Pemerintah tengah persiapkan peta jalan vaksinasi massal Covid-19. Rp37 triliun sudah dianggarkan untuk kebutuhan ini hingga 2022. Sebagian kalangan menganggap target realisasi vaksinasi Indonesia terlalu terburu-buru. Masih perlu validitas data dan hasil tes uji coba untuk bisa disuntikkan kepada 160 juta warga.
Sejak awal September, Muhammad Rizqi Yandrizal mesti bermukim di gedung Pemda Pesisir Selatan, Sumatera Selatan. Pria 22 tahun ini positif Covid-19. Bersama Rizqi ada 25 anggota keluarga besarnya terjangkit virus yang sama. Tiga orang di antaranya meninggal dunia. "Saya empat kali swab. Negatif, positif, negatif, dan terakhir masih positif," katanya kepada Gatra, 2 Oktober lalu.
Kabar bakal akan ada vaksinasi Covid-19 pada tahun depan membawa harapan bagi Rizqi. Ia mengaku menanti vaksin Covid-19 bisa segera tersedia di Indonesia jika memang sudah layak aman dan edar. “Saya juga positif terima kalau ditawarkan untuk vaksin ke depannya. Saya percaya kepada ahlinya," ungkap mahasiswa Jurusan Akuntansi Universitas Negeri Padang ini.
Presiden Joko Widodo pada 28 September lalu telah menginstruksikan para menterinya untuk mempersiapkan skema vaksinasi massal Covid-19. Presiden bahkan mematok waktu dua minggu kepada para pembantunya menyelesaikan detail peta jalan vaksinasi tersebut. "Saya minta untuk rencana vaksinasi, rencana suntikan vaksin itu direncanakan secara detail seawal mungkin. "Saya minta dalam dua minggu ini sudah ada perencanaan yang detail," kata Jokowi saat rapat virtual di Istana Merdeka. "Semuanya harus terencana dengan baik sehingga saat vaksin ada itu tinggal langsung implementasi pelaksanaan di lapangan."
Anggaran yang dipersiapkan pemerintah pun tak main-main. Totalnya hingga 2022 mencapai Rp37 triliun. "Perhitungan total kebutuhan anggaran untuk vaksin sebesar Rp37 triliun untuk periode 2020-2022, dengan estimasi uang muka Rp3,8 trliun pada 2020 ini. Sementara itu, dalam RAPBN 2021 telah dialokasikan sebesar Rp18 triliun untuk program vaksinasi," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Airlangga, yang juga menjabat sebagai Ketua Komite Kebijakan Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN), mengungkapkan target 160-170 juta orang yang akan divaksin Covid-19. Vaksin Covid-19 pun diupayakan mulai pada kuartal IV 2020 melalui pemberian 36 juta dosis vaksin. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian 75 juta dosis vaksin pada kuartal I 2021, 105 juta dosis vaksin pada kuartal II 2021, 80 juta dosis vaksin pada kuartal III 2021, dan 80 juta dosis vaksin pada kuartal IV. Sehingga total kebutuhan dosis vaksin Indonesia mencapai 376 juta.
Pemerintah pun juga sudah membagi orang yang peroleh vaksin dalam enam kelompok. Pertama, orang yang berada di garda terdepan dalam menangani Covid-19. Kedua, orang yang kontak erat dengan pasien Covid-19. Ketiga, orang yang bertugas pada pelayanan publik. Keempat, masyarakat umum. Kelima, tenaga pendidik. Keenam, aparatur sipil negara (ASN), dan legislasi.
Jokowi pun juga akan mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk pengadaan dan pemberian vaksin Covid-19 kepada masyarakat. Airlangga menyebut pemerintah masih menggodok Perpres tersebut. "Kemudian yang dibahas tentang teknis akan diselesaikan melalui Perpres dan sedang disiapkan untuk proses pelaksanaan dari imunisasi tersebut," kata Airlangga dalam konferensi pers pada 2 Oktober lalu, seperti yang dilaporkan Qonita Azzahra dari Gatra.
Nantinya akan dilibatkan sekitar 10.134 puskesmas dan 2.807 rumah sakit, baik itu rumah sakit milik pemerintah, rumah sakit milik TNI dan/atau Polri, maupun rumah sakit swasta yang ada di seluruh daerah.
***
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, menyebut vaksin Covid-19 akan menjadi senjata melawan virus corona dan kembali ke kehidupan normal. "Pemerintah Indonesia sedang berusaha mencari sumber vaksin Covid-19. Pemerintah akan targetkan ketersediaan vaksin untuk memenuhi kebutuhan yang sangat besar," ujar Wiku Adisasmito dalam konferensi digital di Istana pada Selasa, 6 Oktober.
Sebaga catatan, saat ini sudah ada 10 vaksin Covid-19 yang masuk tahap uji klinis fase ketiga, yakni Sinovac Biotech dan Wuhan Institute of Biological Products, Sinopharm dan Beijing Institute of Biological Products, AstraZeneca dan University of Oxford, CanSino Biological dan Beijing Institute of Biotechnology, Gamaleya Research Institute, Janssen Pharmaceutical Companies, Novavax, Moderna dan NIAID, serta BioNTech dan Fosum Parma dan Pfizer.
