Home Laporan Khusus Vaksin Bukan Satu-satunya Solusi 

Vaksin Bukan Satu-satunya Solusi 

Pandu Riono

Ahli Epidemiologi Universitas Indonesia

Ahli epidemiologi mengingatkan, belum ada vaksin Covid-19 yang efektif, aman, dan lulus semua tahapan uji klinis. Dengan demikian, target vaksinasi yang ditetapkan pemerintah Indonesia dinilai terburu-buru. Model koordinasi vaksinasi dengan WHO lebih aman?


Pemerintah menargetkan, tahun depan akan dilaksanakan vaksinasi massal. Ahli Epidemiologi dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengkritisi rencana tersebut karena sampai hari ini belum ada vaksin yang terbukti aman dan efektif menahan penyebaran virus ini. Dalam wawancara dengan Dwi Reka Barokah dari GATRA, Pandu memaparkan tanggapannya tentang rencana vaksinasi yang sedang disusun pemerintah. Berikut petikannya: 

 

Presiden Jokowi menargetkan vaksinasi bisa dilaksanakan akhir tahun. Infrastruktur apa saja yang perlu disiapkan?

Apakah sudah ada vaksinnya? Kan belum ada. Kok ngotot vaksinasi massal? Memangnya kalo sudah sampai tahap III, pasti lulus? Kan harus di-review dulu. Memangnya efektif? Memang vaksin yang sudah diuji itu pasti lulus? Hanya 30% kemungkinan yang diuji lulus. Biasanya dalam sejarah pengembangan vaksin, seperti itu.

 

Jika uji klinis sudah sampai tahap III, apakah tahapan yang dilalui masih panjang?

Iya, makanya saya bingung kenapa pemerintah ngotot banget sampai mengeluarkan anggaran membeli produk yang belum ada. Belum ada vaksin sampai sekarang. Baru kandidat vaksin. Jadi jangan disebut vaksin, tapi kandidat vaksin.

 

Setelah vaksin selesai, apakah melaksanakan vaksinasi harus berkoordinasi dengan WHO?

Negara mempunyai hak untuk memilih vaksin yang dipakai negara itu sendiri, tetapi apakah kita berani seperti itu? Apa tidak ada risiko? Negara-negara lain tenang-tenang saja, cuma Indonesia. Karena tidak bisa mengatasi pandemi dengan cara-cara paling sederhana, kemudian mencari solusinya dengan vaksin. Seakan-akan vaksin itu bisa mengatasi pandemi. Dalam sejarah ilmu pengetahuan, sejarah manusia, tidak ada vaksin yang bisa mengatasi pandemi dalam waktu singkat.

 

Apa saja proses yang dilalui dalam uji klinis tahap III?

Uji ini masih melihat apakah kandidat vaksin efektif melindungi penularan. Orang yang mendapat vaksin, angka penularannya jauh lebih rendah dibandingkan yang tidak mendapat vaksin. Kita belum tahu seberapa rendah, seberapa efektif, walaupun dalam fase I, fase II, vaksin ini sudah terbukti bisa meningkatkan imunitas tubuh, tapi tidak ada jaminan sama sekali. Itu kan imunitas tubuh pada orang-orang tertentu saja, tapi begitu disuntikkan massal ke penduduk bagaimana?

Makanya kita lakukan pada sampel ini, apakah betul bisa memberikan efek positif? Belum tentu. Memangnya gampang bikin vaksin? Ada tahapan ketat yang harus diikuti.

Karena prosesnya belum selesai, kenapa pemerintah Indonesia terburu-buru melakukan perencanaan dengan jadwal yang seakan-akan sudah mengonfirmasi keberadaan dan keamanan vaksin? Tanpa mempertimbangkan faktor keilmuan, ya bisa saja vaksinasi diputuskan lewat politik atas nama emergency. Kasih vaksin semua penduduk atau sebagian penduduk. Jadi, studi vaksin yang ada diabaikan, tapi ini kan bukan cara yang benar.

