Home Politik Ketika Kejaksaan Ikut Membidik

Ketika Kejaksaan Ikut Membidik

Kejaksaan Agung mulai menggarap kasus perpanjangan kontrak Jakarta International Container Terminal (JICT) di Pelindo II. Mengarah kepada keterlibatan direksi. Sementara itu, KPK masih menunggak kasus pengadaan crane yang menjerat R.J. Lino. Perpres Supervisi KPK bisa menjadi pendorong penyelesaian kasus dengan tuntas.


Serpong dan Tanjung Priok, sejak Senin dua pekan lalu, menjadi wilayah tujuan para penyidik Kejaksaan Agung untuk mengmpulkan dokumen –baik digital maupun konvensional—yang dimiliki perusahaan pelat merah Pelindo II. Di Serpong, misalnya, penyidik korps Adhyaksa mengisap semua data dari server milik perusahaan yang juga punya nama International Port Company (IPC) itu. Sedangkan di Tanjung Priok, para penyidik ini menguras semua dokumen yang berada di kantor Jakarta International Container Terminal (JICT). 

Sebelumnya, penyidik kejaksaan sudah melakukan pemeriksaan di beberapa ruangan direksi JICT pada Senin 5 September lalu. Sumber Gatra di lingkungan JICT mengatakan, kasus yang sekarang sedang digarap kejaksaan di lingkup perpanjangan kontrak Hutchison Port Holding (HPH), yang bermarkas di Hong Kong, dengan JICT. Kasus yang sebenarnya sudah cukup lama mengendap di kalangan aparat penegak hukum (APH), termasuk KPK.

Tentang kasus yang melibatkan perusahaan asing itu, pihak kejaksaan masih belum mau membukanya. Karena alasan penyidikan, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Hari Setiyono, menolak untuk menjelaskan. Memang sebelumnya Hari hanya menyebut nama Retno Soelistianti selaku anggota Tim Teknis pada PT Pelindo II yang diperiksa para penyidiknya. Terakhir, Kejagung memeriksa Saptono Punanto, Direktur Komersial dan Pengembangan Usaha PT Pelindo II, pada Selasa lalu.

Pada akhirnya juga Hari mengakui bahwa apa yang sedang dikejar kejaksaan adalah perpanjangan kontrak kerja antara HPH dan JICT. "Iya, benar," kata Hari melalui pesan singkat kepada Erlina Fury Santika dari Gatra, Selasa lalu.

Jika dirunut ke belakang, perpanjangan kontrak HPH dan JICT ini sebenarnya baru habis pada tahun lalu. Tapi pada 2012, Direktur Utama Pelindo II kala itu, Richard Joost (R.J.) Lino, ingin mempercepat penandatanganan kontrak baru. Akhirnya, pada 2015, ditandatangani perjanjian perpanjangan kontrak antara HPH dan JICT.

Perpanjangan kontrak ini bukan tanpa masalah. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahkan sudah mengeluarkan hasil audit investigatif. Ditengarai, negara merugi hingga Rp.4,081 triliun. Selain nilai kerugian negara yang cukup fantastis, kasus ini juga melanggar banyak aturan main.

Dalam laporan investigasi yang dimiliki Gatra, BPK menemukan adanya lima kejanggalan dalam proses perpanjangan kontrak. Pertama, Pelindo II memaksa teken kontrak tanpa melalui mekanisme umum, seperti Rencana Kerja Anggaran dan Program (RKAP) dan Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP).

Dengan demikian, dugaan pemufakatan jahat untuk memperpanjang kontrak secara sepihak terlihat lebih terang. "Sehingga patut diduga sebagai upaya untuk menutup-nutupi adanya rencana Perpanjangan Perjanjian Kerja Sama Pengelolaan dan Pengoperasian PT.JICT dengan mitra terdahulu, yaitu HPH," tulis BPK dalam laporannya.

Kedua, perpanjangan kontrak dilakukan dengan menerabas izin konsesi yang belum ditandatangani Menteri Perhubungan kala itu. Ketiga, perpanjangan kerja sama pengelolaan dan pengoperasian JICT dilakukan tanpa mekanisme pemilihan mitra yang sesuai dengan mekanisme.

BPK menyebut, ada upaya curang untuk langsung memperpanjang kontrak tanpa proses lelang. Padahal, HPH sebagai mitra tidak memenuhi syarat untuk ditunjuk langsung oleh BUMN, dalam hal ini Pelindo II.

Keempat, perpanjangan kontrak ini diteken Pelindo II dan HPH tanpa persetujuan dari rapat umum pemegang saham (RUPS) dan persetujuan Menteri BUMN yang waktu itu dipegang oleh Rini Sumarno.

