Home Politik Kerja Memoles Kandidat

Kerja Memoles Kandidat

Bisnis konsultan politik tumbuh subur semenjak pemilihan umum langsung. Tugasnya, mengantar peserta pilkada menjadi kampiun pesta demokrasi. Di era pandemi, kerja mereka sedikit berbeda.


Pemilu langsung jadi momentum para konsultan politik mengeruk pundi-pundi rupiah. Peran mereka penting untuk memenangkan peserta pemilu. Tugasnya, menentukan strategi pemenangan, membuat pemetaan, branding, membaca sentimen publik, hingga membangun opini publik.

Direktur Eksekutif Charta Politica, Yunarto Wijaya, menjelaskan ada tiga layanan konsultan politik secara umum, yakni mapping (pemetaan), monitoring (pengawasan), dan mobilizing (mobilisasi). Saat mapping, konsultan akan membuat pemetaan terkait kekuatan para calon dan kondisi pemilih. Mapping ini meliputi riset dan survei untuk mengukur kekuatan antarcalon. Lalu, hasilnya dilanjutkan dengan metode kualitatif seperti FGD dan wawancara.

"Jadi, mendalami tokoh-tokoh tertentu, pendapat dari segmen tertentu terhadap kondisi tempat pemilihan dan branding kandidat," tutur Yunarto kepada Wartawan GATRA, Ucha Julistian Mone.

Setelah mapping, ada monitoring. Konsultan melakukan pendampingan ketika kandidat berkampanye. Monitoring ini lebih bersifat teknis, seperti penyusunan jadwal, materi kampanye, hingga hal detail, seperti penampilan klien di hadapan konstituen.

"Ketika bicara dengan segmen ini, apa yang harus dibicarakan, gaya komunikasi, hingga hal-hal yang lebih personal juga, misalnya bahasa tubuh, gaya berpakaian. Itu konsultan politik terus dampingi," ujar Yunarto.

Selanjutnya, mobilizing. Ini berkaitan dengan proses pemenangan atau pendulangan suara. Caranya bisa dari kampanye door to door, aktivasi jaringan, hingga menggerakkan massa ke tempat pemungutan suara (TPS). Layanan ini berkaitan langsung dengan elektoral.

Kata Yunarto, tak semua klien menggunakan ketiga layanan tersebut. Banyak pengguna jasa Charta Politica hanya pakai satu layanan saja. Wajar, biasanya klien yang datang sudah memiliki tim yang kuat, tetapi membutuhkan sedikit dorongan dari salah satu layanan tersebut. "Yang paling banyak digunakan, tentu dalam jasa mapping. Survei itu yang paling banyak diminati," ia memaparkan.

Pada pemilihan kepala daerah serentak tahun ini, Charta Politica ikut terciprat cuan dari pesta demokrasi. Beberapa klien mereka tersebar di Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatra. Sayangnya, Yunarto tak bersedia menyebut jelas siapa saja kandidat yang memakai jasanya.

Menurutnya, kondisi pilkada di tengah pandemi membuat penyusunan siasat pemenangan lebih sulit dibanding situasi normal. Yang berubah, misalnya ada batasan peserta saat kampanye terbuka dan penerapan protokol kesehatan dengan konsekuensi sanksi bila melanggar. Lalu beberapa metode kampanye langsung pun dilarang. Siasat diubah dengan memaksimalkan kampanye, baik menggunakan media konvensional maupun daring.

"Sayangnya, pertarungan di udara ini tidak bisa merata di lakukan di semua daerah. Hanya daerah-daerah tertentu. Kalau daerahnya fasilitas dan jaringannya tidak ada, seperti di daerah pedalaman, kan itu tidak bisa," Yunarto menjelaskan.

Untuk tipikal daerah terpencil ini, Charta Politica memaksimalkan pertarungan darat dengan terjun langsung ke masyarakat. Memang, pesertanya dibatasi sesuai aturan main yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). "Yang tadinya jumlah peserta bisa 200-300, sekarang cuma 50. Mau tidak mau frekuensinya yang diperbanyak, sehingga bisa mengejar jumlah pemilih yang bisa tergapai," ujar Yunarto.

Dari sisi ongkos, bujet pilkada di era pandemi lebih murah. Beberapa kegiatan yang menyedot dana tinggi seperti kampanye terbuka, ditiadakan. "Biasanya biaya besar untuk mengundang artis, undang massa banyak, itu kan nggak perlu dilakukan," kata Yunarto.

