Home Laporan Khusus Munculkan Petaka Urusan Harga

Munculkan Petaka Urusan Harga

Curah hujan yang mulai tinggi membawa sedikit “petaka” bagi para petani sayuran di kabupaten Banyumas. Berbagai sayuran di pasar tradisional harganya anjlok seturut datangnya musim hujan. Panen lebih cepat menjadi pilihan.

Di pasaran, kubis hanya dijual dengan harga Rp500-Rp1.000 per kilogram. Adapun wortel, dijual dengan harga Rp3.000-Rp4.000 per kilogram. Harga yang rendah ini sangat berdampak untuk para petani. Kubis, yang biasanya seharga Rp1.500 per kilogram, kini turun hanya Rp200 per kilogram. Bahkan, ada pula yang dibiarkan membusuk di lahan karena hanya akan dibeli dengan harga Rp100 per kilogram.

Ketua Asosiasi Petani Kentang Banjarnegara, Ahmad Mudasir mengatakan penurunan terparah terjadi pada komoditas kubis dan wortel. "Ini saja, kubis itu harganya hancur, begitu pula dengan. Harganya hancur-hancuran. Nggak laku. Bukan nya di bawah Rp1.000 Mas, hanya Rp200 Mas,” katanya.

Adapun wortel, normalnya seharga Rp3.000 per kilogram, namun kini hanya dihargai Rp500 per kilogram. Kondisi ini membuat petani rugi besar. Penurunan disebabkan semakin melimpahnya pasokan seturut datangnya musim hujan. Petani, banyak yang memanen lantaran khawatir busuk di lahan. “Ada yang nggak laku. Kubisnya bagus-bagus, harganya hanya Rp100 Rp200. Wortel hanya Rp500, maksimal Rp1.000 per kilogram,” ucapnya.

Mudasir mengakui, sejak pandemi Covid-19, harga sayur tak pernah stabil dan terus menurun. Harga semakin anjlok sejak September, atau sejak dimulainya musim panen raya kemarau. Pada Oktober ini, harga semakin jatuh kerena puncak panen raya dan kekhawatiran busuk lahan. “Takut busuk karena hujan akhirnya ramai-ramai dipanen,” ujarnya.

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati saat berada di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah mengatakan, mulai Oktober 2020 ini curah hujan di hampir semua wilayah Indonesia mulai meningkat.

Dia mengingatkan kemungkinan terjadinya la nina yang bisa memicu bencana hidrometeorologi. "Masyarakat harus waspada La Nina pada musim hujan mendatang karena dapat memicu bencana hidrometeorologi, seperti longsor, banjir, atau banjir bandang,” jelasnya.

Mulai Oktober, La Nina dampaknya mengakibatkan peningkatakan curah hujan di hampir semua wilayah Indonesia, terutama Indonesia bagian tengah dan utara. Menurutnya, La Nina berasal dari Samudera Pasifik akibat suhu muka air laut mengalami anomali, yakni lebih dingin mendekati minus 1 derajat.

Sedangkan suhu di kepulauan Indonesia lebih hangat. Maka adanya perbedaan suhu itu mengakibatkan terjadinya pergerakan aliran masa udara basah dari Samudera Pasifik bergerak menuju kepulauan Indonesia.

"Pada saat La Nina, terjadi peningkatan curah hujan dari 20 sampai 40 persen di atas normalnya, itu secara umum, Jawa juga kena, kecuali Sumatera yang tidak terkena. Potensi La Nina berdampak pada peningkatan curah hujan mencapai 20-40 persen di Jateng,” jelasnya.

Dwikorita menegaskan bahwa dari La Nina yang memicu curah hujan tinggi, ini ada dampak lain yang juga dikhawatirkan, yakni terhadap komoditas tanaman pertanian dan perkebunan. “Curah hujan terlalu tinggi bisa mempengaruhi produktivitas hasil pertanian,” tandasnya. Muh Slamet

 

 

 

152