Home Politik Babak Baru Kegaduhan UU Cipta Kerja 

Babak Baru Kegaduhan UU Cipta Kerja 

Secara tiba-tiba, DPR memajukan jadwal Sidang Paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja. Dua fraksi menolak untuk bertanggung jawab atas produk legislasi ini. Buruh merespon dengan aksi turun ke jalan dan mogok kerja massal. 


Benny K. Harman berdiri dan berjalan keluar dari ruangan Sidang Paripurna penutupan masa sidang I tahun 2020/2021, diikuti rekan-rekannya dari Fraksi Partai Demokat. Salah satu agenda dari Sidang Paripurna DPR  Senin, 5 Oktober, adalah pengesahan RUU Cipta Kerja.

Fraksi Demokrat memutuskan walk out setelah tidak diizinkan menyampaikan tanggapan, tepatnya melakukan interupsi, terkait rencana pengesahan RUU sapu jagat itu oleh pimpinan dalam sidang tersebut. "Dengan demikian, kami Fraksi Partai Demokrat menyatakan walk out dan tidak bertanggung jawab a...,” ucapan Benny terpotong ketika mikrofon di mejanya tiba-tiba dimatikan.

Awalnya, sidang yang dipimpin Azis Syamsuddin di Gedung Nusantara, kompleks parlemen, ini berjalan tenang-tenang saja. Selain menu utama yakni mengesahkan RUU Ciptaker, sidang kali ini juga membahas sejumlah agenda penting seperti RUU Praktik Psikologi. Tapi siapa sangka ada api dalam sekam. Dua fraksi, PKS dan Demokrat, akhirnya memilih untuk tidak menyetujui rancangan beleid omnibus ini masuk dalam lembar negara.

Fraksi PKS melihat ada sejumlah kejanggalan dalam perumusan RUU ini, salah satunya adalah pemilihan waktu rapat paripurna yang sebenarnya sangat dipaksakan. "Tiba-tiba pimpinan meminta RUU Cipta Kerja untuk sore kemarin paripurna, meskipun draf finalnya kita juga enggak tau seperti apa," ujar politisi PKS, Amin A.K., kepada Muhammad Guruh Nuary dari Gatra pada Selasa, 6 Oktober lalu.

Pimpinan DPR memang sengaja memajukan jadwal sidang paripurna, salah satu alasannya adalah tingginya kasus positif Covid-19 di lingkungan DPR. Tapi bagi Amin, yang juga anggota Badan Legislasi (Baleg), hal ini sebenarnya hanya alasan yang dibangun para pimpinan. "Pimpinan DPR sudah koordinasilah sama pemerintah. Salah satunya mungkin untuk menghindari demo buruh itu, mungkin. Tapi alasan yang dibangun ya masuk akal, karena semakin banyak yang terkena Covid-19 di DPR," cetusnya.

Bukan kali ini saja DPR bersikap "aneh" sehubungan dengan proses legislasi RUU Ciptaker. Pada Sabtu, 26 September lalu, Baleg DPR dipergoki tengah menggelar rapat pembahasan RUU Ciptaker di salah satu hotel di kawasan Serpong, Banten. Alasan yang dikeluarkan Baleg adalah aliran listrik di DPR sedang dipadamkan dan dalam proses perbaikan. Hal ini kemudian menimbulkan kecurigaan di mata kelompok buruh. “Kami mengecam keras rapat yang mereka laksanakan dari hotel ke hotel, pindah-pindah, dan diam-diam, seperti orang kejar tayang," kata Said Iqbal, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), kepada M. Almer Sidqi dari Gatra.

Di tengah penolakan publik, RUU Ciptaker tetap disahkan oleh DPR. RUU yang rampung dibahas dalam waktu singkat ini memuat 15 bab dan 186 pasal. Secara keseluruhan, RUU ini akan berdampak pada 1203 pasal dari 79 undang-undang terkait dan terbagi dalam 7197 daftar inventarisasi masalah (DIM).

Untuk menyelesaikan paket omnibus law ini, DPR harus melakukan rapat sebanyak 64 kali, dua kali rapat kerja, 56 kali rapat panitia kerja (panja) dan 6 kali rapat tim perumus dan tim sinkronisasi. Rapat ini dilakukan DPR setiap hari dalam seminggu. Dalam pernyataan Ketua Baleg, Supratman Andi Agntas, dari pagi hingga dini hari bahkan dalam masa reses pun DPR tetap melakukan pembahasan RUU ini. "Baik di dalam maupun di luar gedung atas persetujuan pimpinan DPR," ujarnya.

Tapi, Fraksi Partai Demokrat dan PKS, yang juga tergabung dalam Baleg dengan tegas menolak pengesahaan RUU ini. Dalam rapat paripurna pengesahan RUU Ciptaker, politisi PKS, Amin AK mengatakan pada panja Baleg, fraksinya memberikan catatan yang pada intinya mengkritisi calon beleid ini, baik secara formil maupun substansial. Kritik dari sisi formal, PKS menilai bahwa proses pembahasan yang dilakukan Baleg sebenarnya bertentangan dengan politik hukum kebangsaan.