Wiku menambahkan, saat ini Indonesia sudah memiliki perjanjian kerja sama dengan Sinovac Biotech. Kedua, Kimia Farma sedang menjajaki kerja sama dengan UEA yang vaksinnya sudah masuk uji klinis fase ketiga yang akan melibatkan 22.000 relawan. "Ketiga Kalbe Farma bekerja sama dengan Genexine Inc untuk uji klinis dengan melibatkan 60 ribu relawan. Pemerintah juga mendorong vaksin sendiri seperti konsorsium merah putih dan kementerian Riset dan Teknologi," Wiku menjelaskan.
Epidemolog dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman mengapresiasi langkah awal pemerintah menyiapkan peta jalan vaksinasi massal Covid-19. Namun, ia meminta pemerintah tidak mengabaikan aspek fundamental, yakni pencegahan dalam penanganan pandemi.
Skema 3T (testing, tracing, dan treatment) menjadi strategi yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Ada tidaknya vaksin, skema 3T ini tetap penting. "Termasuk untuk menjamin keberhasilan program vaksinasi, maka harus memiliki data survailans yang kuat. Tentu saja datanya bisa diperoleh dari skema 3T itu," kata dia saat dihubungi oleh wartawan Gatra Ucha Julistian Mone.
Dalam penyusunan peta jalan vakasinasi, Dicky berharap pemerintah tidak mengabaikan aspek preventif karena terpusat pada aspek kuratif, yakni kehadiran vaksin tersebut. "Yang saya khawatirkan narasi tentang ada obat, ada vaksin. Berbahaya, nanti akan membuat masyarakat cenderung abai pada aspek preventif itu tadi," ucapnya.
Kendati sejumlah vaksin Covid-19 tengah diujicobakan di banyak negara, Dicky mengingatkan tidak ada jaminan 100% vaksin akan berhasil. "Jangankan 100%, jaminan tertinggi paling 50%. Walaupun ini sudah uji fase 3. Tidak ada satu pun pihak yang bisa mengklaim secara valid dan ilmiah pengembangan vaksin akan berhasil," ia menambahkan.
Sementara itu, epidemolog asal Universitas Indonesia, Pandu Riono, menilai pemerintah terlalu terburu-buru menetapkan target untuk vaksinasi massal. Meski beberapa kandidat vaksin sudah mencapai fase ketiga uji klinis, proses hingga vaksin dapat disuntikan ke masyarakat masih cukup panjang. "Maka itu, kok ngotot banget mau vaksinasi massal. Memangnya kalau sudah sampai tahap ketiga pasti lulus? Kan harus di-review dulu. Memangnya efektif? Memangnya vaksin yang sudah diuji itu pasti lulus?" ucapnya saat dihubungi Dwi Reka Barokah dari Gatra.
Menurut Pandu, uji klinis fase ketiga membutuhkan waktu yang tidak singkat. Untuk mengamati efektivitas vaksin setelah disuntikan kepada relawan saja paling tidak membutuhkan waktu enam bulan. Jika ditemukan efek samping yang merugikan, maka uji klinis harus diulang. "Hanya 30% kemungkinan vaksin yang diuji lulus. Biasanya dalam sejarah pengembangan vaksin seperti itu," ia menjelaskan.
Selain itu, vaksinasi massal juga mestinya dilakukan setelah ada penetapan standar vaksin Covid-19 yang disepakati para ahli di dunia. Standar ini baru bisa ditetapkan setelah para ahli mereview hasil pengembangan vaksin yang dilakukan sejumlah negara. "WHO nanti akan memanggil seluruh ahli di dunia untuk membahas hasil studi ini. Kan banyak vaksin kandidatnya, kemudian dipilih mana yang terbaik," tuturnya.
Sementara itu, negara-negara lain tidak menetapkan target vaksinasi secepat Indonesia. Maka, Pandu menilai pemerintah seharusnya tidak perlu ngotot untuk bisa memberikan vaksin secara massal dalam waktu dekat.
Ia mengatakan, vaksinasi lebih baik dilakukan ketika para ahli di dunia telah menetapkan standar vaksin. Sebab mereka akan merekomendasikan vaksin yang dapat diterima masyarakat dengan mudah dan murah. "Walaupun negara mempunyai hak untuk memilih vaksin untuk dipakai di negara sendiri, tetapi kan apakah kita akan berani seperti itu? Apa enggak akan ada risiko?" ujarnya.
Meski demikian, menurutnya langkah Indonesia dalam mengambil banyak kandidat vaksin untuk diuji klinis bukanlah hal yang salah. Justru Indonesia bisa lebih belajar dalam hal pengembangan vaksin. Namun, vaksin yang nantinya akan digunakan tetap harus dipilih yang paling terbaik.
"Kalau semua vaksin diuji klinis di Indonesia tidak apa-apa. Tapi, kan cuma uji klinis. Bukan semuanya jadi program vaksinasi, nanti yang dipakai hanya satu saja; yang terbaik," pungkasnya.
Fitri Kumalasari