Menjelang pemilu 2024, partai baru mulai bermunculan. Kehadiranya masih diragukan dapat meraih suara maksimal. Mampukah memberikan kejutan?
Teka-teki nama partai Amien Rais akhirnya terkuak. Secara resmi mantan pendiri PAN ini telah mengumumkan Partai Ummat (PU) sebagai partai barunya via akun YouTube Amien Rais Official, Kamis dua pekan lalu. Dalam video berdurasi 2 menit 59 detik tersebut, Amien bahkan secara terbuka mengajak siapa pun untuk bergabung dengan partainya.
Loyalis Amien, yang juga menjabat Ketua PAN DIY, Nazarudin, menyatakan kepengurusan PU akan disampaikan akhir bulan Oktober. “Ketika memutuskan mendirikan partai tentu kita sudah mengkalkulasi persyaratan aturan Menkumham soal pendirian partai, ketentuan KPU agar bisa menjadi peserta Pemilu, dan ketentuan ambang batas parlemen dikaitkan dengan potensi yang kita miliki,” ucapnya kepada Gatra.
Ia mengklaim, Partai Ummat adalah partai Islam yang rahmatan lil alamiin. Namun, tetap terbuka untuk siapa pun yang ingin bergabung karena kecocokan tujuan perjuangan, dan PU akan berjuang untuk seluruh rakyat Indonesia. "Rakyat merindukan partai yang punya komitmen yangg kuat menegakkan keadilan dan tegas melawan kezaliman. Tidak semata berorientasi kepada kekuasaan. Kami hadir untuk itu," ia membeberkan.
Bahkan, Nazarudin mengumbar, seandainya bisa membentuk pemerintahan, PU akan bangun koalisi dengan yang punya platform dan garis perjuangan yang sama. Lalu, jika tidak masuk dalam pemerintahan, akan menjadi oposisi yang kuat dan konsisten. "Kami yang mendirikan Partai Ummat ini sudah move on dari PAN. Jadi kami bukan pecahan PAN. Partai Ummat adalah partai Islam, sedangkan PAN bukan partai Islam yang dibungkus dengan label "nasionalis relegius". Sejatinya ya sekular," kata dia.
Dengan begitu, ia menyatakan tidak tepat kalau Partai Ummat dikatakan sebagai pecahan PAN. "Partai Ummat hadir sebagai koreksi terhadap partai-partai yang hanya berorientasi menikmati kue kekuasaan. Bahkan tidak ikut membangun koalisi pun ingin menjadi bagian dari kekuasaan," cetusnya.
Sebelumnya, Partai Gelombang Rakyat (Gelora) sudah berdiri lebih dahulu. Bahkan partai bentukan Mohammad Anis Matta ini sudah disahkan sebagai partai politik oleh Kemenkumham pada 2 Juni silam. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gelora, Mahfuz Sidik, mengklaim sebagai partai baru yang baru genap satu tahun pada 28 Oktober ini, pihaknya sudah berpartisipasi di dalam pilkada di 195 daerah dari 270 daerah yang tersedia.
Ia mengakui, sebagai partai baru pihaknya memang bukan sebagai partai yang secara resmi mengusung, namun posisinya hanya mendukung. "Tapi di beberapa tempat keterlibatan pemenangan dilakukan secara total dan full ya," ucap Mahfuz saat dihubungi Muhammad Guruh Nuary dari Gatra.
Menurutnya, perbedaan partainya dengan partai yang sudah eksis seperti dengan PKS adalah: Gelora membawa visi bahwa semua potensi bisa dikembangkan, termasuk partai politik baru. "Partai Gelora juga mengambil asas Pancasila dan lebih mengeintegrasikan visi keumatan dan visi kebangsaan, ide kebangsaan dan ide keumatan, kurang-lebih begitu," ujar Mahfuz.
Perihal menggaet pemilih muda atau tua, dari kalangan keagamaan tertentu atau tidak, Mahfuz membeberkan bahwa partainya tengah berjuang merampungkan kepengurusan yang kuat dan solid sampai tingkat daerah terbawah. Sebab, sejauh ini secara ogranisasi partainya masih dalam perkembangan pembentukan struktur dan kaderisasi anggota hingga ke level desa. "Jadi nanti verifikasi KPU di tahun 2022, kita bisa lolos sebagai peserta pemilu 2024," ia memaparkan.
Menurutnya, momen pilkada pada Desember nanti bisa menjadikan akselerasi ditahapan pengembangan partainya. Bagi Mahfuz, hal itu bisa menjadi modal awal Partai Gelora untuk mengetahui potensi pemilih bagi partainya. Gelora juga melihat ambang batas parlemen yang cukup tinggi, di angka 4%. Namun ia optimistis bahwa partainya bisa menyentuh angka tersebut.
Ia sadar betul, pada pemilu 2019 dan pemilu-pemilu sebelumnya banyak partai baru yang tidak bisa lolos. "Jadi ini juga menjadi perhatian penting bagi Partai Gelora. Harus optimis ya, karena partai ini kan sudah dibangun setahun, jadi masih ada waktu banyak ke depan, insyaallah cukup untuk melakukan persiapan-persiapan itu tadi," Mahfuz menjelaskan.
