Penanganan korupsi oleh tiga lembaga hukum sepanjang semester I 2020 dinilai tidak memuaskan. Khusus KPK, masalah regulasi dan keadaan internal menjadi penyebab menurunnya performa.
Realisasi penindakan korupsi masih di bawah target. Setidaknya, itu informasi yang muncul dari data yang diolah Indonesian Corruption Watch (ICW) tentang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan, dan kepolisian. Berdasar pada daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) 2020, ICW menemukan fakta bahwa persentase pencapaian target penindakan korupsi dari ketiga lembaga penegak hukum tersebut masih di bawah 50% selama semester I tahun 2020.
Nilai persentase tersebut diperoleh berdasarkan perhitungan target yang seharusnya dapat dicapai tiap semester. Sementara itu, realisasi target dihitung berdasarkan banyaknya kasus korupsi yang masuk ke tingkat penyidikan dan telah ada penetapan tersangka dalam kurun waktu 1 Januari hingga 30 Juni 2020.
Masih buruknya kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia juga terlihat di dalam laporan Rule of Law Index (ROLI) tahun 2020. Secara umum, Indonesia berada pada peringkat ke-59 dari 128 negara dengan skor sebesar 0,53 poin dengan skala 0-1. Secara peringkat Indonesia memang mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Pada 2019, Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 126 negara dengan skor 0,52 poin.
Namun, baik secara peringkat maupun poin, Indonesia tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Berdasarkan indikator ketiadaan korupsi dalam ROLI pada 2020, Indonesia berada di peringkat ke-92 dari 128 negara dengan skor 0,39. Sedangkan pada 2019 Indonesia berada di peringkat ke-97 dari 126 negara dengan skor 0,38. Kenaikannya hanya sedikit.
"Dari kedua informasi di atas dapat disimpulkan bahwa pemerintah Indonesia tidak memiliki perhatian serius dalam upaya pemberantasan korupsi, terutama dalam aspek keterbukaan informasi penanganan kasus korupsi," ucap peneliti ICW Wana Alamsyah saat memaparkan hasil penelusurannya.
***
Bicara pemberantasan korupsi, hampir semua mata tertuju pada KPK sebagai ujung tombak penindakan korupsi di Indonesia. Sayangnya, rapor penindakan korupsi oleh KPK tahun ini juga tidak begitu bisa dibanggakan. Wana Alamsyah mengatakan, penurunan penindakan korupsi di lembaga KPK dapat terjadi karena dua hal. Pertama, dampak revisi UU KPK. Kedua, visi dari pimpinan KPK, yang dalam hal ini adalah Ketua KPK Firli Bahuri.
Wana mengatakan, dalam kepemimpinan Firli Bahuri diduga terjadi beberapa kali pelanggaran kode etik. Bahkan terakhir, Dewan Pengawas KPK sampai memberikan sanksi atas pelanggaran tersebut. Di sisi lain, paradigma yang saat ini didorong KPK adalah pencegahan, yang menurut Wana seharusnya beriringan dengan penindakan. "Percuma kalau [fokus] pencegahan tetapi pencegahan tersebut gagal dan tidak ditindak. Ya sama saja bohong," ucap Wana kepada M. Almer Sidqi dari Gatra, Senin lalu.
Dalam konteks tersebut, pencegahan yang selama ini diamini nyatanya tidak pernah menjadi peluru emas buat KPK. Misalnya, Wana memberikan contoh, dalam kasus Kartu Pra-Kerja. KPK berusaha melakukan pencegahan, sementara dalam kajian ICW, program tersebut sesungguhnya memiliki potensi konflik kepentingan yang sangat besar. "Tidak beriringannya pencegahan dan penindakan, maka hanya akan menghasilkan rekomendasi saja," ucapnya.
Revisi UU KPK pun pada akhirnya dipandang memiliki pengaruh paling utama dari penurunan kinerja KPK hari ini. Jika dibandingkan dengan periode sebelumnya, misalnya pada semester I 2019, ada hal yang kentara terhadap jumlah penindakan. Saat itu, KPK secara masif melakukan operasi tangkap tangan.
