Home Laporan Khusus Menangkap Peluang dari Bidenomics

Menangkap Peluang dari Bidenomics

Bidenomics akan menguntungkan perekonomian Indonesia jika penanganan Covid-19 berhasil baik. Di sisi lain, Biden dapat menghambat ekspor CPO dan energi berbasis fosil dari Indonesia.


Gedung Putih, kantor sekaligus rumah Presiden Amerika Serikat, sebentar lagi berganti penghuni. Dari Donald John Trump yang diusung Partai Republik, ke jagoan Partai Demokrat, Joseph Robinette Biden Jr. (Joe Biden). Trump tumbang di pemilihan Presiden AS yang digelar 3 November kemarin.

Berdasarkan hitung cepat yang dirilis Associated Press per 10 November 2020, Joe Biden mengantongi 290 suara elektoral. Trump hanya memperoleh 214 suara elektoral. Untuk jadi presiden AS, para calon harus mendapat minimal 270 suara elektoral dari total 538 suara.

Meskipun Biden baru resmi menjabat Presiden AS ke-46 pada 6 Januari tahun depan, para pemimpin dunia sudah menyampaikan ucapan selamat. Presiden Indonesia Joko Widodo salah satunya. Melalui tiga akun media sosial resminya, Facebook, Twitter, dan Instagram, Jokowi menganggap bahwa kemenangan Biden merupakan hasil dari demokrasi di AS.

Kalimat yang disampaikan Jokowi ini, mirip dengan ucapannya empat tahun lalu kepada Trump, ketika menjadi presiden AS ke-45. Yang jadi pembeda, dalam pernyataannya ke Biden, yaitu adanya ajakan untuk mendorong kerja sama Indonesia dan AS dalam bidang ekonomi. "Dan multilateralisme," unggah Jokowi di media sosial pada 8 November lalu.

Pernyataan Jokowi tadi bukan tanpa alasan. Pasalnya, di era kepemimpinan Trump, ekonomi global memang mengalami gejolak karena perang dagang antara AS dan China. Dampaknya, merembet ke negara berkembang. Ekonomi Indonesia ikut melambat.

Kebijakan akrobatik Trump lainnya, yaitu menghindari kerja sama secara multilateral. Trump sampai keluar dari Kemitraan Trans-Pasifik (Trans-Pacific Partnership/TPP) pada Januari 2017 lalu. Padahal kerja sama dagang ini dapat memperkuat pengawasan AS atas perdagangan China.

Contoh lainnya, mencabut kesepakatan The Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) yang telah dibuat AS dengan Cina, Rusia, Inggris, dan Uni Eropa. Kesepakatan ini dibentuk oleh Presiden AS sebelumnya, Barack Obama, pada 2015. Pada 2018, Trump keluar dari JCPOA.

Trump juga sempat menggertak akan keluar dari Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Meskipun Trump batal merealisasikannya. Alergi kerja sama multilateral, berefek pada penurunan nilai perdagangan global. Berdasarkan data WTO, perdagangan dunia di 2018 hanya tumbuh 2,9%, di bawah target 3,7%. Pada 2019, perdagangan global malah kontraksi 0,1%.

Lesunya perdagangan global berdampak pada perdagangan Indonesia. Pada 2018 dan 2019, neraca perdagangan Indonesia defisit masing-masing US$8,7 miliar dan US$3,6 miliar.

***

Pengamat Kebijakan Ekonomi, Tri Winarno, memprediksi bahwa dengan terpilihnya Biden menjadi presiden, maka kebijakan multilateral AS akan kembali dilanjutkan sehingga perdagangan global kembali menggeliat. "Begitu juga dengan perdagangan kita [Indonesia]. Ekspor impornya akan naik, jadi positif," katanya ketika dihubungi GATRA, Senin lalu.

Dampak positif lainnya dari Bidenomics, menurut Tri, yaitu kebijakan fiskal yang akan diterapkan pemerintahan Biden. Biden diperkirakan akan menaikkan pajak korporasi sebesar 15%. Dengan naiknya pajak, perusahaan AS berpotensi ekspansi ke emerging market, termasuk Indonesia. "Sehingga portofolio investment-nya akan ke negara emerging market," ujarnya.

Dari sisi moneter, Biden dinilai relatif lebih longgar oleh Tri. Tidak seperti Trump yang sering mengintervensi bank sentral AS, Biden akan memberikan independensi ke gubernur bank sentral AS dalam menentukan suku bunga acuan. Dampaknya, suku bunga acuan bank Indonesia lebih terjaga. "Dia [Biden] lebih memberi ruang untuk independensi," ujarnya.

Menurut Tri, Biden kemungkinan tetap melanjutkan pemberian fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) kepada Indonesia. GSP merupakan fasilitas perdagangan berupa pembebasan tarif bea masuk yang diberikan oleh pemerintah AS. Fasilitas ini diberikan kepada negara berkembang.

Ada 3.544 produk Indonesia yang bebas tarif bea masuk melalui GSP. Pada 2018, nilai ekspor produk bebas bea masuk mencapai US$2,1 miliar. Jika bea masuk dikenakan 10% saja, maka pendapatan ekspor Indonesia untuk 3.544 produk tadi, terpotong kurang lebih US$210 juta atau setara Rp3 triliun. "GSP akan berlanjut," Tri memprediksi.

Tri menjelaskan, dampak positif Bidenomics tersebut akan mampir ke Indonesia, asal pandemi Covid-19 bisa diselesaikan dengan cepat. Terkait urusan penanganan pandemi, ia menilai Biden lebih baik daripada Trump.

