Akademisi menemukan sejumlah pasal "selundupan" dalam UU Cipta Kerja. Yang bermasalah dalam pembahasan RUU Pertanahan, masuk UU Ciptaker lewat jalur cepat. Klaster pendidikan membingungkan?
"Aneh bin ajaib! Untuk subtansi pertanahan tidak ada satu pun undang-undang dalam rumusannya yang diubah. Jadi apa yg disederhanakan?" ujar guru besar Fakultas Hukum UGM, Maria S.W. Sumardjono.
Yang ia soal adalah klaster pertanahan dalam UU Cipta Kerja versi 905 halaman. Berbeda dengan klaster lain yang selalu memasang UU mana yang direvisi, di pertanahan ini tidak ada satu pun UU yang dipasang, diacu lalu diubah. Dari sisi pembentukan saja, menurut Maria, omnibus law itu sudah cacat formil.
Setelah melakukan kajian atas salah satu draf yang simpang siur itu, Maria menemukan bahwa subtansi klaster pertanahan merupakan isu-isu bermasalah yang diselundupkan dari RUU Pertanahan. RUU ini masuk Program Legislasi Nasional 2020-2021, hanya saja pembahasannya ditunda. "Jadi isu-isu krusial di dalam RUU Pertanahan yang tak terselesaikan, diselundupkan mentah-mentah di dalam Cipta Kerja. UU ini tidak menyederhanakan tapi mengambil alih subtansi dari RUU yang bermasalah. Harapannya kan ditolak di sana, diselundupkan di sini," katanya.
Ia mencatat ada empat isu besar yang disempilkan dari RUU Pertanahan yaitu penguatan hak pengelolaan, kepemilikan rusun untuk warga negara asing (WNA), pemberian hak atas tanah di bawah tanah, dan ruang udara di atas tanah. Namun, karena pasal kontroversial sudah diakomodasi melalui jalur kilat omnibus law, maka pembahasannya sudah pasti dikeluarkan dari RUU Pertanahan.
Selain soal agraria, Cipta Kerja juga dinilai mengabaikan perlindungan dan kelestarian lingkungan. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mencatat dua sumber masalah dalam UU ini yang dinilai mengancam keutuhan lingkungan hidup. Pertama, direduksinya sejumlah norma terkait pertanggungjawaban hukum korporasi. Salah satunya, mencabut kewajiban atau tanggung jawab terhadap kebakaran hutan dalam UU Kehutanan.
Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Eksekutif Nasional Walhi, Wahyu Perdana, mengatakan ketentuan tersebut sempat hilang dalam beberapa draf RUU. Ia melihat ada upaya mengkebiri proses penegakan hukum terkait perlindungan lingkungan hidup.
Tak hanya itu, ruang partisipasi publik dalam jalur peradilan juga dilu,puhkan. Hanya orang yang terdampak langsung dari kerusakan lingkungan yang bisa mengajukan gugatan. Padahal, hal ini sebelumnya dijamin dalam Pasal 40 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). "Dahulu masyarakat yang punya komplain itu bisa melakukan proses gugatan kepada pengadilan tata usaha negara ketika itu hilang turut hilanglah kemudian hak gugat warga negara," ungkap Wahyu kepada wartawan Gatra Dwi Reka Barokah.
Masalah kedua, terancamnya keberlangsungan hutan karena UU ini menghapus batas minimum kawasan hutan dan daerah aliran sungai (DAS). Batas maksimum perkebunan juga hilang. Wahyu menyitir data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2019, yang melaporkan lebih dari 2 juta hektare perkebunan sawit berada dalam kawasan hutan tidak sah. "Masa kemudian tindakan ilegal dan bertentangan dengan hukum seperti itu justru dianulir," ujarnya.
Meski sudah disahkan DPR, Walhi tetap akan berupaya membatalkan undang-undang sapu jagat ini. Namun, langkah uji materi tak dipilih karena jalur litigasi ini dimentahkan UU MK baru, UU Nomor 7/2020 tentang MK. Wahyu mempersoalkan ketentuan yang menyebut DPR atau pemerintah tidak lagi memiliki kewajiban menindaklanjuti putusan MK. Padahal dalam regulasi sebelumnya, Pasal 59 ayat (2) UU Nomor 8/2011 tentang MK berbunyi DPR dan presiden segera menindaklanjuti putusan MK jika diperlukan perubahan terhadap UU yang telah diuji.
Meskipun tafsir publik tersebut telah dibantah oleh MK, Walhi telah menyusun langkah penolakan dengan berdemonstrasi dan mogok kerja. Kata Wahyu, cara ini juga merupakan langkah konstitusional. Harapannya, Jokowi akan mencabut UU usulan pemerintah tersebut dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). "Mencabut UU lewat Perppu itu sudah pernah terjadi pada masa Habibie, jadi artinya bukan pertama kali dilakukan oleh presiden," ujarnya.
Persoalan juga muncul terkait pasal-pasal sisipan juga ditemukan di klaster pendidikan, yang diklaim pemerintah sudah dikeluarkan dari Cipta Kerja. Betul dikeluarkan, tetapi tidak semuanya.
Awalnya, sejumlah UU pendidikan dimasukkan ke UU Omnibus Law Cipta Kerja untuk diubah, ditambah, bahkan dihapuskan. UU tersebut antara lain UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sidiknas), UU Nomor 12 tentang Pendidikan Tinggi (Dikti), UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen, serta UU Nomor 20/2012 tentang Pendidikan Kedokteran.
