Home Laporan Khusus Jebakan Batman Uji Materi UU Ciptaker

Jebakan Batman Uji Materi UU Ciptaker

Penolakan UU Cipta Kerja terus berlanjut. Undang-undang ini dinilai cacat prosedur dan hukum. Di tengah penolakan aparat hukum memburu dalang aksi anarkis.


Gelombang massa aksi 1310 Omnibus Law yang diinisiasi PA 212 perlahan-lahan mulai memadati area Patung Kuda Arjuna Wijaya, Jakarta Pusat, sekitar pukul satu siang, Selasa lalu. Sang orator dari mobil komando berteriak lantang menentang UU Cipta Kerja. Suara tepuk tangan massa pun langsung menyambut. Kemudian, alunan selawat pun mulai bergemuruh—dilantunkan untuk "merukiah" Istana Negara. "Bukankah Pak Jokowi rindu didemo?" kata seorang orator, dan massa kompak tergelak.

Dua jam berselang, massa dari kalangan mahasiswa—dari berbagai almamater, pelajar, dan masyarakat umum mulai berdatangan dari tiga penjuru: Jalan M.H. Thamrin, Jalan Merdeka Selatan, dan Jalan Budi Kemuliaan. Tak perlu waktu lama, kawasan patung kuda pun menjadi lautan manusia.

Selang beberapa lama, pukul 15.45 WIB, aparat kepolisian mulai meminta massa untuk segera membubarkan diri. Tapi massa menolak. Dari pantauan Gatra, mereka justru semakin mendesak ke arah Gedung Sapta Pesona di Jalan Merdeka Barat, yang menjadi pertahanan utama aparat untuk menghalau massa menuju Istana. Bentrokan pun akhirnya pecah. Keadaan semakin memanas.

Di tengah aksi demonstrasi, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri mengumumkan bahwa pihaknya telah menangkap delapan anggota dan petinggi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). "Di Medan KAMI (empat orang) dan Jakarta (empat orang)," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri, Brigadir Jenderal Awi Setiyono, kepada wartawan, Selasa lalu.

Delapan nama yang ditangkap tersebut terkait dengan dugaan pelanggaran UU ITE dan pasal penghasutan yang menyebabkan demo omnibus law menjadi anarkis. Dari Medan di antaranya ada nama Juliana, Devi, Wahyu Rasari Putri, dan Khairi Amri (Ketua KAMI Medan). Kemudian di Jakarta ada Anton Permana (deklarator KAMI), Syahganda Nainggolan (anggota Komite Eksekutif KAMI), Jumhur Hidayat (deklarator KAMI), dan Kingkin Anida—mantan caleg PKS pada pemilu 2019 lalu.

***

Sejak disahkannya UU Cipta Kerja pada 5 Oktober silam oleh DPR, gerakan penolakan masih terus berlanjut oleh beragam elemen masyarakat. Namun, bagi anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Arteria Dahlan, dirinya sangat memahami jika hal tersebut akan menjadi pro dan kontra.

Arteria mengaku prihatin atas terjadinya demo anarkis yang berlangsung di beberapa kota di Indonesia pasca DPR mensahkan UU Cipta Kerja. Bagi Arteria tindak anarkisme itu terindikasi disengaja untuk menimbulkan kericuhan. "Itu kan bukan demonstrasi, tapi sudah jadi aksi anarkis," katanya kepada Muhammad Guruh Nuary dari Gatra.

Ia juga meyakini bahwa dalang-dalang di balik ini semua sudah dikantongi oleh polisi dan pihak intelijen. Sayangnya, Arteria enggan menyebut nama. “Ada dalangnya, dan sudah ada namanya sudah ada di teman-temen polisi dan intel. Ya, saya hanya mengonfirmasi apa yang disampaikan oleh Pak Menko Perekonomian. Kita tinggal tunggu saja siapa yang mendalangi ini semua. Kepolisian harus tegas, DPR mendukung penuh kok," ujarnya.

Arteria berharap pihak yang kontra dengan pengesahan UU Cipta Kerja tidak perlu terlalu reaktif. "Kalau belum sempurna itu pasti, masih ada ruang untuk menyempurnakannya melalui materi muatan dalam rumusan norma di Peraturan Pemerintah dan peraturan-peraturan teknis lainnya," ucapnya.

Kalaupun masih tidak puas, sudah tersedia kanal konstitusional dengan mengajukan permohonan uji materil UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK). "Jadi bukan mendorong Presiden menerbitkan Perppu. Kalau itu tuntutannya kan sangat tidak logis," ucapnya.

Anggota DPR RI dari PKS yang juga anggota Panja UU Cipta Kerja, Ledia Hanifa, mengatakan bahwa penolakan fraksinya terhadap UU Cipta Kerja dan keluarnya mereka dari ruang Baleg dan Paripurna bukan berarti juga aktif dalam menurunkan massa untuk demonstrasi.

Ia mengatakan bahwa partainya tak seperti apa yang dituduhkan banyak pihak. "Hentikan sesat pikir seperti itu. Menolak tidak berarti menyebarkan hoaks. Menolak tidak berarti sudah pasti menggerakkan aksi. Jika mengembangkan kesesatan pikir seperti itu kapan kita akan matang berdemokrasi?" Ledia menambahkan.