Secara substansi, PKS menilai RUU ini memuat semangat liberalisasi sumber daya alam yang sebenarnya bertentangan dengan konstitusi. RUU ini juga merugikan tenaga kerja dan terlalu berpihak pada pengusaha. “RUU Ciptaker memberikan ruang besar bagi pemerintah, namun tidak diimbangi dengan pengawasan dan sanksi hukumnya. Fraksi PKS menerima masukan dan penolakan terhadap RUU ini. Karena itulah, Fraksi PKS menolak RUU Ciptaker disahkan menjadi undang-undang,” ujarnya.

Sementara itu, Fraksi Partai Demokrat yang diwakili Marwan Cik Asan menilai pembahasan RUU ini terlalu terburu-buru. "Sehingga pembahasan pasal per pasal kurang mendalam," ujarnya. Bagi Demokrat, RUU ini semestinya memberikan arah yang tegas bagi Indonesia. Harapannya, dengan RUU ini, ada agenda perbaikan reformasi dan birokrasi yang signifikan. “Tapi kami mencermati ada permasalahan mendasar dari RUU Cipta Kerja ini," Marwan melanjutkan.

Marwan menggarisbawahi soal tujuan percepatan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja yang seharusnya menjadi arus utama dalam beleid ini, tapi sayangnya justru berpotensi meminggirkan kalangan buruh dan pekerja. “Lalu juga RUU ini cacat prosedur, tidak transparan dan akuntabel. Oleh karenanya, fraksi Demokrat menolak RUU Ciptaker dan harus dibahas ulang dan mendalam,” Marwan menambahkan.

Apa yang disuarakan PKS dan Demokrat di parlemen sebenarnya juga menjadi keresahan para buruh. Said Iqbal, menjelaskan bahwa tim perumus yang dibentuk Baleg diisi oleh KSPI dan 32 serikat pekerja lain. Awalnya, DIM yang diajukan perwakilan buruh diterima dengan baik oleh DPR. Bahkan DIM fraksi juga mengadopsi apa yang disuarakan buruh yakni mengurangi isi UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. "Hanya Golkar dan NasDem yang tidak sesuai dengan aspirasi buruh," ujarnya.

Sampai saat itu, KSPI masih beranggapan DPR menyambut aspirasi buruh melalui tim perumus. Tapi, beberapa hari kemudian, terjadi perubahan total pada DIM yang sudah disepakati. "Dan sama sekali tidak dipakai. Padahal tujuh fraksi itu sudah menulis (DIM),” Said menjelaskan. Pandangan tiap fraksi menjadi berputar 180 derajat dan cenderung menyetujui pandangan pemerintah. Di situ kemudian terjadi perdebatan dan kalangan buruh menolak keras perubahan ini. "Sikap-sikap seperti itu dan perubahan-perubahan DIM yang tidak sesuai harapan buruhlah yang membuat buruh mengambil sikap untuk melakukan mogok nasional."

Apa yang dikhwatirkan Fraksi PKS, Demokrat, dan juga kalangan buruh sebenarnya sudah diketahui Supratman Andi Agtas sebagai Ketua Baleg. Tapi dia menolak jika dinilai tergesa-gesa dalam merampungkan aturan ini. Termasuk juga ketika Baleg memajukan paripurna yang semula akan digelar Kamis, 8 Oktober, menjadi Senin, 5 Oktober. "Itu kan keputusan Bamus [untuk memaripurnakan RUU Ciptaker], bagi badan legislasi tugasnya sudah selesai. Dan kami sudah menyuratkan kepada pimpinan untuk diparipurnakan dalam waktu dekat," ujar Supratman.

Lebih jauh Supratman menanggapi, sejumlah pasal kontroversial yang seakan tidak digubris DPR. Baginya, persoalan ini wajar terjadi dan meminta buruh bisa memakluminya. Pembahasan klaster ketenagakerjaan menjadi perdebatan yang paling alot dibandingkan dengan klaster lainnya. "Bahkan kalau boleh saya katakan, seluruh fraksi, sembilan fraksi memberikan atensi yang luar biasa bagaimana kemudian memperjuangkan hak-hak buruh," ia mengungkapkan.

Maka, pemerintah meminta untuk melakukan peninjauan kembali dan memberikan rasionalisasi. RUU Ciptaker yang sudah disahkan sebenarnya sudah mencakup tujuh tuntutan yang diajukan kalangan buruh. "Pada prinsipnya hampir sebagian besar itu kita akomodasi, kecuali yang satu, hanya terkait jumlah pesangon," Supratman menjelaskan.

Soal pesangon, Supratman mengklaim, justru lebih memiliki kepastian. Dalam catatannya, dengan jumlah pesangon 32 kali gaji, ternyata hanya sekitar 7% pengusaha yang menerapkannya. Maka, ada jaminan kehilangan pekerjaan selama enam kali yang ditanggung 100% oleh negara melalui mekanisme APBN. "Para pekerja tidak perlu membayarnya (premi), tapi itu ditanggung oleh pemerintah," katanya.