Hal ini ditunjukkan dengan pembentukan Tim Satuan Tugas Penanganan Covid-19, pemberian vaksin gratis, hingga membatalkan penarikan AS dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Program ini akan segera dilaksanakan setelah Biden dilantik awal tahun depan.

Kata Tri, Biden akan menggunakan pengaruhnya ke negara-negara lain, untuk memerangi pandemi. "Kalau kondisi berangsur-angsur baik, perdagangan internasional naik," katanya.

Meskipun membawa angin segar, kepemimpinan Biden juga memiliki dampak negatif untuk Indonesia. Menurutnya, persaingan dagang AS dan Cina masih berlanjut, hanya saja bentuknya berbeda. "Kemarin saling membalas lewat bilateral. Kalau nanti bentuknya multilateral," ujarnya.

Jika perseteruan dagang AS dan Cina tetap tinggi, pemerintah Indonesia sebenarnya masih bisa mengambil peluang. Caranya dengan menarik investor Cina dan AS agar merelokasi usahannya ke Indonesia.

Dampak negatif lain dari Bidenomics, yaitu adalah kebijakan ekonomi yang pro lingkungan. Menurut Tri, kebijakan ini akan memengaruhi ekspor sawit mentah (CPO) dan turunannya, serta energi berbasis fosil lainnya. "Dia memang ketat soal itu. Perusahaan sawit Indonesia yang tidak pro linkungan, bisa kena," katanya.

***

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan bahwa Biden akan menggenjot kebijakan energi baru terbarukan. Hal ini bisa menghambat ekspor Indonesia ke AS. "Produsen sawit dan migas di Indonesia harus bersiap-siap apabila ada safeguard lingkungan yang lebih ketat," katanya kepada GATRA.

Dari sisi investasi, aliran modal dari AS ke Indonesia juga berpotensi tersendat. Gerakan investasi hijau (green investment) dari AS akan makin gencar. Yang lebih mengkhawatirkan, jika kebijakan hijau dari AS juga diikuti oleh seluruh negara di Uni Eropa.

Sampai saat ini, kata Bhima, pemerintah masih belum bisa menyelesaikan persoalan lingkungan. "Yang menarik, UU Cipta Kerja justru jalan mundur untuk perlindungan lingkungan hidup," kata Bhima.

Untuk empat tahun ke depan, Bidenomics tidak akan berjalan mulus, andai senat dikuasai Partai Republik. Berdasarkan perhitungan yang dirilis Associated Press per 10 November 2020, Partai Republik masih memimpin perolehan kursi, sebesar 48 dari 100 kursi. Adapun Partai Demokrat, memperoleh 46 dari 100 kursi. Partai Republik membutuhkan tiga kursi lagi untuk menguasai senat.

Susunan kabinet juga memengaruhi pelaksanaan Bidenomics. Bhima mengatakan, tim ekonomi Biden berpotensi diisi oleh orang-orang yang berideologi progresif kiri-tengah. Misalnya, Elizabeth Warren yang akan mendukung kebijakan Biden terkait pemulihan ekonomi dan perlindungan pekerja.

Ada Bernie Sanders, diperkirakan akan dilibatkan dalam kebijakan di bidang jaminan kesehatan dan jaminan sosial. Selain itu, sosok Heather Boushey juga dijagokan untuk mengisi pos strategis karena kedekatannya dengan Biden sepanjang kampanye.

Heather Boushey digadang-gadang cocok untuk membahas masalah ketimpangan ekonomi dan peran perempuan dalam pembangunan yang berkeadilan. "Geng Demokrat sayap kiri akan dominan mengisi pos ekonomi," kata Bhima.

Bhima memprediksi, akan terjadi duplikasi kebijakan ekonomi yang pernah dilakukan Barack Obama dalam pemerintahan Biden. Meski demikian, dibandingkan Obama, Biden merupakan sosok yang lebih berani mengeluarkan stimulus ekonomi, kenaikan upah minimum, sampai kerja sama ekonomi berbasis lingkungan. "Karena Biden di-backup secara penuh oleh sosok radikal," ujarnya.

Hendry Roris Sianturi

 

Dampak Bidenomics ke Ekonomi Indonesia

1. Penguatan belanja Amerika Serikat

Dampak: defisit anggaran AS, pelemahan nilai dolar AS, penguatan rupiah

2. Menaikkan pajak perusahaan di Amerika Serikat sebesar 15%

Dampak: ekspansi perusahaan AS ke negara emerging market, termasuk Indonesia

3. Menaikkan upah minimum menjadi US$15/jam dan menciptakan jutaan pekerja baru bergaji tinggi

Dampak: Mendorong konsumsi dan permintaan dari Amerika Serikat

4. Peningkatan kerja sama multilateral

Dampak: Perdagangan Amerika Serikat-Indonesia berpotensi meningkat

5.Peningkatan investasi dan promosi energi baru terbarukan

Dampak: Berpotensi menghambat perdagangan sawit dan turunannya, serta energi berbasis fosil dari Indonesia

Sumber: Riset GATRA

 

Neraca Dagang AS-Indonesia

Total perdagangan (miliar US$):

2015: 23,83       

2016: 23,44

2017: 25,92

2018: 28,61

2019: 27,11

2020 (Januari-September): 19,77

 

Surplus neraca perdagangan (miliar US$):

2015: 8,64

2016: 8,84

2017: 9,67

2018: 8,26

2019: 8,58

2020 (Januari-September): 7,25

Sumber: Badan Pusat Statistik