Sejumlah petinggi KAMI di Medan dan Jakarta ditangkap polisi. Dikaitkan dengan kerusuhan asksi demonstrasi 8 Oktober. Prosedur penangkapan dianggap janggal.
Sepucuk surat disodorkan petugas dari Badan Reserse dan Kriminal Polri kepada Ketua Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Ahmad Yani Senin malam lalu di kantornya, kawasan Matraman, Jakarta. Dalam lembaran kertas itu, diperlihatkan satu bukti yang menunjukkan tangkapan gambar video yang diputar di YouTube.
Konten video yang berisi pernyataan dari salah satu inisiator KAMI, Anton Permana, itu dianggap mengandung konten hasutan dan polisi menyebut narasinya dibuat Ahmad Yani. Yani sendiri membantah tuduhan itu. Ia juga menolak upaya polisi membawanya ke markas mereka, meskipun sudah ada surat penangkapan. Polisi malam itu pun batal menangkapnya, karena tidak bisa menjelaskan pasal-pasal yang dituduhkan.
"Karena saya minta jelaskan apa dasar penangkapan saya, dan mereka polisi tidak bisa jawab," kata Yani. Polisi pun balik kanan, setelah Yani meminta mereka memanggilnya secara resmi untuk diminta keterangan sebagai saksi.
Kedatangan polisi ke tempat Yani, dibenarkan oleh Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Argo Yuwono. Kedatangan personelnya itu, ditujukan untuk menyelidiki kasus aksi berujung rusuh pada 8 Oktober 2020 lalu. Namun, Argo membantah jika pihaknya dikatakan hendak menangkap Yani.
"Enggak ada, kita baru datang dengan komunikasi ngobrol-ngobrol aja. Jadi ngobrol-ngobrol yang bersangkutan bersedia sendiri untuk hari ini hadir ke Bareskrim," kata Argo saat ditemui di Polda Metro Jaya oleh Wartawan GATRA, Erlina Fury Santika pada Selasa, 20 Oktober 2020. Ia juga menambahkan, penahanan petinggi KAMI masih terus dalam pengembangan.
Usaha penangkapan Yani melengkapi aksi polisi yang menerungku orang-orang KAMI. Setelah demonstrasi besar 8 Oktober lalu, Bareskrim Polri menangkap delapan orang petinggi KAMI di dua kota, Jakarta dan Medan.
Juliana (JZ), Devi (NZ), Khairi Amri (KA), dan Wahyu Rasari Putri (WRP) adalah nama-nama KAMI Medan yang ditangkap, sedangkan KAMI Jakarta yang diciduk Polri, yaitu Anton Permana (AP), Syahganda Nainggolan (SN), Kingkin (KA), dan Jumhur Hidayat (JH).
Kedelapan orang ini diduga melakukan penghasutan terkait dengan aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja atau Omnibus Law pada 8 Oktober lalu dan dijerat dengan sejumlah pasal pada UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Argo menyatakan, tak hanya KAMI yang disebut memiliki peran dalam aksi penolakan UU Omnibus Law. Ada kelompok lain di luar KAMI yang juga terlibat dan belum diungkap.
***
Penangkapan terhadap para petinggi KAMI yang dilakukan Polri disesalkan dan diprotes oleh Presidium KAMI, Din Syamsuddin. Proses penangkapan dinilai Din sangat berlebihan. Ketiga orang yang ditangkap dan dijemput ke rumah masing-masing oleh sejumlah personel polisi hingga 30-40 orang. "Ini seperti menangkap teroris. Lalu, langsung digeledah kamar-kamar mereka," katanya saat dihubungi Wartawan GATRA, Ucha Julistian Mone.
Ia juga merasakan adanya kejanggalan saat Syahganda ditangkap. Syahganda ditangkap 13 Oktober pukul 04.00 dini hari, tetapi surat perintah penyidikan (sprindik) terbit entah kapan. Ia menduga, sprindik tersebut baru terbit pada 13 Oktober tengah malam. Selain itu, penangkapan Jumhur dilakukan polisi tanpa adanya surat. "Tanpa surat dan saat itu bilang kepada istrinya, [Jumhur] akan dipinjam untuk memberikan kesaksian," ucap Din.
KAMI, lanjut Din, keberatan dengan materi penangkapan dikenakan pasal UU ITE. Aturan ini bertentangan dengan jiwa konstitusi, yakni kebebasan berpendapat dan berbicara yang sudah dijamin dalam Undang-Undang Dasar (UUD). "[UU ITE] sering dipakai penguasa untuk melabrak lawan-lawan politiknya dan membungkam kaum kritis."
Bukti-bukti yang disampaikan kepolisian pun disebut Din mengada-ada. "Sangat absurd dan rancu. Misal, dalam penangkapan Anton Permana itu yang dijadikan bukti adalah tulisan dan pandangan kritis tentang Polri dan TNI, yang sebetulnya pun sudah banyak dikemukakan oleh berbagai pakar," ujarnya. "Kenapa hanya mereka yang digugat? Apa iya, pemikiran kritis seperti ini bisa dibungkam?”
