Home Politik Pilkada Tipis Partisipasi

Pilkada Tipis Partisipasi

Keterlibatan publik dalam pilkada ditengarai bakal menurun tajam. Legitimasi kepemimpinan terancam rendah. Parpol mati-matian berkampanye agar publik menggunakan haknya. Kandidat kepala daerah perlu putar otak untuk berinovasi. Sudah waktunya pemilu elektronik?


Ada yang tak bisa dihindari dari gelaran pemilihan umum saat pandemi, yaitu penurunan partisipasi publik. Ini bisa dilihat dari pengalaman 32 negara yang pada masa wabah Covid-19 ini menggelar pemilu. Indonesia sebagai negara ke-33 yang akan menggelar pilkada pada 19 Desember nanti, juga dibayangi anjloknya jumlah orang yang mau mencoblos.

Komisi Pemilihan Umum (KPU), misalnya, menargetkan angka partisipasi hingga 77,5%, tetapi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) hanya mampu berharap di angka 50% saja. Perlu diingat bahwa pada 2015, pilkada serentak hanya mampu menggaet 70% pemilih dan pilkada 2020 mayoritas diikuti oleh daerah yang sama. 

Dari sisi partai politik, turunnya angka pemilih tentu menjadi mimpi buruk elektoral. Pilkada kali ini, mau tidak mau, menjadi anak tangga bagi posisi politik parpol pada pemilu presiden dan legislatif 2024 nanti. PDI Perjuangan sebagai salah satu parpol yang getol agar pilkada dilanjutkan pun, merasakan kekhawatiran.

Wakil Sekjen PDI Perjuangan, Arief Wibowo, mengatakan bahwa tiap kali kampanye, tim PDI Perjuangan selalu menyampaikan nada optimisme di tengah pandemi. "Kandidat harus rajin menyampaikan kepada seluruh pemilih bahwa menggunakan haknya itu penting sekalipun ini pandemi, maka protokol kesehatan itu kita ajarkan juga pada saat kampanye," ujar Arief kepada M. Guruh Nuary dari GATRA.

Dalam beberapa sigi, kata Arief, memang ditemui kecenderungan menipisnya angka partisipasi. Untuk itu, mesin parpol perlu diputar lebih kencang. "Memang ini kerja masif, intensif, dan raksasa. Lebih melelahkan memang, apalagi 270 daerah," ucapnya.

Meski berada di tengah tantangan besar elektoral, Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Sirajuddin Abbas, tetap optimistis angka partisipasi publik masih tinggi. Dari data SMRC, partisipasi publik masih dimungkinkan hingga tembus 80%. "Masyarakat yang tahu akan ada pilkada di wilayahnya, 80% mengatakan ingin ikut memilih," katanya kepada Ryan Puspa Bangsa dari GATRA.

Bagi Sirajuddin, 95% publik mafhum bahaya dari Covid-19. Namun keinginan untuk memilih masih cukup tinggi karena masyarakat menginginkan pemimpin yang memiliki legitimasi. "Mayoritas pemilih kita tidak menginginkan adanya kepala daerah yang tidak memiliki mandat langsung dari rakyat. Misalnya dipilih DPRD, atau ditunjuk oleh gubernur sebagai Plt, Mereka tidak mau seperti itu," ujarnya.

Meski pada akhirnya publik memilih untuk tidak datang ke TPS, bukan berarti hal ini menjadi indikator tidak berhasilnya proses demokrasi. Bagi Sirajuddin, tingkat partisipasi tidak bisa mentah-mentah dijadikan acuan demokratisasi yang berjalan baik. Bahkan, meski partisipasi publik hanya 50% dari total DPT, bukan berarti angka ini menjadi indikator demokrasi buruk. 

Hak warga negara untuk memilih atau tidak memilih itu bersifat individual. Ia mengingatkan tentang partisipasi publik era Orde Baru. "Di zaman Pak Soeharto dulu partisipasinya tinggi terus, 99%. Apakah demokrasi di masa itu bagus? Tidak ada demokrasi malah," ujarnya.

Di beberapa negara lain, seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Prancis, tingkat partisipasi publik dalam Pemilu hanya di bawah 70% saja. Adapun di negara dengan populasi kecil seperti Australia, mewajibkan rakyatnya untuk berpartisipasi dalam setiap pemilu, hingga diberlakukan sistem denda.

Di Indonesia, dengan populasi yang sangat besar dan sistem pemilu yang cukup bebas, penerapan kebijakan penyelenggaraan pemilu seperti di Australia tidak mungkin dilakukan. "Jadi, yang paling penting diupayakan oleh pemerintah dan penyelenggara pemilu adalah informasi tentang pilkada itu sampai ke seluruh warga negara yang memiliki hak pilih," ucap Sirajuddin.

Di sisi lain, peneliti LSI Denny JA, Ikrama Masloman, mengatakan bahwa prediksi penurunan partisipasi masyarakat disebabkan adanya variasi kegiatan kampanye. Semestinya, KPU sebagai penyelenggara bisa memberikan informasi yang lebih baik kepada publik, ketika kampanye dibatasi.

"Semestinya, KPU ikut mencetak atribut yang banyak juga, sehingga bisa masuk ke rumah-rumah, atau atribut alat peraga lebih banyak, sehingga menutupi kekurangan di varian kampanye yang lain, seperti kampanye terbatas yang cuma 50 orang dan sebagainya," ucapnya.