Kalangan buruh juga menyoal perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang dianggap bisa menjadikan buruh sebagai pekerja kontrak seumur hidupnya. Terkait ini, Supratman menjelaskan bahwa PKWT sudah ditentukan dalam aturan ini paling lama tiga tahun, baik PKWT maupun outsourcing. "Kita sudah berikan perlindungan berupa adanya jaminan kompensasi kalau kemudian mereka itu terkena pemutusan hubungan kerja. Dulunya enggak ada tuh," katanya.

***

Palu di tangan Azis Syamsudin sudah terlanjut diketuk. UU Cipta Kerja kini sudah masuk dalam lembaran negara. Serikat buruh merasa, pemerintah dan DPR sudah keterlaluan dengan segala manuver dalam pengesahan beleid ini. Said Iqbal sudah mewanti-wanti, buruh akan berunjuk rasa dan mogok kerja nasional.

Mogok kerja tentu menjadi momok bagi kalangan pengusaha. Produksi berhenti, kerugian di depan mata. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pun angkat bicara. Shinta Widjaja Kamdani, Wakil Ketua Apindo, mengatakan RUU Ciptaker sebenarnya hasil kolaborasi yang baik lintas sektoral. Bahkan, menurut Sinta, pembahasan pasal per pasal sudah cukup detail dan teliti. "Jadi kami sepakat dengan pemerintah dan DPR yang memutuskan yang terbaik, agar Undang-Undang Cipta Kerja bermanfaat untuk kita semua," katanya kepada Qonita Azzahra dari Gatra pada Senin, 5 Oktober lalu.

Meski Shinta juga menyadari ada pihak yang tidak puas dengan hasil akhir. Sebenarnya, bukan hanya buruh yang tidak puas, melainkan juga kalangan pengusaha. "Kalau yang namanya puas tidak puas, enggak pernah semua orang puas. Kami pun ketidakpuasan pasti ada. Tapi kan pada akhirnya harus diputuskan," ujarnya.

Maka, dia meminta pada kalangan buruh agar membatalkan rencana mogok kerja nasional yang rencananya akan digelar 6-8 Oktober. Sebaiknya, Shinta melanjutkan, buruh membuka keran dialog, baik kepada pengusaha, pemerintah maupun DPR. Karena, selain aturan perundang-undangan yang melarang, kondisi pandemi saat ini membuat demonstrasi dan mogok nasional menjadi tidak beralasan. "Kalau mereka punya pendapat atau sebagainya, disampaikan dengan jalur berbeda aja. Kenapa harus mogok? Aturan main, perundangan, dan dengan adanya Covid, ini saya rasa tidak diperbolehkan," Shinta menjelaskan.

Di sisi lain, Menteri Tenaga Kerja, Ida Fauziah, juga menyoroti rencana aksi mogok kerja buruh. Menurut Ida, pada Jumal, 2 Oktober lalu, dia sudah bertemu dengan kelompok buruh. Agendanya adalah penyampaian progres pembahasan RUU Ciptaker, utamanya klaster ketenagakerjaan. "Update ini kami sampaikan untuk menghindarkan kesimpangsiuran informasi dan memberi keyakian kepada mereka bahwa hasil masukan dari Tripartit Nasional benar menjadi acuan  pembahasan dengan DPR," kata Ida kepada Ryan Puspa Bangsa dari Gatra pada Senin, 5 Oktober lalu.

Ida menjelaskan, pembahasan klaster ketenagakerjaan sebenarnya dilakukan pemerintah dalam forum tripartit. Artinya, tiap perwakilan yang berkepentingan di dalamnya turut serta dalam forum tersebut. "Hasil dari tripatit nasional inilah pemerintah memperbaiki draf awal RUU omnibus law. Dan alhamdulillah DPR merespons dengan baik aspirasi tersebut. Rapat Panja di DPR juga dilakukan secara terbuka," ia menjelaskan.

Maka, Ida kecewa jika buruh tetap ngotot untuk melangsungkan demo mogok kerja nasional. Karena, aspirasi buruh sudah diakomodasi pemerintah dan menjadi bagian dalam pembahasan ini. "Ketika aspirasi telah diakomodasi maka sesungguhnya kehilangan relevansi melakukan aksi, apalagi dalam kondisi pandemi seperti ini di mana kita harus menekan penyebaran Covid-19," ucapnya.

Tapi Said Iqbal tetap pada pendiriannya. Unjuk rasa serempak di seluruh Indonesia akan tetap dilaksanakan meski sempat beredar surat palsu yang membatalkan aksi tersebut. Menrut Said, aksi ini berada di lingkungan pabrik dan menggunakan dasar hukum UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat. "Jadi bukan undang-undang mogok kerja yang dibilang Apindo dan Kadin. Buruh akan setop produksi untuk berada di luar proses produksi," ujar Said.

Apindo serta Kamar Dagang dan Industri, kata Said, tidak memiliki hak untuk menghalangi aksi buruh. Karena itu sudah terjamin dalam UU yang saat ini masih berlaku secara konstitusional. "Itu namanya campur tangan terhadap hak serikat pekerja yang sudah diatur di dalam undang-undang," cetus Said.

Aditya Kirana