Pilkada di masa pandemi memberi tantangan baru. Selain belum efektifnya kampanye daring dan maraknya pelanggaran protokol kesehatan, Pilkada masih berkutat pada persoalan netralitas ASN dan rawannya politik uang.
Sempat dua kali mangkir dari panggilan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Banten, Ratu Tatu Chasanah akhirnya memenuhi pemeriksaan pada Selasa, 13 Oktober 2020. Ia diperiksa atas beberapa dugaan pelanggaran Pilkada, antara lain melibatkan Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam deklarasi dukungan DPD Barisan Pemuda Nusantara (Bapera) Banten.
Pemeriksaan Ratu Tatu menjadi satu dari banyak persoalan yang menyeret ASN dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Sejak awal mula reformasi bergulir, netralitas ASN selalu menjadi persoalan. Terlebih ketika calon petahana yang masih ikut dalam perebutan kuasa di daerah.
Bawaslu sudah cukup lama memantau masalah netralitas ASN dalam pilkada 2020 ini. Sejak 1 Januari hingga 15 Juni 2020, Bawaslu sudah membuat 369 laporan terkait pelanggaran ASN. Kategori pelanggaran yang paling sering dilakukan kalangan ASN adalah pelanggaran media sosial, kegiatan yang berpihak kepada calon kepala daerah (cakada) dan pemasangan alat peraga. Angka ini terus naik hingga pada September 2020, Bawaslu menemukan 619 pelanggaran atas ASN yang berpihak dalam pilkada.
Ketua Bawaslu, Abhan, menjelaskan bahwa dari total 270 daerah yang berpilkada, ada 224 daerah yang memiliki cakada petahana. Semua calon petahana ini, bagi Abhan, berpotensi besar menggerakkan ASN. "Salah satu alasannya adalah akses politik yang dimiliki petahana masih dominan. Bagi pendatang baru, tentu sulit mengakses birokrasi," ujarnya.
Abhan memaparkan sejumlah alasan pelibatan ASN dalam pemenangan. Di antarannya, soal pengetahuan para ASN yang cukup memadai untuk menyusun program dan materi kampanye, juga lantaran ASN memiliki jejaring luas hingga pelosok desa. Di sisi lain, petahana memiliki kewenangan strategis, salah satunya menggerakkan anggaran keuangan dengan atribut penyusunan program dan kegiatan.
Bawaslu sebenarnya sudah melakukan ragam upaya pencegahan pelanggaran netralitas ASN. Kerja sama antar lembaga menjadi salah satunya. Komisi ASN (KASN) sudah dilibatkan secara serius untuk menangani potensi pelanggaran. Bawaslu telah meneruskan data-data temuan dugaan pelanggaran netralitas ASN itu kepada KASN.
Netralitas ASN merupakan satu dari tiga isu "periodik" dalam kepemiluan. Isu lainnya adalah akurasi daftar pemilih tetap (DPT) dan maraknya politik uang juga menjadi soal dalam tiap gelaran suksesi kepemimpinan.
***
Menurut Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, netralitas ASN bisa diganggu dengan cara dipolitisasi atau dimobilisasi secara intimidatif, atau dengan iming-iming. "Ini pekerjaan besar yang harus kita selesaikan agar tidak mendistorsi kualitas pilkada kita," ujarnya kepada Muhammad Guruh Nuary dari GATRA.
Titi ikut menyoal petahana yang kembali mencalonkan diri sebagai salah satu masalah dalam netralitas ASN. Maka, langkah antisipatif dan pengawasan yang proporsional wajib dilakukan. "Baik itu Bawaslu, KASN, inspektorat daerah, Kemenpan RB, maupun Kemendagri sebagai pengawas penyelenggaraan pemerintahan daerah," ujarnya.
Titi juga mengatakan jika persoalan netralitas ASN dan penggunaan fasilitas jabatan masih sering terjadi. Bukan hanya bisik-bisik, melainkan terang-terangan. Menurutnya, hal ini karena instrumen pengawasan dan penegakan hukum masih belum mampu mengeksekusi sanksi, hanya sebatas rekomendasi. "Contohnya, KASN sebatas pada memberikan rekomendasi, eksekusinya ada pada pejabat berwenang. Apalagi kalau yang melanggar itu adalah pejabat yang berposisi tinggi. Dalam kultur daerah yang masih sangat patriarkis, cukup sulit untuk menegakkan aturan main yang ada," katanya.