 

Bukankah negara-negara lain juga sudah mulai menyusun peta jalan vaksinasi domestiknya?

Negara lain tidak seperti Indonesia. Semua menunggu proses yang dikoordinasi WHO, karena pandemi ini hanya bisa diatasi kalau betul-betul menemukan vaksin yang baik, yang sudah disepakati dunia. Maka, seluruh negara di dunia harus punya akses yang sama, baik yang miskin dan yang kaya, karena ini pandemi di seluruh dunia.

Kalau ada satu negara yang masih punya masalah pandemi, maka pandemi ini masih belum selesai. Pandemi ini baru selesai kalau seluruh dunia sudah bisa menyelesaikan pandemi ini. Kalau tidak, akan jadi kantung penularan. Berbahaya sekali, itulah makanya kegiatan vaksinasi itu juga dikoordinasikan oleh WHO.

Nah, pemerintah kita melakukan upaya-upaya business to business. Jadi, Bio Farma negosiasi sama Sinovac. Bagaimana nanti mereka sudah janjian membeli apa pun produknya, karena sudah membayar uang muka, ya dipakai. Kita harus beli, kita bawa, ya dipaksakan, lah. Terlanjur beli, harus pakai dengan produk-produk yang tidak jelas.

Yang jadi korban kita, kan? karena berpikirnya vaksin itu satu-satunya solusi untuk mengatasi pandemi. Itu pendapat yang keliru. Jadi, vaksin itu sebetulnya lebih mengarah kepada bisnis. Jualan vaksin, jualan pelayanan vaksin, karena kan beli, beli vaksin. Yang beli siapa? Perusahaan. Kalau kita dikoordinasi dunia, itu akan diatur semua harganya sama oleh WHO.

Cuma ada dua negara yang tidak mau menandatangani, Cina dan Amerika, karena Cina dan Amerika mau jual vaksin, mau memanfaatkan situasi ketakutan negara-negara yang punya duit yang bisa dibohongi.

 

Jadi menurut Anda, itu alasan mengapa Cina berani menawarkan vaksin ke banyak negara? 

Itu negonya tidak jelas, tidak terbuka. Tiba-tiba pemerintah, Kementerian Keuangan, menyiapkan anggaran untuk vaksin yang sudah dinegokan, dibayarkan oleh BUMN. Walaupun produk ini belum diakui, tapi sudah dipesan. Belum selesai ujinya. Nanti kalau misalnya efeknya antara yang dipake dan tidak dipake sama saja, ya sudahlah. Jadi, nanti bisa menjadi kompromistis yang tidak menyehatkan.

 

Seperti apa realisasi koordinasi dengan WHO untuk vaksinasi?

WHO nanti akan memanggil seluruh ahli di dunia untuk membahas hasil studi ini. Nanti ada perdebatan ahli, bukan perdebatan politik. Kalo perdebatan politik dan perdebatan pengusaha, kan mana yang paling menguntungkan secara duit.

Banyak kandidat vaksin, mana yang terbaik. Dipilih yang paling mudah digunakan masyarakat dan memberikan efek perlindungan terbesar sekaligus aman. Saya rasa, pilihan kebijakan seperti itu lebih tepat. Kita harusnya mau memilih kandidat dari sekian banyak vaksin yang sudah lolos pun akan me-review-nya dengan baik, tapi kita sekarang bersikap seolah-olah prosesnya sudah dilewati semua.

 

Bagaimana dengan sikap Indonesia menerima banyak kandidat vaksin untuk diuji klinis?

Kalo uji klinis, sih, tidak mengapa. Jadi, kita kan belajar juga. Jadi, kalo semuanya fase III diuji klinis di Indonesia, tidak mengapa. Tapi, kan cuma sebatas uji klinis, bukan semua jadi program. Nanti yang dipakai cuma satu saja, yang terbaik. Tidak apa kalau harus menunggu, karena produk vaksin itu nanti seharusnya adalah produk yang efektif dan aman.

[G]