Ikrama juga menganggap proses pungut hitung suara tidak memerlukan metode baru. Namun protokol kesehatan ketat wajib hukumnya agar TPS tidak berubah menjadi klaster penyebaran baru. KPU juga perlu memperpanjang waktu pemungutan suara, sehingga bisa menghindari kerumunan yang cukup masif di TPS.

"Hak politik masyarakat ini sama pentingnya dengan hak kesehatan. Karena hanya lewat jalur politik, distribusi keadilan itu kan bisa dicapai, tapi jika tidak ada, tentu otomatis orang yang kalau tidak ada pilkada, bulan Februari sampai September itu, di 270 daerah akan dipimpin oleh seorang Plt yang tentunya secara aturan Plt ini kan terbatas dalam penyelenggaraan negara," tutur Ikrama.

 

***

 

Dalam keadaan normal, tingkat partisipasi publik dalam pilkada cenderung naik turun. Dalam dua pilkada sebelumnya, yakni 2015 dan 2018, memang terjadi kenaikan partisipasi. Namun penyelenggaraan pilkada di masa pandemi memang membutuhkan perhatian khusus.

Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI, Firman Noor, berpandangan bahwa antusiasme publik terkait politik pilkada sebenarnya tidak murni. Sebagian publik menilai pilkada merupakan produk politik pemerintah.

"Belum lagi publik saat ini melihat bahwa pilkada bukanlah sebuah prioritas utama. Kombinasi dari kesemua faktor itu yang menyebabkan penurunan potensi partisipasi itu sangat ada," kata Firman saat dihubungi Ucha Julistian Mone dari GATRA pada Minggu, 18 Oktober 2020.

Firman juga menyoroti pentingnya alternatif dari teknis penyelenggaraan pilkada, baik dalam kampanye dan pungut hitung suara. Ada beberapa solusi menarik yang sebenarnya sering diulang-ulang dalam tiap pilkada, yaitu pemilu elektronik.

Berbeda dengan Ikrama, menurut Firman, e-voting sebenarnya sangat mungkin diterapkan dalam pemilu di Indonesia, terlebih dalam kondisi pandemi. Jika pun ada persoalan seperti kecurangan, hal ini bisa langsung diurus dari dalam sistem. 

"Bahkan di India sifatnya sudah portabel hingga penggunaannya seperti laptop. Intinya, dengan adanya e-voting ini bisa membuat prosesi pemilihan lebih praktis dan tidak menimbulkan kerumunan," Firman menjelaskan.

Bahkan dengan penerapan e-voting, akan memotong biaya penyelenggaraan pemilu. Hal ini karena sistem daring bisa menggantikan semua perkakas pemilihan langsung seperti kertas, tinta, hingga biaya saksi di TPS. "Biaya saksi saja itu sangat mahal. Itu bisa kita potong. Bayangkan, 800.000-an TPS itu kita tidak perlu lagi puluhan saksi, kertas, tinta, dan seterusnya. Itu bisa menghemat biaya hingga triliunan," tuturnya.

Penerapan pilkada elektronik ini sebenarnya sudah memungkinkan untuk diterapkan di beberapa daerah. Bagi Firman, infrastruktur pemilihan secara elektronik sudah siap jika dilihat pada beberapa wilayah penyelenggara, khususnya di Pulau Jawa.

Sayangnya, para kandidat belum melakukan inovasi dan beradaptasi dalam kondisi pandemi. Hampir semua pasangan calon masih menggunakan metode lama layaknya kontestasi politik di masa normal. "Jadi, butuh sebuah inovasi yang lebih atraktif lagi untuk menumbuhkan awareness publik tentang adanya penyelenggaraan Pilkada," ucapnya.

 

Aditya Kirana

 

- - - - - -

 

Kutipan

"Mayoritas pemilih kita tidak menginginkan adanya kepala daerah yang tidak memiliki mandat langsung dari rakyat. Misalnya dipilih DPRD, atau ditunjuk oleh gubernur sebagai Plt, mereka tidak mau seperti itu."

- Sirajuddin Abbas

 

"Publik saat ini melihat bahwa pilkada bukanlah sebuah prioritas utama. Kombinasi dari kesemua faktor itu yang menyebabkan penurunan potensi partisipasi itu sangat ada."

- Firman Noor

 

Infografis

 

Pemilihan lokal di Queensland, Australia, pada 28 Maret 2020, mengalami penurunan partisipasi publik dari 83% menjadi 77,5%.

Pemilihan lokal di Prancis pada 15 Maret 2020, terjadi penurunan partisipasi pemilih dari 63,6% menjadi 44,7%.

Pemilihan legislatif di Iran pada 21 Februari 2020, tingkat partisipasi publik menjadi 42,32% dari pemilihan sebelumnya sebesar 60,09%.

Pemilihan legislatif di Mali pada 29 Maret 2020, partisipasi pemilihnya sangat merosot dari 42,7% menjadi 7,5%.

Pemilu di Singapura pada 15 April 2020, partisipasi tertinggi selama 28 tahun mencapai 66,2%.

 

Sumber: International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) 

 

Infografis 2:

 

Partisipasi Publik pada Pilkada

Pilkada 2015: 70%

Pilkada 2017: 74,20%

Pilkada 2018: 73,24%

 

Sumber: KPU