Home Laporan Khusus Jurus Merangkul Pemukul

Jurus Merangkul Pemukul

Politik akomodatif dilakukan Jokowi sejak menjabat Walikota Solo. Puncaknya terjadi saat menunjuk Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan. Sejak 1999,  tidak ada Presiden RI yang bisa bertahan di kekuasaan tanpa politik akomodasi.


"Mereka harus diuwongke, diorangkan." Ucapan itu keluar dari mulut Joko Widodo, medio 2007. Ketika masih menjabat sebagai Wali Kota Surakarta, ia menarik perhatian publik lewat terobosannya merelokasi 900-an pedagang kaki lima, tanpa kekerasan. Langkah itu tercapai berkat dialog telaten puluhan kali. Akses jalan ke pasar yang baru itu diperluas dan ditambahi trayek angkutan. Jokowi juga membantu iklan pasar itu sampai empat bulan. 

Di banyak daerah, penggusuran pedagang kaki lima kerap jadi ajang kekerasan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Tidak demikian halnya  di Solo. Jokowi menerapkan cara yang lebih halus. Melalui dialog dan sikap akomodatif.

Cara seperti itu yang membawa Jokowi hingga menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia. Dalam beberapa momen, Jokowi kerap merangkul lawan politiknya. Jokowi memulai karier politiknya di pemilihan wali kota Solo 2005. Saat itu, Jokowi dan pasangannya, F.X. Hadi Rudyatmo, yang diajukan PDI Perjuangan dan didukung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), meraih 99.747 suara. Di periode pertama ini, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi lawan politik Jokowi.

Namun, pada pilkada Solo 2010, peta politik berubah. Mantan Presiden PKS Hidayat Nur Wahid menjadi juru kampanye untuk kemenangan Jokowi. Pasangan Joko Widodo-Hadi Rudyatmo diusung oleh PDI Perjuangan, dan mendapat dukungan penuh dari PKS, Partai Amanat Nasional (PAN), serta Partai Damai Sejahtera Dukungan Hidayat, dan PKS saat itu mengantarkan Jokowi-Hadi menjadi orang nomor satu di Solo untuk kedua kalinya. Mereka mengalahkan pasangan Eddy S. Wirabhumi-Supradi Kertamenawi yang diusung Partai Demokrat dan Partai Golkar.

Ketika menjabat sebagai Presiden RI di periode pertama (2014–2019), Jokowi juga bisa dibilang berhasil menggandeng Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) –yang notabene adalah "partai lawan"-nya di pilpres—untuk masuk ke kabinet. Golkar dan PAN awalnya menjagokan Prabowo Subianto dan memilih untuk ada di luar pemerintahan saat periode pertama Jokowi sebagai presiden. Namun, dua parpol itu berubah arah setelah Prabowo keok. Jokowi merangkul Golkar dan PAN masuk ke kabinet lewat reshuffle pada Juli 2016.

Kala itu, Jokowi mempercayakan kursi Menteri Perindustrian kepada Airlangga Hartarto dari Golkar, sementara PAN mendapat kursi Menpan RB yang diduduki Asman Abnur. Bahkan, kursi Golkar bertambah lewat posisi Menteri Sosial. Meski pada kelanjutannya, Asman Abnur mundur di momen pilpres 2019 saat PAN akhirnya kembali jadi oposisi dan melawan Jokowi di pilpres.

Puncak dari cara Jokowi merangkul golongan "pemukul" atau oposisi terjadi saat dia menunjuk Prabowo Subianto menjadi Menteri Pertahanan di Kabinet Indonesia Maju. Pergerakan ini di luar prediksi banyak pihak. Apalagi, Prabowo dikenal sebagai rival Jokowi di pilpres 2014 dan pilpres 2019. Oleh Jokowi, rivalnya ini tak hanya dipercaya menduduki jabatan menteri, dia juga diberi kepercayaan khusus untuk menggarap food estate atau lumbung pangan di Kalimantan Tengah. 

Jokowi juga merangkul mantan pimpinan DPR Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Mereka dianugerahi Bintang Mahaputera Naraya oleh Jokowi. Duo Fahri dan Fadli adalah sosok yang dikenal getol melempar kritik ke pemerintahan Jokowi sejak mereka menjabat sebagai Wakil Ketua DPR 2014–2019. Pemberian penghargaan dan sorotan khusus untuk Fahri-Fadli ini dianggap sebagai upaya pemerintah merangkul sekaligus menjinakkan para pengkritiknya.