Lantas, apakah KAMI punya peran besar di balik aksi unjuk rasa yang sempat kisruh? Dalam pernyataan resminya, KAMI menolak tegas disangkutpautkan dengan aksi anarki dalam demonstrasi yang dilakukan sejumlah elemen masyarakat. KAMI hanya mendukung mogok nasional dan unjuk rasa buruh sebagai bentuk aspirasi hak konstitusional.
Din juga memastikan, KAMI secara kelembagaan belum ikut serta. KAMI memberikan kebebasan kepada para pendukungnya untuk bergabung dan membantu pengunjuk rasa atas dasar kemanusiaan. Ia pun menepis tuduhan KAMI terlibat dalam unjuk rasa kemarin.
"KAMI tidak terlibat secara organisatoris dalam aksi tersebut. KAMI belum terlibat, dan juga KAMI itu kan bukan organisasi seperti ormas yang mempunyai massa. Ini salah paham banyak orang. KAMI hanya gerakan moral, tidak terlibat politik kekuasaan, tidak terlibat dalam aksi itu, karena KAMI bukan ormas yang punya anggota," tuturnya.
Mantan Ketua PP Muhammadiyah ini, juga mengatakan KAMI telah menyiapkan tim kuasa hukum kepada para tokoh yang ditangkap. Sejumlah pihak bahkan sudah banyak menawarkan bantuan. "Dan mereka sudah melakukan pendampingan. Langkah lanjutannya, KAMI bisa memperkuat perjuangan," ia menegaskan.
***
Terkait aksi unjuk rasa penolakan Omnibus Law yang berujung rusuh, Juru bicara Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto menegaskan, pihaknya tidak melarang penyuaraan pendapat atau demonstrasi. Namun yang tidak boleh, yaitu jika demo itu dilakukan secara anarki, melanggar batas waktu atau mengganggu ketertiban umum.
"Anarki pasti ada sanksi hukumnya. Sejumlah nama ditangkap polisi, berarti minimal ada dua bukti permulaan yang cukup. Maka setelah P21 akan diserahkan ke kejaksaan guna ditindaklanjuti. Persidangannya pun akan terbuka untuk umum. Kita tetap menggunakan asas praduga tak bersalah. Silakan gunakan alibi atau pengacara biar lebih fair," kata Wawan kepada Wartawan GATRA, Wahyu Wachid Anshary.
Wawan menjelaskan, BIN menyerahkan sepenuhnya masalah hukum kepada penyidik Polri sebagai leading sector tentang keterlibatan siapa pun dalam kasus pidana terkait aksi demo anarki. BIN merupakan Ketua Kominpus (Komite Intelijen Pusat) yang mengoordinasikan seluruh intelijen kementerian/lembaga terkait, jadi selalu tahu perkembangan terkini yang terjadi di berbagai persoalan menyangkut ideologi, politik, dan keamanan, termasuk demo.
"Kalau upaya menggiring ke keributan 1998 sudah diantisipasi oleh aparat keamanan. Kita tidak ingin rusuh 1998 terulang kembali, maka kita terus melakukan konsolidasi bersama seluruh elemen masyarakat. Rata-rata mereka tidak ingin itu terjadi lagi, malu kepada dunia, karena itu bukan peradaban kita. Maka, kita terus melakukan literasi publik agar turut serta bersama-sama menjaga ketertiban umum. Hingga saat ini masih under control," tutur Wawan.
Pengamat Hukum Pidana Universitas Al-Azhar, Suparji Ahmad, mengatakan bahwa dalam melakukan penangkapan, pasti diawali dugaan tindak pidana berdasarkan alat bukti yang cukup. Polri pasti juga sudah memperhitungkan berbagai aspek tersebut agar perkaranya tidak ditolak kejaksaan.
Terkait pengenaan pasal UU ITE yang disangkakan Polri kepada para petinggi KAMI, menurut Suparji, UU ini memiliki lingkup luas, sehingga perbuatan-perbuatan yang seharusnya tidak perlu diperkarakan bisa dijerat dengan UU ITE. "Interpretasi UU ini dapat menjangkau perbuatan-perbuatan yang seharusnya tidak perlu diproses secara hukum, karena terlalu luas," ucapnya.
Namun, ia sepakat jika polisi memiliki cukup bukti untuk menjerat pelaku yang terlibat harus diusut dengan jelas dan ditindak tegas. "Kalau memang ada bukti yang cukup, siapa yang terlibat di lapangan, aktor intektualnya harus diungkap secara jelas agar konstruksinya komprehensif. Kita tunggu kejelasan motifnya, apa iya hanya sekadar menolak UU Ciptaker atau ada motif lain," ujarnya lagi.
Fitri Kumalasari