Home Laporan Khusus Bikin Gelisah Para Pekerja

Bikin Gelisah Para Pekerja

Omnibus Law Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan paling banyak menarik perhatian dibanding ketentuan lain yang masuk ke beleid sapu jagat ini. Pemerintah berniat lindungi pekerja, sedangkan para buruh merasa diberangus haknya. 


Kekhawatiran pemutusan hubungan kerja (PHK) massal menyelimuti para buruh di Sukoharjo, Jawa Tengah, seiring dengan pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.

Ketua Forum Peduli Buruh (FPB) Sukoharjo, Sukarno, mengatakan bahwa sejak awal, kalangan buruh dan serikat pekerja menolak RUU Cipta Kerja. Bahkan pihaknya sudah meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menghentikan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja karena sangat merugikan buruh.

Namun, kenyataannya, rancangan itu kini sudah ditetapkan menjadi UU. Muncul kegelisahan para buruh, mereka sewaktu-waktu bisa di-PHK secara besar-besaran akibat melemahnya ekonomi karena pandemi. "Kami berharap ini menjadi perhatian bersama pemerintah pusat dan DPR," ucap Sukarno, seperti dilaporkan Dhessy Wulandari dari GATRA, Selasa pekan lalu.

Klaster Ketenagakerjaan dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dijelaskan di pasal 82. Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziah, memaparkan bahwa UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan isinya mengubah, menghapus, dan menetapkan pengaturan baru di beberapa ketentuan yang diatur dalam beberapa undang-undang. Seperti UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional dan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

"Ini saya baca karena UU ini dimaksudkan untuk memberikan penguatan perlindungan kepada tenaga kerja dan meningkatkan peran dan kesejahteraan pekerja atau buruh dalam mendukung ekosistem investasi," Ida memaparkan dalam konferensi pers bersama menteri lainnya pada 7 Oktober 2020, seperti dilaporkan Ryan Puspa Bangsa dari GATRA.

Menurut Ida, telah terjadi beberapa pemelintiran isi dari klaster ketenagakerjaan yang berkembang di masyarakat. Oleh karena itu, ia merasa perlu memberikan penjelasan. UU Cipta Kerja, katanya, mengatur perlindungan tambahan berupa kompensasi pekerja atau buruh pada saat berakhirnya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Artinya, ketentuan dan syarat-syaratnya tetap sama sebagaimana diatur di UU Nomor 13 Tahun 2003. Pembaruannya, ada tambahan berupa kompensasi bagi pekerja atau buruh pada saat berakhirnya PKWT.

Syarat dan perlindungan hak bagi pekerja atau buruh dalam kegiatan alih daya atau outsourcing juga masih tetap dipertahankan. UU Cipta Kerja juga memasukkan prinsip pengalihan perlindungan hak bagi pekerja atau buruh apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya sepanjang objek pekerjaannya masih ada.

Di samping itu, dalam rangka pengawasan terhadap perusahaan alih daya, UU Cipta Kerja juga mengatur syarat-syarat perizinan terhadap perusahaan alih daya yang terintegrasi dalam sistem one single submission (OSS). "Jadi bisa terkontrol. Mungkin, selama ini banyak perusahaan outsourcing yang tidak terdaftar. Dengan adanya UU ini, kita bisa melakukan pengawasan dengan baik karena harus terdaftar dalam sistem OSS," kata Ida.

Ketentuan mengenai waktu kerja dan waktu istirahat juga jadi perhatian Ida. Menurutnya, ada banyak sekali distorsi soal ini. Padahal ketentuan itu tetap diatur sebagaimana UU nomor 13 tahun 2003 lalu ditambah ketentuan baru mengenai pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat pada perusahaan dan sektor usaha dan pekerjaan tertentu. 

UU Cipta Kerja juga diklaim Ida masih mengatur hak-hak dan perlindungan upah bagi pekerja dan buruh sebagaimana UU 13/2003 dan Peratutan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015. "Jadi, banyak yang berkembang bahwa upah minimum dihapus. Jadi, upah minimum ini tetap kita atur, kemudian ketentuannya tetap mengacu UU 13/2003 dan PP 78/2015. Ketentuan mengenai UMK juga tetap dipertahankan," ujar Ida.

Hal lainnya, soal perlindungan bagi pekerja atau buruh yang menghadapi PHK, UU Cipta Kerja juga dikatakannya tetap mengatur ketentuan dan tata cara PHK. Pemangkasan syarat dan tata cara PHK, seperti isu yang bergulir, dibantah oleh Ida. Kemudian dalam rangka memberikan jaminan sosial bagi pekerja atau buruh yang mengalami PHK, UU Cipta Kerja mengatur ketentuan mengenai program jaminan sosial kehilangan pekerjaan yang manfaatnya berupa uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja.

"UU ini lebih memberikan kepastian bahwa hak pesangon itu diterima oleh pekerja atau buruh dengan adanya skema di samping pesangon yang diberikan oleh pengusaha, pekerja mendapatkan jaminan kehilangan pekerjaan yang tidak dikenal dalam UU 13," tutur Ida.

Ketika seseorang mengalami PHK, lanjut Ida, ia tetap diberi cash benefit. Selain itu, ia juga akan mendapatkan akses kerja yang akan di-manage oleh pemerintah. "Hal-hal baru ini, konteksnya adalah memberikan perlindungan kepada para pekerja dan lebih memastikan perlindungan itu melalui skema jaminan kehilangan pekerjaan," katanya.