Sementara itu, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ade Irfan Pulungan, mengatakan bahwa uji materi adalah cara terhormat yang dilakukan perorangan atau kelompok masyarakat jika menentang UU Cipta Kerja. "Uji materi itu hak konstitusi setiap warga negara. Negara enggak bisa menghalangi itu," kata Ade kepada Dwi Reka Barokah dari Gatra.

Ade memastikan pemerintah siap mengikuti putusan MK jika nantinya permintaan pemohon dikabulkan. "Kalau MK mengeluarkan keputusan terhadap UU yang diujimaterikan, semua harus mematuhi dan mengikutinya," ujarnya.

Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar, mengatakan bahwa gagasan untuk menguji materi omnibus law UU Cipta Kerja ke MK merupakan satu ide yang telah diperhitungkan oleh negara. Semuanya, kata Haris, sudah diukur. "Mereka juga sudah memikirkan bagaimana berargumentasi di MK. Jadi ke MK-nya sendiri itu sebagai sesuatu yang sudah dikondisikan. Itu bagian dari satu idenya presiden," kata Haris kepada Muhammad Almer Sidqi dari Gatra, Selasa lalu.

Menurutnya, omnibus law merupakan gagasan Presiden Jokowi dan pihaknya sadar bahwa UU tersebut bukan hanya "menang" di DPR, melainkan juga teruji di MK. "Memang komposisinya memungkinkan untuk MK bisa masuk ke dalam prakondisi itu. Masing-masing hakim di MK juga punya "keterkaitan" kepentingan. Masalahnya bukan di MK-nya, tetapi adalah presiden mengooptasi MK melalui revisi UU MK," Haris menjelaskan.

***

Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos, mengatakan sejak awal penyusunan Undang-Undang Cipta Kerja sudah cacat prosedur dan hukum. Sebab, dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan adanya pelibatan partisipasi publik, keterbukaan, daya guna, dan hasil guna. “Dari hal itu kemudian kita tahu draf yang diajukan oleh pemerintah ke DPR sejak dari awal memang banyak tidak melibatkan partisipasi publik," katanya kepada wartawan Gatra Ryan Puspa Bangsa.

Nining juga menyayangkan adanya pernyataan dari pemerintah yang menyebut massa aksi unjuk rasa pada 6-8 Oktober lalu telah termakan berita bohong atau hoaks. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan KASBI, dengan membandingkan draf RUU Cipta Kerja pertama yang diserahkan pemerintah pada DPR dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, banyak aturan-aturan yang diubah mengarah pada liberalisasi. "Betul kok UU Ciptaker ini meliberalisasi semua sektor. Contohnya Pasal 59 pada saat itu tentang PKWT dan alih daya atau outsourcing. Dalam UU 13/2003 ada batasannya, tapi di UU Ciptaker itu dihilangkan," Nining menjelaskan.

Karena itulah, KASBI bersama Gerakan Buruh Bersama Rakyat serta 15 aliansi di berbagai wilayah akan terus melakukan berbagai aksi unjuk rasa hingga UU Cipta Kerja ini dibatalkan. Bahkan, aksi unjuk rasa akan kembali dilakukan pada 20-22 2020 mendatang bertepatan dengan peringatan satu tahun pelantikan presiden dan wakil presiden Jokowi-Ma’ruf.

Pihaknya dengan tegas menyebut tidak akan melakukan judicial review (JR). Lantaran, menurut Nining, MK saat ini telah menjadi bagian dari struktur kekuasaan. Selain itu, proses penyusunan UU Ciptaker ini juga cacat prosedur dan cacat hukum sehingga dinilai tidak layak untuk disahkan apalagi disidangkan dalam JR.

Pakar hukum tata negara Feri Amsari menilai, pemerintah dan DPR terlalu memaksakan kehendak pengesahan omnibus law. Padahal, sudah didemo ribuan massa di berbagai daerah di Tanah Air. Apalagi, UU ini dinilai cacat dan lebih mementing korporat dibandingkan dengan kepentingan rakyat. "Jika tidak mendengar suara rakyat, bukti pemerintah tidak butuh rakyat dan DPR tidak bisa mewakili rakyat," katanya kepada Gatra.

Menurut Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas (Unand) ini, penolakan itu dilakukan karena setidaknya ada dua hal fatal. Pertama, cacat secara pembentukan, yakni model omnibus law yang merevisi banyak undang-undang dalam satu undang-undang tidak sesuai dengan ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan UU dan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Peraturan Perundang-undangan.

Kemudian kedua, cacat secara materi pada pasal-pasal yang ada. Hal ini dikarenakan tidak adanya asas prosedur keterbukaan dalam pembentukan UU tersebut. Apalagi, sejak awal pembentukan terkesan ditutup-tutupi, dan tiba-tiba disahkan. Akibatnya, tidak jelas draf UU yang aslinya. "Padahal partisipasi publik pada pasal 96 menjadi keharusan pembentukan UU. Lah, omnibus law ini bagaimana publik bisa berpartisipasi jika tertutup dan drafnya saja belum ada," sebut Feri.

Jika pada akhirnya aksi massa tidak bisa mengetuk hati pemerintah dan DPR, memang bisa melalui JR ke MK. "Hanya saja, jalur tersebut merupakan jebakan batman Presiden Jokowi, karena MK sendiri telah lebih dulu disogok dengan perpanjangan masa jabatan 15 tahun," ujarnya.

Gandhi Achmad dan Wahyu Saputra (Padang)