Home Laporan Khusus Jalur Gurih Penjahat Kerah Putih

Jalur Gurih Penjahat Kerah Putih

Pemotongan hukuman mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum oleh MA menuai polemik. Posisi MA dalam mendukung pemberantasan korupsi pun disoal. Jalur PK menguntungkan koruptor?  


Mantan Ketum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, merasakan manisnya buah peninjauan kembali (PK). Vonis kasasi 14 tahun penjara yang tengah dijalaninya, akhirnya disunat Mahkamah Agung (MA) menjadi 8 tahun dalam upaya hukum terakhir itu. Atas hasil itu pun, Anas belum puas. Kuasa hukum Anas Urbaningrum, Rio Ramabaskara, menilai putusan tersebut belum adil.

Rio tak terima jika kliennya disebut memperoleh sunatan hukuman dari Hakim Agung atas pengajuan PK-nya. Menurutnya, Anas hanya ingin menerangkan kembali putusan tingkat pertama. "Sehingga, tidak ada sunatan hukuman. Melainkan hanya kembali pada putusan tingkat pertama yang ditambah dengan adanya pencabutan hak politik," kata Rio melalui pesan singkat kepada Erlina Fury Santika dari Gatra, Jumat pekan lalu.

Dalam perkara yang menjeratnya, Anas awalnya divonis delapan tahun dan denda Rp300 juta subsider tiga bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp57,59 miliar dan US$5,26 juta di pengadilan tingkat pertama. Lalu, pada tingkat banding, Anas mendapat keringanan hukuman menjadi 7 tahun penjara.

Namun, KPK kemudian mengajukan kasasi terhadap putusan banding itu yang kemudian diterima MA dengan memperberat hukuman Anas menjadi 14 tahun penjara ditambah denda Rp5 miliar subsider satu tahun empat bulan penjara dan ditambah membayar uang pengganti Rp57,59 miliar subsider empat tahun kurungan —dan ditambah hukuman pencabutan hak politik.

Putusan kasasi yang menohok Anas itu itu diambil oleh Majelis Hakim Agung yang terdiri atas Artidjo Alkostar, Krisna Harahap, dan M.S. Lumme. Artidjo Alkostar, Hakim Agung yang vonisnya dikenal "sadis" terhadap koruptor, pensiun pada 22 Mei 2018. Dua hari sebelum Artidjo pensiun, Anas langsung mengajukan PK.

Selang lebih dua tahun dari pengajuan itu, MA akhirnya mengabulkan permohonan PK Anas dan memotong hukuman kurungan badan menjadi 8 tahun penjara. Dalam putusannya, MA mengungkap alasan Anas mengajukan PK lantaran adanya kekhilafan hakim dan dapat dibenarkan oleh Majelis PK. "Menurut Majelis Hakim Agung PK, alasan permohonan PK pemohon atau terpidana yang didasarkan pada adanya ‘kekhilafan hakim" dapat dibenarkan," kata Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro, kepada Gatra.

Setelah putusan PK dikabulkan, masa hukuman penjara Anas tersisa sekitar tiga tahun atau akan bebas pada 2023. Seperti diketahui, Anas telah menjalani hukuman penjara di Lapas Sukamiskin sejak 17 Juni 2015.

Andi mengatakan bahwa pihaknya bukan pro-koruptor. Ia memohon, agar publik juga memahami posisi MA dalam mengelola dan menyelenggarakan tugas peradilan. "Dan lagi pula lembaga kami bukan dalam posisi sebagai lembaga penuntut tetapi berkedudukan sebagai lembaga penegak hukum dan keadilan," ucapnya.

***

Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango, mengatakan bahwa dengan tetap menghargai independensi kekuasaan kehakiman, seharusnya MA dapat memberikan argumen sekaligus jawaban di dalam putusan-putusannya, khususnya putusan PK. Yaitu, adanya legal reasoning. "Agar pengurangan hukuman-hukuman dalam perkara-perkara a quo, tidak menimbulkan kecurigaan publik tergerusnya rasa keadilan dalam pemberantasan korupsi," katanya.

Terlebih, putusan-putusan PK yang mengurangi hukuman ini marak setelah MA ditinggal sosok Artidjo Alkostar. "Jangan sampai memunculkan anekdot hukum: bukan soal hukumnya, tapi siapa hakimnya," cetus Nawawi.

Karena, sebuah putusan hakim tidak memerlukan penjelasan asalkan di dalamnya memuat legal reasoning dari pengambilan putusan tersebut. "Itu yang harus ditonjolkan dalam putusan yang memuat pengurangan-pengurangang hukuman tersebut," katanya.

Pelaksana tugas Juru Bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan sejak awal fenomena pengurangan masa hukuman terpidana korupsi ini muncul, pihaknya sudah menaruh perhatian sekaligus keprihatinan terhadap beberapa putusan PK MA yang trennya menurunkan pemidanaan bagi para koruptor. "Bagi KPK, ini cerminan belum adanya komitmen dan visi yang sama antar-aparat penegak hukum dalam memandang bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa," ucapnya.

KPK mencatat, termasuk kasus Anas, MA telah memberikan keringanan hukuman terhadap 23 koruptor di tingkat PK. 

