Home Laporan Khusus Berharap Kepada Yang Belum Ada

Berharap Kepada Yang Belum Ada

Pemerintah memberi harapan adanya vaksin corona yang bisa menghentikan wabah, meski belum ada jaminan vaksin ampuh mencegah penularan. Perlu ada langkah fundamental, agar benar-benar pandemi teratasi.   


Selain melakukan kerja cepat untuk mengerem laju infeksi atau penularan Covid-19, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, juga sigap bekerja memastikan pengadaan vaksin. Sabtu pekan lalu, ia sudah mulai menggelar rapat koordinasi (rakor) tentang penyediaan obat Covid-19.

Rapat tersebut turut dihadiri oleh Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir, dan Ketua Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito.

Dalam pertemuan itu, Luhut meminta Bio Farma mempercepat penyediaan bahan baku obat Remdesivir. Dengan demikian, produksi nasional dapat segera dilakukan. "Strateginya untuk kepentingan emergency dan kepentingan nasional. Kami harus cepat dan jangan terlalu kaku karena ini untuk kemanusiaan," katanya.

Luhut juga menyambangi Wakil Presiden Ma"ruf Amin pada Jumat lalu, untuk melaporkan kehalalan vaksin yang dijadwalkan akan datang dari Cina pada November mendatang. Kepada Ma"ruf, Luhut menyatakan dirinya bersama Menteri Kesehatan dan Direktur Bio Farma akan melakukan cek sendiri ke Cina agar pengiriman juga segera dilakukan.

"Mereka akan berangkat ke Cina untuk melakukan pengecekan terhadap vaksin yang akan dikirim ke Indonesia," kata Juru Bicara Wapres, Masduki Baidlowi.

Masduki mengutip laporan Luhut, menyebut ada tiga kandidat vaksin Cina yang bakal dipilih untuk dikirim ke Indonesia yakni Sinovac, Sinopharm, dan CanSino. Rencananya vaksin yang dipilih bakal didatangkan sebanyak tiga juta unit. Meski demikian, vaksin tersebut belum bisa digunakan untuk seluruh masyarakat.

Vaksin corona, sebagai game changer atau pengubah situasi yang signifikan, memang dipercaya akan segera mengakhiri pandemi yang kini sedang melanda dunia. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun optimistis di Indonesia segera tersedia vaksin untuk masyarakat. "Insya Allah Desember atau Januari," kata Jokowi dikutip dari YouTube Sekretariat Presiden pada Rabu, 30 September lalu.

Soal penyediaan vaksin, pemerintah memang terkesan percaya diri. Padahal produksi masal vaksin sendiri belum tentu bisa dilakukan di bulan-bulan pertama tahun depan. Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, menyebut meski vaksin sudah di fase uji klis akhir, bukan berarti untuk bisa mengobati semua orang dapat segera dilakukan.

Karena hanya 30% kemungkinan yang diuji bisa lolos. "Biasanya dalam sejarah pengembangan vaksin seperti itu," ia menegaskan kepada Dwi reka Barokah dari Gatra.

Pandu menegaskan, karena prosesnya belum selesai, maka kurang tepat bila pemerintah kemudian buru-buru melakukan perencanaan dengan jadwal yang seakan-akan sudah bisa menanggulangi penyebaran virus ini di Indonesia. "Negara lain enggak seperti Indonesia, coba liat negara lain, semuanya nunggu proses yang nanti dikoordinasi oleh WHO," ujar Pandu. 

***

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian sekaligus Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN), Airlangga Hartarto, menyebut sampai sekarang pemerintah yang diwakili oleh Menteri Kesehatan, Menteri BUMN, dan Menteri Luar Negeri telah melakukan penandatanganan perjanjian dengan UNICEF agar bisa mendapatkan vaksin dengan skema multilateral.

Menkes Terawan juga telah menadatangani perjanjian kerja sama dengan Pfizer, Johnson & Johnson, Cansino Bio, dan Astra Zeneca untuk memperbanyak akses vaksin terhadap indoneisa. "Ini tentunya menujukkan bahwa pemerintah sudah bekerjasama dengan berbagai institusi yang melakukan RnB, persiapan, dan kerja sama untuk memperoleh akses terhadap vaksin," kata Airlangga.

Dari usaha kerja sama ini. pemerintah berhasil mendapat akses vaksin dari 10 sumber. Termasuk lewat kerja sama dengan WHO dalam kerangka COVAX (WHO Access to Covid-19 Tools (ACT) Accelerator–COVAX Facility).

Sumber lainnya datang dari Sinovac, G-42/Wuhan Institute Biological Products/Sinopharm, Astra Zaneca, CanSino Biological Inc./Beijing Institute Technology, BioNTech /Fosun Pharma/Pfizer, Modena/NIAID (National Institute of Allergy and Infectious Diseases), Acturus Therapeutics/Duke-NUS, Genexine dari Korea, dan Vaksin Merah Putih.

Sampai hari ini, vaksin-vaksin itu masih dalam uji klinis. Sebagian sudah uji klinis tahap III, namun ada beberapa yang masih dalam tahap awal. Di Indonesia, yang sudah menjalani uji klinis tahap III adalah vaksin buatan Sinovac. Vaksin ini nantinya akan diproduksi PT Biofarma.