Sementara itu, Ketua Umum Partai Swara Rakyat Indonesia (Parsindo), Jusuf Rizal, mengatakan bahwa pihaknya sama sekali tidak khawatir mengenai segmentasi dengan partai baru lainnya. Meski sebelumnya pada pemilu 2019 partainya sempat gagal lolos. Menurutnya, Partai Gelora sudah pasti akan menggerus suara PKS, dan Partai Ummat menggerus suara PAN
Sedangkan Partai Parsindo akan memasuki segmen yang berbeda: kerakyatan-nasionalis-religius. Jusuf membeberkan, Parsindo telah bersepakat dengan beberapa federasi serikat pekerja untuk menjadi wadah aspirasi dan politik para pekerja dan buruh. "Omnibus law menunjukkan bahwa buruh-buruh dibutuhkan menjelang pileg, pilkada, dan pilpres. Didekati dengan manis, tetapi pada saat mereka mengharapkan dukungan, tak ada yang menerima," kata Jusuf kepada Muhammad Almer Sidqi dari Gatra.
Untuk itu, Jusuf menyatakan, serikat pekerja harus memiliki kendaraan politik agar memiliki perwakilan di parlemen untuk memperjuangkan nasib pekerja. "Jadi tidak lagi mereka sekadar dieksploitasi. Segmen ini yang mau kami jadikan dasar sebagai modal karena para pekerja," ia menambahkan.
Sebelumnya, Parsindo sudah memiliki jejaring yang dibangun selama 15 tahun di 34 provinsi, 470 kabupaten/kota, oleh jaringan LSM LIRA (Lumbung Informasi Rakyat). "Jejaring-jejaring kelompok NU kultural juga akan menjadi bagian yang akan mengisi kekosongan. Pembina kami juga terdiri dari kiai yang cukup kuat di beberapa daerah di Jawa Timur," kata Jusuf.
Dengan demikian, Parsindo telah memetakan wilayah-wilayah kekuatannya tergantung pada segmen tertentu. Suara NU, misalnya, akan diraih pada daerah-daerah berbasis religius seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta; suara serikat pekerja di Banten dan Jawa Barat; dan DKI Jakarta sebagai basis suara nasionalis.
***
Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Sirojudin Abbas, menilai setidaknya ada dua hal yang menyebabkan banyak parpol baru muncul belakangan ini. Pertama, sebagian besar pemilih Indonesia tidak merasa ada kedekatan dengan parpol lama. Baik secara emosional, kultural, maupun program dan perjuangan parpol.
Berdasarkan survei yang dilakukan SMRC pada awal tahun ini, hanya ada sekitar 10% pemilih yang merasa dekat dengan parpol tertentu. Hal ini menunjukan bahwa masih ada peluang bagi aktor-aktor yang ingin mendirikan parpol baru untuk merebut hati pemilih. "Pemilih kita itu selektif, cair dan tidak terlalu kuat komitmennya untuk memilih partai yang sama dari satu pemilu ke pemilu yang lain," ungkap Sirojudin kepada Dwi Reka Barokah dari Gatra.
Persoalan kedua berkaitan dengan komitmen para elite politik yang saat ini cenderung tidak memiliki idealisme cukup kuat. Tak hanya itu, perjuangan yang diperlihatkan kepada masyarakat sarat kepentingan politik. Sehingga ketika ada aktor politik merasa harapannya tidak tercapai dalam suatu parpol, ia akan bergabung dengan parpol lain yang memiliki prospek sesuai tujuaannya atau justru mendirikan parpol baru. "Jadi selalu begitu, karena komitmennya bukan pada idealisme pada sesuatu nilai-nilai yang lebih dalam. Lebih ke kepentingan afirmatif, kekuasaan, dan ekonomi," tuturnya.
Namun, kenyataanya parpol baru tentu juga tidak mudah diterima oleh masyarakat. Menurut Sirojudin, ada tiga faktor yang membuat parpol baru dapat diterima publik: tokoh, kekuatan organisasi, dan finansial.
Sedangkan menurut peneliti LIPI Firman Noor, geliat partai baru, khususnya Partai Gelora dan Partai Ummat, haruslah bisa realistis dalam menetapkan target suara di pemilihan kedepan. Dengan segmentasi pemilih yang mulai sempit, ia memandang bahwa para partai baru saat ini baru bisa bermain pada cangkulan pemilih mengambang.
Jika sekadar untuk menunjukan eksistensi di kancah perpolitikan Indonesia, Firman merasa bahwa suara yang bisa dikeruk dari para pemilih mengambang sejatinya sudah cukup memenuhi. "Hanya saja untuk mendapat jumlah suara yang lebih signifikan lagi, setiap partai baru harus bekerja ekstra keras,” katanya kepada Ucha Julistian Mone dari Gatra.
Apalagi, segmentasi pemilih Islam yang diincar oleh Partai Ummat dan Partai Gelora sejatinya tidak berbeda jauh. Bahkan masih mirip dengan partai-partai yang bernuansa islami yang ada saat ini, seperti PKB, PAN, PPP, dan PKS.
Berkaca pada kiprah partai baru seperti PSI, Perindo dan seterusnya yang gagal dalam pemilu 2019 lalu, Firman mengakui, tugas berat dan ekstra sulit akan ditemui para partai baru kali ini untuk lolos ambang batas parlemen pada 2024 mendatang. Untuk dapat bersaing dengan partai lainnya, partai baru harus segera membangun suatu kepengurusan yang solid, tersebar, kuat, dan punya komitmen yang tinggi.
Selain itu, para partai baru harus menemukan dukungan dari penyandang dana. "Harus diakui, dalam pemilihan umum, yang dipertarungkan bukan hanya soal ide dan gagasan. Namun juga diperlukan uang dan pendanaan yang solid," Firman menambahkan.
Gandhi Achmad dan Arief Koes Hernawan (Yogyakarta)