Surat perintah yang dikeluarkan Staf Khusus (Stafsus) Milenial Presiden, Aminuddin Ma"ruf, kepada Dewan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (Dema PTKIN), yang isinya mengajak mahasiswa dalam perumusan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden UU Cipta Kerja, mendapat kritik dari berbagai pihak.
Anggota Ombudsman Adrianus Meliala menegaskan, surat bernomor Sprint-054/SKP-AM/11/2020 yang sifatnya berisi perintah itu lazimnya diterbitkan dalam hubungan koordinasi atasan dan bawahan. Sementara itu, hubungan Aminuddin dengan Dema PTKIN setara. Sehingga penerbitan surat perintah tidak tepat.
"Stafsus bisa saja menerima dan berdialog dengan Dema PTKIN tapi tidak bisa menerbitkan surat yang isinya perintah," ia menegaskan. Adrianus menjelaskan, penerbitan surat perintah adalah kewenangan pimpinan satuan kerja (satker), bukan stafsus.
Kewenangan stafsus sudah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 17 Tahun 2012 tentang Utusan Khusus Presiden, Stafsus Presiden, dan Stafsus Wakil Presiden.
Selain Ombudsman, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di sejumlah perguruan tinggi negeri juga mempertanyakan kebijakan Aminuddin yang hanya mengajak dua organisasi, yakni Dema PTKIN dan BEM Perguruan Tinggi Muhammadiyah. Mereka juga bertekad akan terus menggelar demonstrasi sampai presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk membatalkan UU yang jadi kontroversi itu.
Aminuddin Ma’ruf menegaskan, dirinya mendorong mahasiswa ikut serta dalam penyusunan aturan turunan dari UU Cipta Kerja seperti peraturan pemerintah (PP), sehingga pasal-pasal yang selama ini dianggap menjadi ganjalan dalam UU Cipta Kerja bisa diperbaiki.
"Agar menurut mereka pasal-pasal atau hal-hal yang masih menjadi kekurangan dari Undang-Undang Cipta kerja ini bisa ditutupi di aturan teknis terkait turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja," katanya usai menerima perwakilan Dema PTKIN se-Indonesia di Wisma Negara, kompleks Istana Kepresidenan, Jumat pekan lalu.
Dalam pertemuan itu, Aminuddin mengaku mendapat sejumlah masukan dari perwakilan mahasiswa mengenai klaster-klaster yang dianggap bermasalah dalam UU Cipta Kerja. Ia pun menghormati keputusan perwakilan mahasiswa untuk mengajukan uji materi UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sedangkan Koordinator Pusat Dema PTKIN se-Indonesia, Ongki Fachrur Rozie, menambahkan bahwa sejak awal penyusunan UU Cipta Kerja, pemerintah dan DPR tidak banyak melibatkan masukan publik. Hal itu terlihat dari ada sejumlah klaster aturan di dalam UU Cipta Kerja yang dianggap bertentangan dengan kemauan masyarakat. "Omnibus law Cipta Kerja ini cacat secara formil dan materiil. UU ini masih perlu adanya beberapa revisi dan uji materi," katanya.
M.S. Widodo
-------------g ---------------