Di lain pihak, Ketua Komisi Yudisial, Jaja Ahmad Jayus, mengakui bahwa terkait hasil PK Anas Urbaningrum ada dua hal yang harus dipahami banyak pihak. Pertama, menurutnya pengajuan PK adalah hak terpidana yang bisa dilakukan langsung oleh terpidana sendiri, kuasa hukum, atau ahli waris sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kedua, sepanjang hakim yang memeriksa PK berjalan sesuai dengan perundang-undangan, apa pun keputusannya itu harus dihargai. Keputusan itu bisa saja mengurangi atau menolak PK, yang semuanya merupakan kewenangan majelis hakim dalam perkara PK. "Sepanjang itu ada novum atau terbukti ada yang nyata dalam putusan sebelumnya, itu adalah penilaian majelis dan itu independensi hakim tidak boleh diganggu oleh siapa pun, oleh massa, tekanan media, politik atau kekuasaan, uang," kata Jaja saat dihubungi Gatra, Jumat malam pekan lalu.

Sementara itu, peneliti ICW Kurnia Ramadhan mengatakan bahwa putusan demi putusan PK yang dijatuhkan MA telah terang benderang meruntuhkan sekaligus mengubur rasa keadilan masyarakat sebagai pihak paling terdampak praktik korupsi. Terlebih, bisa menjadi jalan yang menguntungkan bagi para koruptor.

Ia khawatir nasib pemberantasan korupsi di masa mendatang akan semakin suram jika MA tetap mempertahankan tren vonis ringan kepada terdakwa kasus korupsi. "Sejak awal ICW memang sudah meragukan keberpihakan Mahkamah Agung dalam pemberantasan korupsi," ujar Kurnia kepada Muhammad Almer Sidqi dari Gatra.

Berkaca pada data ICW, rata-rata hukuman para pelaku korupsi di sepanjang tahun 2019 hanya 2 tahun 7 bulan penjara. Dari total 1.125 terdakwa kasus korupsi yang disidangkan pada 2019, sekitar 842 orang divonis ringan (0-4 tahun), sedangkan vonis berat hanya sembilan orang (di atas 10 tahun). Belum lagi vonis bebas atau lepas yang berjumlah 54 orang.

Karena itu, ICW meminta agar Ketua MA, M. Syarifuddin, perlu mengevaluasi penempatan hakim-hakim yang kerap menjatuhkan vonis ringan kepada pelaku korupsi. Putusan hakim yang kerap kali ringan kepada terdakwa korupsi memiliki implikasi serius. Pertama, dapat menegasikan nilai keadilan bagi masyarakat sebagai pihak terdampak korupsi. Kedua, meluluhlantakkan kerja keras penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, maupun KPK, yang telah bersusah payah membongkar praktik korupsi. Ketiga, menjauhkan efek jera baik bagi terdakwa maupun masyarakat.

Tidak hanya itu, pemulihan kerugian negara juga sangat kecil. Jika ditotal, negara telah merugi akibat praktik korupsi pada sepanjang tahun 2019 sebesar Rp12 triliun. Namun, pidana tambahan berupa uang pengganti yang dijatuhkan majelis hakim hanya Rp750 miliar. Jumlah tersebut bahkan kurang dari 10% dari total kerugian. "Komisi Yudisial juga harus turut aktif terlibat melihat potensi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim yang menyidangkan PK perkara korupsi," Kurnia menambahkan.

Gandhi Achmad

 

10 Terpidana Korupsi yang ditangani KPK dan Masa Hukumannya Berkurang Banyak oleh MA:

1. Mantan Bupati Bengkulu Selatan 2016-2021 Dirwan Mahmud dalam kasus suap pekerjaan proyek infrastruktur dari putusan 6 tahun menjadi 4 tahun dan 6 bulan penjara.

2. Mantan Wali Kota Cilegon 2010-2015 Tubagus Iman Ariyadi dalam kasus suap pengurusan perizinan pembangunan Mall Transmart di Cilegon dari putusan 6 tahun menjadi 4 tahun penjara.

3. Pengacara OC Kaligis terkait dengan kasus suap hakim PTUN Medan dari putusan 10 tahun menjadi 7 tahun penjara.

4. Mantan Ketua DPD Irman Gusman terkait dengan kasus suap pembelian gula impor di Perum Bulog dari putusan 4 tahun 6 bulan menjadi 3 tahun penjara.

5. Mantan Anggota DPRD DKI Jakarta M Sanusi terkait dengan kasus korupsi perizinan reklamasi Pantai Jakarta dari putusan 10 tahun menjadi 7 tahun penjara.

6. Mantan Bupati Kepulauan Talaud Sri Wahyumi Maria Manalip dalam kasus suap revitalisasi Pasar Lirung dan Pasar Beo dari putusan 4 tahun 6 bulan menjadi 2 tahun penjara.

7. Mantan Panitera Pengganti PN Bengkulu Badaruddin Bachsin alias Billy terkait dengan kasus perantara suap hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu divonis 8 tahun menjadi 5 tahun ditingkat PK.

8. Mantan Panitera Pengganti PN Jakarta Utara Rohadi dalam kasus pencucian uang dan gratifikasi, dari vonis 7 tahun menjadi 5 tahun penjara di tingkat PK.

9. Mantan Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PKB Musa Zainuddin dalam kasus suap infrastruktur, dari putusan 9 tahun menjadi 6 tahun penjara di tingkat PK.

10. Mantan Ketum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dalam kasus korupsi berupa penerimaan hadiah dari sejumlah proyek pemerintah dan tindak pidana pencucian uang. Dari vonis 14 tahun menjadi 8 tahun di tingkat PK.

*Diolah dari berbagai sumber