Meski aturan ditegakkan, ada ketakutan jika petahana terpilih kembali. Ketakutan berupa intimidasi dan persekusi dari pejabat terpilih menjadi momok para ASN. Apalagi dengan agenda reformasi birokrasi yang belum sepenuhnya berjalan. "Masih banyak ASN yang memiliki paradigma tertutup dan belum berani menentukan sikap dan keberpihakannya kepada negara ketimbang loyalitas individu pimpinan, meski pimpinannya otoriter dan menyimpang," Titi menambahkan.
Di sisi lain, kehadiran ASN dalam perpolitikan daerah cukup dilematis. Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Alwan Ola Riantoby, menjelaskan bahwa berbeda dengan TNI-Polri, ASN memiliki hak pilih. Artinya, ASN perlu untuk mengetahui siapa kandidat pimpinannya dari sisi visi dan misi, latar belakang, dan informasi pasangan calon. "Satu sisi, pas dia mau datang kampanye, dia dibatasi karena dia ASN dengan bahasa "keterlibatan"," katanya kepada Erlina Fury Santika dari GATRA.
Secara substansial, keterlibatan ASN bisa dilihat dari dua faktor, yakni individual dan birokrasi. Alwan mencontohkan, beberapa putusan Bawaslu di Sulawesi Utara yang menyebut keterlibatan ASN. Namun penanganannya menemui jalan buntu, karena pemberian sanksi bukan pada Bawaslu, melainkan oleh KASN atau Badan Kepegawaian Negara (BKN). "Ini jadi soal, karena bisa saja cuma memberikan peringatan atau rehabilitasi. Sanksinya dia belum terlalu berat. Saya kira sebagai satu gerakan moral, ASN harus sudah sadar diri bahwa dia harus menunjukkan sikap kenegarawannya," tuturnya.
Seperti diketahui, khusus untuk menekan keberpihakan ASN, pemerintah sudah membuat Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Ketua Bawaslu, BKN, dan KASN.
Alwan menilai, SKB tersebut sudah pada jalur yang tepat untuk memitigasi potensi ketidaknetralan ASN dalam pilkada. Namun menurutnya, kunci dari penyelesaian persoalan netralitas itu agar tidak terus berulang, yaitu dengan pembenahan sistem birokrasi. "Sistem birokrasi ini memang diarahkan tidak netral karena satu sisi ASN tidak dipilih melalui pemilihan umum, tapi bekerja royal terhadap eksekutif dan legislatif yang dipilih melalui pemilu. Ini masalah, karena jabatannya adalah jabatan politis," ujarnya.
Di luar problem netralitas ASN, ada isu politik uang yang juga mengancam kualitas penyelenggaraan pilkada mendatang. Titi Anggraini menilai, politik uang akan menguat, terlebih dalam kondisi pandemi Covid-19. Keterpurukan ekonomi masyarakat menjadi pintu masuk bagi para kandidat untuk menggunakan politik uang, antara lain melalui pintu penyaluran Bansos, untuk mendongkrak elektabilitasnya.
"Apalagi kemudian, kesulitan untuk melakukan aktivitas kampanye bisa saja membuat calon melakukan jalan pintas untuk menang dengan melakukan praktik politik uang guna membeli suara pemilih," ujar Titi.
Celah politik uang kian diperlebar di tengah keterbatasan fungsi pengawasan dari penyelenggara pemilu dan masyarakat. Akibat pandemi, semua orang harus membatasi gerak di ruang publik dan ini makin menyuburkan potensi politik uang di ruang tertutup yang tidak terpantau. Begitu juga dengan bansos yang sejak awal tahapan pilkada mulai dipolitisasi. Meski aturan cuti petahana sejak jadwal kampanye membuat politisasi bansos ini agak mereda.
"Namun, potensi politisasi bansos masih harus terus diwaspadai, khususnya menjelang hari pemungutan suara, utamanya di masa tenang. Justru di fase itulah fase krusial yang memerlukan pengawasan kita bersama," ucap Titi.
Aditya Kirana
Jenis Pelanggaran Netralitas ASN
1. ASN memberikan dukungan lewat media sosial/massa: 218 kasus
2. ASN melakukan pendekatan atau mendaftarkan diri pada salah satu parpol: 104 kasus
3. ASN menghadiri/mengikuti acara silaturahmi/sosialisasi/bakti sosial bakal paslon: 72 kasus
4. ASN mendukung salah satu bakal calon: 47 kasus
5. ASN mendeklarasikan diri sebagai bakal calon kepala daerah: 43
6. ASN sosialisasi bakal calon melalui alat peraga: 36 kasus
7. ASN mempromosikan diri sendiri atau orang lain: 24 kasus
8. ASN mendaftarkan diri sebagai bakal calon perseorangan: 10 kasus
Sumber: Data Bawaslu per September 2020