Honesti Basyir mengatakan, vaksin bernama CoronaVac direncanakan akan selesai uji klinis pada Januari 2021. Jika dinyatakan berhasil, akan diajukan untuk mendapat izin penggunaan darurat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) sehingga program vaksinasi nasional bisa segera dimulai pada Februari 2021. Diperkirakan harga vaksin Covid-19 berkisar Rp200.000 per dosis dan Rp400.000 untuk dua dosis.

Dalam rapat kerja dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat pada Senin, 5 Oktober lalu, Honesti menyebutkan vaksinasi akan dilakukan tahun depan. Dia memperkirakan Indonesia perlu melakukan vaksinasi kepada 170 juta penduduk atau 70% dari total penduduk sesuai dengan petunjuk WHO untuk bisa mencapai herd immunity.

Meski pemerintah berjanji ada vaksin dalam tiga bulan ke depan, di sisi lain grafik penderita Covid-19 di Indonesia terus membubung tinggi. Butuh waktu empat bulan sejak pasien pertama diumumkan 2 Maret hingga mencapai level 100.000 penderita. Selanjutnya, 200.000 penderita hanya butuh waktu kurang dari 1,5 bulan. Dan 300.000 dicapai kurang dari satu bulan.

Selain itu, positivity rate di Indonesia yang cukup tinggi. Berdasarkan data yang disampaikan Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, positivity rate Indonesia pada September mencapai 16.11% atau tiga kali lebih besar daripada standar WHO yaitu 5%.

Positivity rate yang tinggi mengindikasikan penyebaran wabah ini sudah sangat tinggi. Sudah banyak orang yang tertular tapi belum terjaring lewat pengetesan. Karena itu, Epidemolog dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman meminta pemerintah juga memperhatikan aspek fundamental, yakni pencegahan dalam penanganan pandemi, seperti skema 3T(testing, tracing, dan treatment). 

Menurutnya, jika suatu negara atau wilayah ingin membuat program vaksinasi, maka tanpa adanya penguatan dari program survailans, maka dia artinya akan melewatkan satu tahapan penting dan juga Sekma vaksinasi akan cenderung gagal.

"Karena pertama dia berarti tidak memahami prisnsip strategi penyusunan vaksinasi. Jangan mengesankan bahwa, kita akan mendapat atau sudah mendapat vaksin. Karena ini kan belum ada, jadi yang harus di fokuskan adalah di prevention, bukan hanya ke arah kuratif," ia menjelaskan.

Rosyid
 

Vaksin Merah Putih Sudah Separuh Jalan

Indonesia juga sedang menyiapkan vaksin yang dikembangkan didalam negeri yaitu vaksin Merah Putih. Kepala Lembaga Biomolekuler (LBM) Eijkman, Prof. Amin Soebandrio, menjelaskan bahwa hingga saat ini progres vaksin merah putih telah mencapai 55%.

Artinya, sudah memasuki tahapan penyisipan protein rekombinan dari sistem ekspresi yang menggunakan sel mamalia. "Jadi, gen sudah diklon kedalam sistem ekspresi, sedang kita tunggu prosesnya untuk menghasilkan protein. Kita sudah berhasil dengan salah satu proteinnya, walaupun masih terus dioptimasi," kata Amien kepada Ucha Julistian Mone dari Gatra pada Ahad, 4 Oktober lalu. 

Proses tersebut diperkirakan akan memakan waktu sekitar 10 hari hingga 14 hari. Pada November, tahapan uji pada hewan sudah bisa dilaksanakan. "Dan sesuai dengan timeline, setelah uji pada hewan berhasil maka Januari atau Februari hasilnya kita serahkan pada Biofarma untuk uji berikutnya," tutur Amin.

Dengan demikian Lembaga Eijkman sudah melewati tahapan-tahapan sebelumnya, yaitu amplikasi gen, amplikasi klon, dan sekarang dimaksukkan dalam sistem ekspresi. Diperkirakan produksi vaksin ini bisa mencapa 540 juta atau dua kali lipat jumlah penduduk.

Terkait soal harga, biaya vaksin tersebut nantinya juga akan terlihat setelah telah dilakukannya uji klinis yang dilakukan oleh Industri. "Tapi, waktu itu sudah kita pikirkan akan berkisar satu hingga US$10. Ada yang bilang US$5, US$7, US$15, tapi itu baru akan bisa dihitung secara lebih tepat kalau udah masuk proses industri," ia menjelaskan.

Penelitian vaksin Merah Putih dilakukan LBM Eijkman bekersa jama dengan LIPI, Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Airlangga (Unair). "Hanya platformnya saja yang berbeda. Kalau Eijkman dengan protein rekombinan, sedangkan UI, ITB, LIPI, Unair itu dengan platform lain. Karena vaksin merah putih itu dalam artian bahwa vaksin yang bibitnya diteliti dan dikembangkan di Indonesia," ujarnya.

Seperti diketahui, vaksin Merah Putih dari UI menggunakan platform DNA, RNA, dan virus like particles, Institut Teknologi Bandung (ITB) mengembangkan vaksin dengan platform adenovirus, Unair mengembangkan vaksin dengan platform adenovirus, sedangkan LIPI mengembangkan dengan platform protein rekombinan.

Rosyid