***

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, ingin meluruskan tudingan hoaks dari pemerintah setelah beredarnya 12 poin pasal yang merugikan buruh di Omnibus Law UU Cipta Kerja. Iqbal mengakui, memang upah minimum masih ada. Namun, saat ini istilahnya menjadi UMP dan UMK Bersyarat. "Nah, yang dimaksud UMK bersyarat ini kita belum jelas," ucap Iqbal pada Senin lalu, seperti dilaporkan Erlina Fury Santika dari GATRA.

Iqbal menolak diksi UMK Bersyarat. Acuannya adalah Konvensi ILO Nomor 133 yang menyebutkan bahwa upah minimum adalah safety net. Artinya, ketentuan upah oleh negara itu bertujuan melindungi para pekerja buruhnya yang sedang bekerja atau masuk pasar kerja supaya tidak menjadi absolut miskin.

"Pemerintah sebaiknya jujur. Kalau dibilang masih ada UMK, ya UMK yang bagaimana? Yang ditolak buruh adalah kata-kata bersyaratnya itu, kita tidak mengenal itu," kata Iqbal.

Selanjutnya, soal karyawan kontrak. Pemerintah mengatakan tetap ada perlindungan bagi karyawan kontrak, ada syarat ketat. Padahal, yang dirasa memberatkan bagi pekerja menurut Iqbal bukanlah soal karyawan kontrak PKWT.

Bagi pekerja, yang dikhawatirkan adalah potensi kontrak karyawan jadi permanen karena tidak ada batas waktu kontrak. "Kan diulang-ulang kontraknya nanti, seumur hidup. itu impact-nya pengangkatan karyawan tetap tidak ada," ucap Iqbal.

Soal aturan pesangon, Iqbal juga meminta pemerintah untuk jangan bilang hoaks terlebih dahulu. Pesangon dalam kesepakatan Panja Baleg dan pemerintah yang sudah diketok itu yang tadinya 32 bulan upah diubah menjadi 25 bulan upah. Skemanya, 19 bulan upah dibayar pemberi kerja, 6 bulan dibayar oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. 

Ini menjadi masalah karena sumber dana BPJS untuk membayar enam bulan pesangon itu berasal dari iuran peserta. "Ya, buruh menolak. Masak buruh membayar pesangon untuk dirinya? Kembali saja ke Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003," Iqbal menegaskan.

***

Soal UU Cipta Kerja, Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri, mengatakan bahwa beleid ini pada dasarnya dibuat dengan tujuan memperbaiki aturan ketenagakerjaan atau UU Nomor 13 Tahun 2003 yang dianggap sangat kaku dan tidak fleksibel bagi dunia usaha.

Secara umum, Yose menilai tujuan pembentukan Omnibus Law Cipta Kerja ini menguntungkan, karena pemerintah bisa memangkas regulasi-regulasi di bidang investasi yang ribuan jumlahnya, dengan harapan kemudahan berbisnis di Indonesia dapat meningkat. 

Sejalan dengan itu, biaya untuk berinvestasi di Tanah Air pun akan makin terjangkau, karena calon investor tidak perlu lagi melalui banyak prosedur agar bisa menanamkan modalnya. Begitu juga dengan potensi korupsi di berbagai birokrasi yang diduga akan makin menurun.

Namun demikian, Yose khawatir, beleid sapu jagad ini akan memiliki nasib serupa dengan pendahulunya, UU Ketenagakerjaan. Pasalnya, meski investasi diperkirakan bakal meningkat, kebanyakan investasi yang masuk itu berasal dari industri-industri besar saja, seperti jasa, pertambangan, perkebunan, hingga kendaraan bermotor.

Padahal, sektor-sektor tersebut tidak membutuhkan banyak tenaga kerja. Adapun untuk dapat bergabung dengan industri-industri itu, pekerja harus memiliki kemampuan atau skill tinggi di bidang tertentu.

Sebaliknya, sektor industri padat karya, seperti garmen, pabrik alas kaki, hingga pabrik makanan dan minuman yang membutuhkan banyak tenaga kerja dan kemampuan biasa saja, tidak akan banyak yang masuk ke Indonesia. "Jadi, ini kemungkinan enggak akan berubah karena Omnibus Law, karena memang enggak terlalu besar perubahannya," tutur Yose kepada Qonita Azzahra dari GATRA, Senin lalu.

Yose melanjutkan, dirinya tidak berharap banyak terkait aturan turunan Omnibus Law Cipta Kerja yang saat ini sedang disiapkan pemerintah. Terlebih, substansi klaster ketenagakerjaan di dalam UU Cipta Kerja tidak berbeda jauh dengan UU Ketenagakerjaan.

Namun, ekonom senior itu meminta agar pemerintah memasukkan pula klausul mengenai pelatihan bagi tenaga kerja. Untuk bisa masuk ke industri-industri besar, tenaga kerja Indonesia yang saat ini masih banyak berasal dari lulusan SD atau bahkan tidak lulus SD, harus bisa meng-upgrade kemampuan mereka dengan pelatihan yang diberikan oleh pemerintah dan bekerja sama dengan dunia usaha.

"Jadi oke, lah, pasar tenaga kerjanya rigid, karena pasar tenaga kerja yang rigid itu tidak terlalu berpengaruh pada investasi di sektor-sektor berteknologi tinggi. Toh, mereka enggak membutuhkan banyak tenaga kerja juga, tapi mereka butuh tenaga kerja yang skill-nya bagus," ujar Yose.

Hidayat Adhiningrat P.