RUU Omnibus Law Perpajakan dilebur dalam UU nomor 2 tahun 2020 dan UU Omnibus Law Cipta Kerja klaster Perpajakan. Bisa berdampak negatif jangka pendek berupa penurunan penerimaan pajak.
Tidak semua pengusaha bersorak gembira atas pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang-undang (UU) Cipta Kerja atau UU Nomor 2 Tahun 2020. Pebisnis sektor batu bara, misalnya, malah jadi resah. Dengan beleid ini, pemerintah dan DPR memutuskan bahwa komoditas batu bara tidak lagi termasuk ke dalam salah satu jenis barang bebas pajak pertambahan nilai (PPN).
Hal ini tertuang dalam Pasal 4A (2) perubahan UU Nomor 42/2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang menjadi bagian dari Pasal 112 Omnibus Law. "UU ini menegaskan bahwa batu bara sebagai barang kena pajak," ujar Menteri Keuangan, Sri Mulyani, saat memberikan keterangan resmi ke awak media secara daring, Kamis, 8 Oktober 2020.
Dikutip dari laman situs resmi Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), sejumlah pengusaha menyatakan masih menunggu draf final untuk bisa merespons terkait kebijakan baru tersebut. Direktur Eksekutif APBI, Hendra Sinadia, menduga pengenaan PPN ini bisa jadi karena pemerintah ingin meningkatkan penerimaan negara dari perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) yang akan diperpanjang menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
"Mungkin ingin memastikan agar penerimaan negara dari perusahaan pemegang PKP2B yang akan diperpanjang izinnya menjadi lebih besar sesuai amanat UU Minerba. Mungkin, ya," ujar Hendra.
Beleid yang sering juga disebut aturan sapu jagat, yang diketok palu pada Senin, 5 Oktober 2020 silam itu, terdiri dari 11 klaster. Selain itu, ada pula empat UU tambahan yang ikut disertakan di dalam UU Cipta Kerja, yakni aturan mengenai perpajakan yang sebelumnya akan dibuat menjadi omnibus law bidang perpajakan.
Masuknya empat peraturan perpajakan ke dalam UU Cipta Kerja mengundang pertanyaan tersendiri bagi berbagai pihak. Sebelumnya, pemerintah berencana membuat dua macam omnibus law, yakni Cipta Kerja dan Perpajakan.
Tidak hanya itu, dalam prosesnya, DPR juga tidak membuka pembahasan mengenai peraturan perpajakan ini. Akhirnya, banyak pihak yang kemudian menyebut peraturan perpajakan yang terdapat di dalam UU Cipta Kerja ini sebagai peraturan siluman.
Kemenkeu menampik kritik itu. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Febrio Kacaribu, berkata bahwa poin penting RUU Omnibus Law Perpajakan sudah masuk dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disahkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020. Sisanya, akan ditampung dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja.
"Tentang pajak, tidak ada yang hilang. Semuanya masuk ke Omnibus Law Cipta Kerja Klaster Perpajakan. Kami hemat energi dan waktu karena suasana lagi susah," ujar Febrio.
Pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center (DTCC), Bawono Kristiaji, menambahkan bahwa pada dasarnya, klaster perpajakan ini relevan dengan situasi ekonomi Indonesia terkini dan dalam jangka menengah. Usai pandemi nanti, ada dugaan bahwa setiap negara akan berlomba-lomba untuk menarik investasi, meningkatkan daya saing, serta memulihkan ekonomi. "Salah satunya melalui instrumen pajak," kata Bawono kepada Ucha Julistian Mone dari GATRA.
Ada empat UU Perpajakan yang terdapat di dalam UU Nomor 2/2020, yaitu: UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), serta UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Namun pemerintah tidak jadi mengikutsertakan UU PDRD ke dalam UU Cipta Kerja.
Kemenkeu belum bersedia menjelaskan mengenai alasan apa yang menjadi latar belakang tidak jadi dimasukkannya poin tersebut ke dalam beleid sapu jagat. "Terus terang, saya belum bisa pastikan," kata Febrio, seperti dilaporkan Qanita Azzahra dari GATRA.
Sebelum memasukkan aturan tentang PDRD, pemerintah harus melakukan pembahasan lebih dalam terkait dampak yang mungkin ditimbulkan dari implementasi tarif pajak dan retribusi daerah ini. Mengingat pemerintah memiliki peranan besar dalam mengalokasikan program transfer dana ke daerah dan dana desa (TKDD) di dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
***
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memaparkan lebih lanjut terkait tujuan dari adanya klaster perpajakan dalam UU Cipta Kerja. Salah satunya, untuk meningkatkan pendanaan investasi karena akan berimplikasi pada perbaikan pertumbuhan ekonomi.
"Kemudian terkait bagaimana pajak sebagai instrumen fiskal, instrumen untuk mendorong dan meningkatkan perekonomian. Kebetulan di 2020 kita di situasi pandemi Covid-19 yang sangat luar biasa," kata Dirjen Pajak, Suryo Utomo.