Menurut Wana, OTT merupakan pintu masuk untuk membongkar satu kejahatan. Namun, pada semester I 2020 operasi tersebut hanya terjadi satu kali pada kasus mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan. "Dalam enam kasus yang kami pantau, empat di antaranya adalah pengembangan kasus dari tahun sebelumnya, dan cuma dua yang kasus baru," ucapnya.
Gatra mencoba mengonfirmasi laporan publikasi ICW kepada pimpinan dan Juru Bicara KPK. Namun hingga saat ini belum ada respons dari pihak KPK.
Dalam beberapa pemberitaan, pelaksana tugas Juru Bicara Bidang Penindakan KPK, Ali Fikri, justru mempertanyakan data yang dikeluarkan ICW. Sebab, katanya, target penyidikan KPK ialah 125 perkara. Adapun penyidikan baru yang dilakukan KPK per 30 Juni 2020 ada 43 perkara dan sisa sebelum tahun 2020 ada 117 perkara, sehingga total penyidikan yang berjalan 160 perkara. ”ICW mestinya jangan melihat perkara per periode pimpinan karena perkara terus berjalan sekalipun ada pergantian periode pimpinan,” kata Ali kepada wartawan.
Belakangan, KPK juga menghadapi masalah internal lain, yakni banyaknya pegawai KPK yang mengundurkan diri dari lembaga tersebut. Yang terakhir adalah juru bicara Febri Diansyah. Wana melihat fenomena ini masih akibat dari revisi UU KPK. Semangat independensi para pegawai KPK dipandang sudah tidak lagi ada, terutama independensi yang dimiliki oleh para penyidik.
"Karena salah satu kehebatan KPK dalam konteks penindakan adalah mereka berhak atau memiliki kewenangan untuk menyidik sekelas menteri sekali pun, bahkan sekelas presiden. Artinya, tanpa melihat jenjang kepangkatan," Wana menjelaskan.
Maka, Wana melanjutkan, ketika jenjang kepangkatan itu diterapkan di KPK kemudian jadi melahirkan semacam ego sektoral yang melingkupi kerja-kerja penindakan. "Dan, proyeksi ke depan, jika skema terburuknya adalah UU KPK tetap berjalan, maka lembaga ini hanya sebagai sampel pemberantasan korupsi. Tetapi secara muruahnya itu tidak ada," ujar Wana lagi.
Terkait dengan pengunduran diri para pegawai KPK, Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, menyampaikan bahwa sejak 2008 sampai 1 Oktober 2020 ada 288 pegawai yang mengundurkan diri. Menurut Alex jika dilihat dari turn over tingkat pegawai yang mengundurkan diri dibandingkan dengan jumlah pegawai yang ada, paling banyak pengunduran diri pegawai di KPK terjadi pada 2016.
Alex menegaskan, KPK memandang pegawai sebagai aset yang merupakan kekuatan KPK. Meski demikian, pihaknya menghargai pilihan yang dibuat pegawai tersebut untuk keluar. KPK juga mendorong para “alumni” KPK untuk tetap jadi agen penyemangat antikorupsi di tempat kerja barunya. "Karena alasan pegawai mengundurkan diri itu banyak ada yang karena politik hukum dan alasan yang sifatnya prinsip, tidak masalah," Alex menegaskan di Gedung Merah Putih KPK Jakarta, Jumat pekan lalu, seperti dilaporkan Wahyu Wachid Anshory dari Gatra.
Alex juga mengatakan bahwa para pegawai yang masih bertahan di KPK tetap bersemangat untuk memberantas korupsi, baik melalui upaya penindakan maupun pencegahan. Kemudian, mengenai pandangan pihak lain yang menilai upaya pemberantasan korupsi saat ini seolah-olah mandek karena dilihat dari minimnya OTT, Alex mengatakan bahwa upaya penyadapan masih dilakukan.
Menurutnya ada ratusan nomor yang sudah disadap oleh KPK. Tapi, kekuatan SDM KPK sejak mewabahnya penyakit Covid-19 saat ini praktis berkurang. "Ibaratnya kalau tukang bangunan tentu dengan 10 orang tukang lebih cepat membangun dibandingkan yang kerjakan itu 33 orang,” ia menjelaskan.