Penolakan kencang juga terdengar dari para praktisi, pemerhati pendidikan, hingga politisi Senayan. Mereka menilai draf UU sapu jagat yang diusulkan dan dibuat pemerintah itu berujung komersialisasi pendidikan. Kelompok ini mendesak klaster pendidikan dihapus dari omnibus dan dikembalikan menjadi UU tersendiri.
Dalam perjalanannya, klaster pendidikan dihapuskan tetapi ternyata masih ada yang diselipkan. Ada Pasal 65 yang mengatur perizinan sektor pendidikan dilakukan melalui perizinan berusaha, yang diatur Peraturan Pemerintah (PP). Selain itu, pada Bab IX yang mengatur Kawasan Ekonomi terdapat Pasal 3 yang menyebutkan pendidikan tergolong kegiatan usaha yang di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), sama seperti aktivitas ekonomi lain. Diatur pula persetujuan kegiatan usaha pendidikan di wilayah adalah kewenangan pemerintah pusat.
Jokowi tegas membantah bahwa Cipta Kerja akan mendorong komersialisasi pendidikan. UU ini hanya mengatur pendidikan formal di KEK. Pernyataan presiden tak membuat Ki Darmaningtyas puas. Pemerhati pendidikan dari Perkumpulan Keluarga Besar Tamansiswa (PKBT) melihat dalam Pasal 65 tidak dijelaskan kekhususan tersebut. "Kalau orang baca pasal undang-undangnya seperti itu, maka itu generik untuk seluruh pendidikan di mana pun. Jadi siapa yang hoaks itu? Kalau membaca pasal seperti itu, berarti substansinya memang seperti itu," katanya kepada wartawan Gatra M. Almer Sidqi dari Gatra.
Menurutnya, keberadaan Pasal 65 menunjukkan pemerintah secara legal dan formal membolehkan pendidikan menjelma sebagai badan usaha yang berorientasi mencari laba. PKTB berencana mengugat pasal-pasal tentang pendidikan dalam omnibus ke MK.
Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) mengawal terus penyusunan UU ini. Federasi bahkan membentuk Tim Kajian Akdemis RUU Cipta Kerja. Anggota Tim, Halimson Redis menilai regulasi baru ini menghendaki sentralisasi pendidikan. Pasalnya, semua perizinan menjadi kewenangan pemerintah pusat.
FGII melihat Sikap keukeuh pemerintah memasukkan Pasal 65 seolah menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan. Sektor pendidikan disamakan denhan sektor industri. Padahal, lembaga pendidikan mencetak SDM yang mempunyai keterampilan hidup. "Substansinya berbeda, UU Cipta Kerja itu membuka lapangan usaha, sementara lapangan usaha berkaitan dengan produk. Guru itu tidak menghasilkan produk," kata Halimson kepada Wahyu Wachid Anshory dari Gatra.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyerap aspirasi pemangku kepentingan sektor pendidikan untuk mengeliminasi klaster pendidikan di omnibus law. Pertimbangannya, pendidikan merupakan amanah konstitusi dan memang semestinya diatur dalam UU tersendiri, yang digagas secara komprehensif sebagai barang publik. Dengan dikeluarkannya UU terkait pendidikan, otomatis prinsip-prinsip yang diatur dalam UU pendidikan terhadulu masih berlaku.
"Misalnya prinsipnya harus nirlaba, keharusan berdasar pada nilai budaya bangsa, dan seterusnya. Jadi, tidak dilakukan melalui sistem perizinan berusaha yang diatur dalam UU Ciptaker tersebut,” kata Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dikti) Kemendikbud, Nizam.
Ia membenarkan ada pengecualian untuk KEK. Pasalnya, setiap perizinan di KEK memerlukan perizinan khusus sehingga pendidikan dimasukkan. Meski begitu, Nizam memastikan nantinya perizinan ini akan berbeda dengan perizinan usaha komersial. Aturan teknisnya akan dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah (PP). "Untuk prinsip, seperti harus nirlaba dan berlandaskan nilai budaya bangsa, tetap tidak berubah. Hanya peraturan pendirian KEK lebih detail bagaimananya itu di luar kompetensi saya,” ujarnya kepada wartawan Gatra Ucha Julistian Mone.
Nizam bercerita, perizinan pendidikan di KEK sudah didengungkan sejak pertengahan 2016. Kala itu, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Mohamad Nasir, mewacanakan membuka KEK khusus di bidang pendidikan. Ini membuka peluang didirikannya kampus asing di dalam negeri. Universitas asing boleh beroperasi di Indonesia namun memenuhi persyaratan yang diatur UU Dikti, yaitu memperoleh izin pemerintah, berprinsip nirlaba, bekerja sama dengan perguruan tinggi Indonesia, dan mengutamakan dosen dan tenaga kependidikan lokal.
Dalam pandangan Nizam, apa yang diatur dalam pada Pasal 65 UU Cipta Kerja akan selaras dengan konsep Menteri Nasir. "Tentunya sangat baik kalau kita bisa menyediakan akses pendidikan tinggi berkualitas bagi anak-anak kita. Daripada mereka harus kuliah ke luar negeri dengan biaya yang pastinya sangat mahal," ia menjelaskan.
Putri Kartika Utami