Di bisnis konsultan politik ini, pemain asing nyaris tak punya tempat. Kalaupun berembus isu penggunaan konsultan asing, biasanya itu rumor yang ditiup pasangan calon untuk menyerang lawan. Kandidat lebih suka pakai jasa lokal lantaran lebih mengenal medan.

"Karena ini kan bukan tentang seberapa canggih alat yang digunakan atau pun asal sekolah konsultan. Logikanya, konsultan luar negeri tidak mudah untuk mengerti karakter pemilih indonesia yang sangat unik," tuturnya lagi.

Direktur Eksekutif Voxpol Center Research Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, menuturkan bahwa tidak semua kandidat butuh konsultan politik buat mengerek elektabilitas. Namun, konsultan punya kelebihan, yakni strateginya lebih terukur.

"Ada indikator yang jelas. Ada KPI (key performance indicator) tidak berdasarkan asumsi dan persepsi," kata Pangi kepada Wartawan GATRA, Wahyu Wachid Anshory. 

Apa saja kerja konsultan, kata Pangi, bergantung pada kebutuhan calon. Mulai dari melakukan survei, strategi pemenangan, hingga pemetaan politik di daerahnya. Jika diminta, Voxpol bisa membuatkan materi hingga alat peraga kampanye (APK). Menurutnya, pekerjaan utama konsultan adalah membangun kepercayaan publik, mengerek popularitas, dan membuat citra yang baik terhadap calon. Jika calonnya punya jejak rekam cemerlang, kerja konsultan lebih enteng.

Senada dengan Yunarto, Pangi bungkam soal siapa saja klien Voxpol Center Research Consulting pada pilkada serentak ini. "Di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Papua, ada," ujarnya.

***

Tampaknya, identitas klien adalah rahasia dapur bagi para konsultan politik. Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menutup rapat siapa saja kandidat kepala daerah yang mereka tangani pada pilkada 2020 ini. "Saya enggak akan cerita itu, ini rahasia internal," kata Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Sirojudin Abbas.

Meski demikian, Abbas tak pelit berbagi strategi pendekatan SMRC kepada konstituen di era pandemi ini. Wabah Covid-19 menyulitkan mobilisasi pemilih ke lokasi kampanye, maka taktik diubah. Salah satunya, membentuk banyak tim jaringan kampanye. "Kelompok kecil saja, tapi jumlahnya banyak. Secara teknis, ini rumit dilakukan karena butuh tim yang besar," ujarnya.

Taktik lain, memaksimalkan penggunaan media daring. Pertemuan-pertemuan daring via panggilan video mulai banyak dilakukan pasangan calon. Tim pemenangan pun menjadi lebih aktif dan kreatif untuk memproduksi bahan kampanye yang beragam dan menarik.

Namun, Abbas mengakui efektivitas penggunaan media daring bergantung pada kondisi wilayah. "Kalau di Jawa dan Sumatra relatif oke, tapi keluar dari itu lebih berat situasinya. Dalam konteks seperti itu, mereka mengandalkan teknik kampanye konvensional," ucapnya.

Bagi Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI), mendampingi calon di pilkada ini cukup menantang. Pekerjaan utama mereka adalah memastikan pesan-pesan kampanye klien memikat konstituen agar mencoblos jagoan mereka. Karena pandemi, tugas ini jadi lebih menantang karena ada pembatasan kampanye tatap muka.

Pendiri KedaiKOPI, Hendri Satrio, menilai kampanye virtual itu lebih susah karena tidak bisa melihat langsung respons dari penerima pesan. Reaksinya sukar ditebak. "Mereka mengerti atau tidak, paham atau tidak, percaya atau tidak, itu di kampanye virtual lebih sulit dibandingkan dengan kampanye offline atau tatap muka," ujarnya saat dihubungi Wartawan GATRA, Ryan Puspa Bangsa.

Sebagai jalan keluar, KedaiKOPI mengandalkan data hasil survei dalam mengukur kekuatan klien dan kompetitornya. Di sisi lain, kampanye melalui media konvensional masih dilakukan. Kajian KedaiKOPI menunjukkan, kampanye via media konvensional masih menjadi media paling dipercaya.

"Televisi paling atas, kemudian media cetak, radio, dan terakhir media online. Di level kabupaten, kita lebih mengutamakan TV lokal ketimbang TV nasional. Jadi, media konvensional itu masih kita gunakan," kata Hendri.

Putri Kartika Utami