Sementara itu, Febri Diansyah mengatakan dalam surat pengunduran dirinya bahwa dirinya dan beberapa temannya sudah berdiskusi cukup panjang. Mereka merasa kondisi KPK memang sudah berubah. Dirinya ingat betul, sejak 17 September 2019 Revisi UU KPK disahkan, keadaan berubah. Tapi, Febri tidak langsung meninggalkan KPK pada saat itu dan memilih bertahan. "Namun secara pribadi kemudian saya melihat rasanya ruang bagi saya untuk berkontribusi dalam pemberantasan korupsi akan lebih signifikan kalau saya berada di luar KPK. Tetap memperjuangkan dan ikut dalam advokasi pemberantasan korupsi," kata Febri.
Febri membantah ada ketidaksukaan pada pimpinan KPK yang baru. Jika pun ada sikap dan pendapat berbeda dengan pimpinan, kata Febri, itu semata dalam hubungan profesional saja dan tidak ada persoalan pribadi di sana. "Jadi nothing personal dalam relasi setiap hari. Dan tentu saja tidak ada ancaman atau tidak ada tekanan-tekanan, ini adalah pilihan yang secara sadar saya ambil agar lebih bisa berkontribusi untuk pemberantasan korupsi," ia mengungkapkan.
Sementara itu, sumber Gatradi internal KPK mengatakan bahwa 34 orang pegawai yang mengundurkan diri tahun ini didominasi oleh pegawai tetap. Selain itu ada pegawai tidak tetap banyak yang keluar karena kontraknya tidak diperpanjang. Para pegawai yang keluar tahun ini rata-rata memiliki jam kerja yang panjang dan masih dalam usia produktif. Rata-rata mereka menjadi andalan KPK untuk membangun hubungan internasional dengan mitra-mitra di luar negeri.
Sumber Gatra juga menjelaskan bahwa memang ada kegelisahan-kegelisahan di dalam KPK yang disebut sebagai masalah politik dan hukum. Payung hukum baru KPK menurutnya sangat memberikan bagi kerja-kerja untuk penindakan. Menurutnya, situasi saat ini serba salah karena ada ketakutan melanggar hukum saat ingin bertindak. Namun, jika tidak bertindak akhirnya menjadi seperti sekarang di mana tidak boleh menyimpan hasil sadapan dan juga tidak boleh melakukan hal-hal pro justicia.
"Ini kalau kemudian barang bukti tidak diselamatkan, ya habis. Teman-teman mungkin berpikir kita tunggu dulu cuaca berbeda Undang-undangnya ganti MK kemudian memutus berbeda, harapan masih ada," katanya.
Hidayat Adhiningrat P.
Pengunduran Diri Pegawai KPK
Tahun 2008: 6 pegawai
Tahun 2009: 13 pegawai
Tahun 2010: 17 pegawai
Tahun 2011: 12 pegawai
Tahun 2012: 12 pegawai
Tahun 2013: 13 pegawai
Tahun 2014: 18 pegawai
Tahun 2015: 37 pegawai
Tahun 2016: 46 pegawai
Tahun 2017: 26 pegawai
Tahun 2018: 31 pegawai
Tahun 2019: 23 pegawai
Tahun 2020: 34 pegawai
(Sumber: KPK)
Realisasi Penanganan Korupsi Semester I 2020
- Kejaksaan:
• Target pada 2020 sebanyak 566 kasus
• Realisasi semester I 91 kasus (16,1%)
- Kepolisian
• Target pada 2020 sebanyak 1.539 kasus
• Realisasi semester I 72 kasus (4,7%)
- KPK
• Target pada 2020 sebanyak 120 kasus
• Realisasi semester I 6 kasus (5%)
(Sumber: ICW)
Anggaran Penyidikan dan Penyelidikan Kasus Korupsi
- Kejaksaan: Rp75,3 miliar
- Kepolisian: Rp277 miliar
- KPK:Rp 29,3 miliar
Sumber: DIPA tahun anggaran 2020