Aksi perangkulan ini tak berhenti di duo Fahri- Fadli. Rabu lalu, Jokowi juga memberikan penghargaan Bintang Mahaputera kepada mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Seperti Fahri-Fadli, Gatot belakangan dikenal sebagai sosok yang kerap mengkritisi pemerintah. Gatot Nurmantyo bahkan ikut mendeklarasikan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), yang belakangan kerap diafiliasikan sebagai lawan politik Jokowi.

Analis Politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto, melihat strategi Jokowi mengakomodasi lawan semacam ini bukanlah hal yang baru. Cara yang sama juga pernah dilakukan Presiden keenam dan ketujuh RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Selama dua periode, SBY berhasil mempertahankan kekuasaannya dengan mempraktekan politik akomodasi. "Dalam sejarah politik di Indonesia terutama sejak tahun 1999  tidak ada yang bisa bertahan di kekuasaan tanpa politik akomodasi. Gus Dur terjungkal di tengah jalan, demikian juga Megawati tidak bisa mempertahankan lama kekuasaannya," katanya pada Gatra.

Dengan melihat para pendahulunya itu, Arif melanjutkan, Jokowi belajar bagaimana cara merangkul lawan agar bisa menjadi sekutunya. Selain memberikan penghargaan kepada orang-orang yang berseberangan, Jokowi juga membagikan sebagian kekuasaan supaya kekuatan politik dari luar tidak menggoyangkan stabilitas kekuasaannya.

Meski demikian, tidak ada jaminan orang-orang yang telah dirangkul itu selamanya akan menjadi sekutu. Jika kekuasaan yang dibagikan tidak cukup memuaskan, maka mereka akan dengan mudah kembali menjadi lawan. "Melemahkan lawan tidak otomatis bahwa Jokowi menjadi kuat, sebab kuat atau lemahnya Jokowi kemudian ditentukan seberapa besar Jokowi mampu memuaskan sekutu-sekutunya," ujarnya.

Di sisi lain, Arif melihat cara seperti itu berdampak buruk pada demokrasi negara. Berdasarkan pengamatan Exposit Strategic, tren demokrasi di Indonesia cenderung menurun dan stagnan karena politik akomodasi selalu dimainkan tokoh-tokoh penting negara. "Pemilu kita fair, tapi proses pasca-pemilu itu kemudian diikuti oleh politik akomodasi," tuturnya.

Pengamat politik dari The Political Literacy Institute, Gun Gun Heryanto, menilai kesan politis dibalik pemberian bintang mahaputera muncul lantaran Jokowi kerap kali merangkul orang-orang yang berseberangan dengannya. Terlebih, beberapa lawan Jokowi juga cenderung tidak lagi aktif mengkritik setelah diberi penghargaan. "Secara psikologis gimana sih kalau kita diberi penghargaan? Kalau pun bersuara seperti Fahri Hamzah atau Fadli Zon, saya lihat suaranya tidak lagi nyaring," ucapnya kepada Gatra, Sabtu lalu.

Gun Gun mengatakan, cara seperti itu sah saja dilakukan Jokowi karena setiap orang yang bermain politik pasti, untuk satu dan lain hal, mengakomodasi lawannya. Namun, Gun Gun mengingatkan agar jangan sampai kepentingan politik dilakukan dengan memanfaatkan instrumen negara.

Dosen UIN Syarifhidayatullah itu mengatakan, Bintang Mahaputera adalah penghargaan sakral yang diberikan negara. Namun, kesakralan penghargaan itu akan hilang jika terlalu sering diberikan Presiden. "Nanti orang akan melihat pemberian seperti itu lebih kepada tendensi politik dibanding dengan penghargaan atas karya yang sudah dilakukan," tuturnya.

Hidayat Adhiningrat P. dan Dwi Reka Barokah

 

Jejak Langkah Akomodatif Jokowi

• Menggandeng PKS di Pilwalkot Solo 2010

• Memberikan Jatah menteri kepada Golkar dan PAN di periode pertama Presiden

• Mengangkat Prabowo sebagai Menteri di periode kedua Presiden

• Memberikan Bintang Mahaputera pada Fadli Zon dan Fahri Hamzah

• Memberikan Bintang Mahaputera pada Gatot Nurmantyo

*Dari berbagai sumber, diolah

 

----------g -----------------