Untuk mencapai tujuan ini, terdapat lima kebijakan yang dibentuk dalam klaster perpajakan, yaitu penghapusan PPh atas dividen dari dalam negeri dan penghasilan tertentu termasuk dividen-dividen dari luar negeri tidak dikenakan PPh sepanjang diinvestasikan di Indonesia.
Kemudian juga ruang untuk penyesuaian tarif PPh Pasal 26 atas bunga, penyertaan modal dalam bentuk aset atau inbreng tidak terutang PPN, non-objek PPh atas bagian laba/SHU koperasi, serta dana haji yang dikelola BPKH.
Lima kebijakan klaster perpajakan, kata Suryo, ditunjang oleh dua kebijakan perpajakan yang telah tertuang dalam UU Nomor 1/2020. Pertama, berupa penurunan tarif PPh Badan secara bertahap 22% pada 2020 dan 2021 serta 20% pada 2022. Kedua, penurunan tarif PPh Badan Wajib Pajak Go Public tarif umum minus 3%.
Dihubungi terpisah, Staf Khusus Menkeu, Yustinus Prastowo, mengatakan bahwa UU Cipta Kerja akan memberikan dampak negatif jangka pendek bagi perekonomian nasional, yakni shortfall atau potensi penerimaan pajak yang gagal dicapai pemerintah. Namun, pihaknya enggan menyebutkan berapa besar shortfall. "Shortfall itu karena adanya pajak dividen yang dikurangi dari kemarin 10% untuk orang pribadi menjadi nol persen. Untuk badan juga sama," ucapnya.
Febrio juga enggan mengungkapkan berapa dalam shortfall pajak nasional pada tahun ini. Namun, ia memastikan bahwa penerimaan pajak akan kembali seperti sedia kala setelah satu hingga dua tahun. Jika tidak, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan makin tinggi. Pada akhirnya, utang negara juga akan makin membengkak dan membuat suku bunga ikut mengalami peningkatan. Padahal kondisi itu tidak sehat bagi perekonomian nasional.
Data Kemenkeu menunjukkan shortfall 2019 mencapai Rp245,5 triliun. Hal tersebut lantaran realisasi penerimaan pajak hanya Rp1.332,1 triliun atau 84,4% dari target Rp1.577,6 triliun. Jika dibandingkan 2018, shortfall itu naik dua kali lipat. Sepanjang 2018, realisasi penerimaan pajak, yakni 92,4% dari target, dengan shortfall Rp108,1 triliun. Melebarnya shortfall tersebut memperburuk kinerja perpajakan dalam lima tahun terakhir dan mencatatakan Indonesia sebagai negara yang gagal mencapai target pajak 11 tahun berturut-turut.
Bawono mengiyakan kemungkinan terjadinya shortfall itu. Akan tetapi, terlepas dari adanya UU Cipta Kerja, pada dasarnya penerimaan pajak sudah sangat tertekan oleh pandemi. "Dengan berbagai pengaturan pajak dalam UU Cipta Kerja justru bisa bersifat membuat ekonomi pulih lebih baik, menciptakan tax base baru, serta meningkatkan kepatuhan sukarela dari Wajib Pajak (WP). Semuanya itu merupakan modal untuk optimalisasi penerimaan di kemudian hari," tuturnya.
***
Ketua Komite Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Siddhi Widyaprathama, mengatakan bahwa dalam jangka sangat pendek, bisa jadi ada penurunan tarif penghasilan dari 25% ke 22%.
Namun harus diingat, ketentuan-ketentuan perpajakan di UU Cipta Kerja tidak hanya semata penurunan. Ia mencontohkan perluasan basis pajak, seperti kewajiban mencantumkan identitas pembeli barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP) yang harus dicantumkan dalam faktur pajak diperjelas.
Hal tersebut menjadi bagian dari perubahan UU PPN yang dimuat dalam UU Cipta Kerja. Setidaknya ada empat pasal dalam UU PPN yang mengalami perubahan. Jika dibandingkan antara PPh, PPN, KUP, PDRD, maka yang diperkirakan paling berefek positif dalam jangka pendek adalah PPh. Dengan kata lain, aspek aturan baru PPh ini bisa membantu pengusaha terdampak pandemi.
Walaupun memang untuk beberapa sektor jenis usaha, penurunan PPh 3% itu tidak berarti karena penurunan omzet usahanya jauh lebih besar, ada yang lebih dari 50%, bahkan ada yang gulung tikar. Namun Siddhi mengaskan hal itu yang setidaknya paling membantu.
"Relaksasi PPN itu juga membantu. Sinkronisasi harmonisasi pajak daerah juga bagus, tapi ini semua peraturan turunannya Perppu, Permenkeu, Peraturan Dirjen Pajak belum keluar. Ini yang perlu segera diupayakan secara serius supaya segera berjalan, sehingga pelaksanaan di lapangan tidak timbul sengketa," tutur Siddhi kepada Wahyu Wachid Ansori dari GATRA.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan akan mendengarkan masukan dari masyarakat dalam membuat aturan turunan UU Cipta Kerja. Aturan turunan itu, yakni Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Pemerintah (PP). Mantan Wali Kota Solo ini menyebut Perpres dan PP akan diselesaikan dalam waktu tiga bulan sejak Cipta Kerja diundangkan.
Flora Libra Yanti