mengatakan, tidak semua orang mau anaknya diimunisasi. Hal ini terjadi karena ketidaktahuan soal kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI). Untuk itu kata dr. Kohar, peran media masa untuk mengedukasi masyarakat sangat kuat.
Saat dialog produktif bertema "Belajar dari Sukses Vaksin MR di Jawa Timur dan Peran Media dalam Vaksinasi" yang diselenggarakan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), Selasa (17/11) lalu, dr. Kohar juga mengatakan, di Jawa Timur ada tiga kelompok besar masyarakat, yakni di daerah barat disebut Mataraman, di daerah tersebut biasanya ada sosok panutan, yakni para pemimpin kawasan seperti lurah.
Kemudian, ada kultur budaya arek di sekitar Surabaya, biasanya mendengarkan pakar dan para ahli. Dan juga ada daerah tapal kuda yang dominan berbudaya masyarakat Madura, mereka biasanya mendengarkan para tokoh agama. "Pendekatan kultural ini yang nantinya bakal didukung oleh media (untuk menyuseskan vaksinasi),” kata dr. Kohar.
Semenetara Wahyoe Boediwardhana, Jurnalis yang terlibat dalam Imunisasi MR di Jawa Timur pada 2017 dan saat ini bekerja sebagai wartawan harian nasional dalam acara yang sama juga menyampaikan, mengenalkan masyarakat terkait imunisasi ini tidak bisa dilakukan oleh satu atau dua media, tapi harus kolaborasi.
Dari situ kata Wahyoe, kita kemudian bisa menyampaikan pentingnya imunisasi dan vaksin bagi anak-anak. "Dari situ kemudian muncul pikiran bahwa ini merupakan hal yang penting dan wajib kita sampaikan kepada masyarakat,” ujar Wahyoe.
Atas dasar niat baik tersebut, Wahyoe pun membentuk komunitas Jurnalis Sahabat Anak. Perkumpulan ini memiliki tujuan dan keinginan membantu mengedukasi masyarakat menyampaikan informasi positif terkait kesehatan anak.
“Ini yang kami lakukan, sehingga kita harus mengetahui siapa yang dihadapi, karakternya bagaimana, apa yang harus disampaikan, cara dan kapan waktu yang tepat untuk menyampaikan pesannya. Itu yang kami terapkan di masyarakat,” kata Wahyoe menerangkan.
Karakter masyarakat Jawa Timur yang beragam jadi tantangan tersendiri dalam mengedukasi masyarakat, terutama mengikis informasi hoax seputar vaksin MR saat itu.
Demografi masyarakat pesantren, perkotaan, masyarakat komunal, hingga daerah terpencil yang jauh dari jangkauan dukungan komunikasi, menjadi ragam tantangannya.
“Yang terpapar hoax tentang vaksin ini tidak hanya yang kurang edukasinya tapi juga masyarakat yang teredukasi dengan baik. Ini yang membutuhkan strategi tersendiri. Untuk mengikis hal itu, kami memilih untuk membanjiri masyarakat dengan informasi positif,” terang Wahyoe.
Vaksin MR sendiri merupakan vaksin untuk infeksi virus Campak (Meases) dan Campak Jerman (Rubella). Campak tersebut bisa mengakibatkan meningitis dan fatal kepada anak-anak. Sedangkan Rubella mampu mengakibatkan kelainan bawaan terhadap bayi.
Apabila Rubella menginfeksi ibu hamil, anak yang lahir bisa terkena cacat. Masyarakat harus diberi tahu pentingnya imunisasi untuk mencegah semua dampak buruk ini. Memberikan pengertian inilah yang tidak sederhana. Seringkali corongnya harus melawati tokoh-tokoh yang berpengaruh di kalangan masyarakat.
Tak hanya berhenti pada edukasi vaksin, namun masyarakat juga harus mendapatkan penjelasan yang cukup mengenai KIPI yang bisa terjadi dan diatasi dengan mudah.
“Kita sudah siapkan tim, ahli-ahlinya, para dokter untuk antisipasi kalau ada KIPI. Itu kita sudah siapkan. KIPI sendiri bukanlah hal yang menakutkan, karena biasanya bersifat ringan. Namun, pencegahan untuk mengurangi risiko kejadian ikutan ini tetap harus dilakukan,” ujar dr. Kohar.
Agar seluruh informasi mengenai vaksin sampai dengan benar ke masyarakat. Wahyoe dan komunitas Jurnalis Sahabat Anak Jawa Timur juga terus memperkaya pengetahuan, ilmu dan pemahaman soal imunisasi.
“Sebelum kami memutuskan menyampaikan pesan positif ke masyarakat. Kawan-kawan jurnalis dulu yang kita perkaya pemahamannya. Kita bagi ilmunya sebanyak-banyaknya ke sesame jurnalis,” ungkapnya.
Masyarakat harus sadar, bahwa mencegah jauh lebih baik daripada mengobati. Tak hanya terhindar dari rasa sakit, namun juga lebih murah dari segi biaya. “Saya setuju bahwa vaksin MR ada biayanya. Tapi dibandingkan dengan nanti terinfeksi, kalau sampai sakit, atau cacat, itu bebannya lebih tinggi, lebih mahal lagi biayanya,” kata dr. Kohar.