Terakhir, BPK menemukan adanya kecurangan dalam penunjukan Deutsche Bank (DB) sebagai konsultan keuangan. Hasil pekerjaan DB, sebut BPK, berupa valuasi nilai bisnis jika kontrak HPH diperpanjang. "Patut diduga dipersiapkan untuk mendukung tercapainya perpanjangan perjanjian kerja sama dengan mitra lama," tulis laporan tersebut.

Laporan BPK menyebutkan bahwa Direksi PT Pelindo II tidak memiliki owner estimate dalam menilai penawaran dari HPH. Maka, penilaian penawaran diserahkan kepada pihak financial advisor, yakni DB. Sayangnya, ada dugaan kuat bahwa Biro Pengadaan Pelindo II dengan sengaja meloloskan DB sebagai financial advisor meski tak lulus dalam evaluasi administratif. Padahal, DB juga memiliki posisi yang berpotensi memicu konflik kepentingan. Karena berperan sebagai pihak yang bernegosiasi, pemberi pinjaman, sekaligus pengarah.

Kapuspen Kejagung, Hari Setiyono, memang sudah mengakui bahwa pihaknya tengah menggarap kasus Pelindo II dari sisi perpanjangan kontrak JICT, tapi sayangnya, Hari enggan membeberkan lebih detail mengenai kasus tersebut. "Maaf, kami belum bisa sampaikan," ucapnya.

Kejagung hanya bisa menjelaskan bahwa pihaknya tengah menyidik dugaan korupsi di Pelindo II tentang perpanjangan kontrak. Menurut Hari, proses pengurusan perpanjangan pengelolaan JICT sarat dengan tindak pidana korupsi. "Jadi terkait pengelolaan pelabuhan oleh JICT yang diduga perjanjiannya sudah habis kemudian diduga ada perbuatan melawan hukum," ia menjelaskan.

***

Kasus yang menjerat Pelindo II dan R.J. Lino sebagai Dirut waktu itu sebenarnya cukup banyak. Setidaknya ada tiga kasus yang mulai diendus APH. Perpanjangan kontrak JICT-HPH, pembelian quay container crane (QCC) dan pengurusan global bond lebih dari Rp20 triliun.

Untuk kasus pembelian crane, KPK sudah lebih dulu melabeli R.J. Lino sebagai tersangka, tapi sayangnya hingga saat ini kasus in jalan di tempat. Nasib Lino pun terkatung-katung tanpa kejelasan status hukum.

KPK mengakui bahwa tunggakan kasus Lino masih bergantung pada hasil audit BPK. Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, mengatakan bahwa pihaknya masih menunggu progres laporan audit yang hingga kini belum diterimanya. Namun Alexander berjanji akan menyeriusi tunggakan kasus di KPK, seperti kasus Lino.

"Dokumen terkait berapa sih harga sebenarnya dari crane yang dibeli Pelindo tidak pernah didapatkan, tetapi kami dalam rangka penghitungan kerugian negara itu akan menggunakan ahli di Indonesia kira-kira berapa kisarannya, kita minta untuk membuktikan,” kata Alex saat dikonfirmasi Wahyu Wachid Anshory dari Gatra.

Kasus besar di satu wilayah yang kemudian terbagi dalam berbagai kasus kecil dan dtangani berbagai APH, seperti kasus di Pelindo ini kini punya peluang bisa disatukan dalam pengawasan KPK. Ini setelah Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Presiden (Perpres) Supervisi KPK. Dengan adanya Perpres ini, KPK bisa dengan leluasa mengelola kasus yang sedang ditangani oleh kejaksaan atau kepolisian.

Dalam Perpres bernomor 102/2020 itu, KPK bisa melakukan supervisi didampingi oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus). Supervisi KPK juga bisa dilakukan dalam tiga bentuk: pengawasan, penelitan, dan penelaahan. Jika supervisi dinyatakan sudah cukup, maka KPK berkewajiban untuk membuat gelar perkara bersama, menyampaikan hasil pengawasan kepada lembaga terkait berikut rekomendasinya.

Pelaksana tugas Juru Bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan pada prinsipnya Perpres 102 memang sudah dilakukan oleh KPK. Bukan hanya supervisi melainkan juga koordinasi antar-APH. Hal ini juga termasuk dalam kasus yang saat ini sedang digelar oleh kejaksaan. "Kami sampaikan bahwa pengambilalihan kasus tentu ada mekanisme proses dan aturan main yang telah ditegaskan dalam UU KPK, di antaranya ketentuan Pasal 10 A UU KPK," ia menjelaskan.

Aditya Kirana


Kejanggalan Proses Perpanjangan Kontrak HPH

Tanpa RKAP dan RJPP

Tanpa izin konsesi Menteri Perhubungan

Tanpa persetujuan RUPS dan Menteri BUMN

Penunjukan Langsung HPH melanggar mekanisme

Deutsche Bank ditunjuk sebagai advisor tanpa mekanisme. Hasilnya diduga disiapkan untuk memperpanjang kontrak.